MENYAMBUT PAGI DENGAN TAUHID
Diantara dzikir yang disyariatkan untuk dibaca di waktu pagi sebanyak 100x adalah :
َ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Keutamaan :
Barangsiapa yang membacanya sebanyak 100x dalam sehari, maka baginya mendapatkan pahala seperti membebaskan sepuluh orang budak, ditetapkan baginya seratus hasanah (kebaikan) dan dijauhkan darinya seratus keburukan dan baginya ada perlindungan dari (godaan) setan pada hari itu hingga petang dan tidak ada orang yang lebih baik amalnya dari orang yang membaca doa ini kecuali seseorang yang dapat lebih banyak mengamalkan (membaca) dzikir ini”.[HR. Bukhari no 3050 Muslim no 4857]
Penjelasan ringkas :
Dzikir yang agung tersebut diawali dengan kalimat tauhid. Kalimat yang membedakan antara seorang muslim dan musyrik, merupakan titik permusuhan antara Rasulullah shallalahu alaihi wasallam dengan kaum musyrikin arab jahiliyah. Sebuah kalimat yang ringkas dan sangat mudah untuk diucapkan, bersamaan dengan itu, kaum musyrikin enggan mengucapkannya, bahkan mereka rela mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki untuk melawan kalimat ini dan penyerunya, mereka rela berpisah dengan harta dan keluarga, berkorban nyawa demi memerangi kalimat tauhid. Hal itu disebabkan fahamnya mereka akan kandungan dan konsekuensi kalimat tersebut.
لا إله إلا الله
Huruf “لا” adalah “laa nafiyah lil jins” yang fungsinya meniadakan seluruh jenis isim (kata benda) yang datang setelahnya. Sehingga maknanya meniadakan semua “إله ” (ilah), siapapun dan apapun ilah tersebut.
Lafadz “إله ” adalah mashdar dari kata “أَلِهَ – يأَلَهُ” yang bermakna maf’ul (objek), sehingga maknanya adalah ” مألوه أو معبود “ma’luh” atau “ma’bud” (Yang disembah, yang diibadahi, sesembahan)
Huruf “إلا”, atau disebut dengan huruf istisna (pengecualian), fungsinya adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah “إلا” dari hukum yang telah ditiadakan oleh “لا”,
Lafadz “الله” atau juga disebut lafdzul Jalalah, yang berasal dari kata “الإله” dengan menghilangkan hamzah agar lebih mudah dibaca, kemudian huruf lam yang pertama disatukan dengan huruf lam kedua, sehingga menjadi 1 huruf lam yang ditasydid dan dibaca tebal lam yang kedua.
Adapun maknanya, adalah sebagaimana yang diterangkan oleh Syeikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harroni -rahimahullah-
«الإله» هو المعبود المطاع فإن الإله هو المألوه هو الذي يستحق أن يُعبد
“Al-Ilah adalah Al-Ma’bud (yang diibadahi) dan yang ditaati, maka “Al-Ilah”, Dia lah “Al-Ma’luh” (yang disembah), Dia yang berhak untuk diibadahi [Majmu Fatawa : 12/202]
Al-Hafiz Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah -rahimahullah- :
اسم الله دال على كونه مألوهاً معبوداً تألهه الخلائق محبة وتعظيماً وخضوعاً…
Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan “ma’luh” (yang disembah) “ma’bud” (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan”. [Madarijus salikin : 1/31].
Kemudian, lafadz “لا” (Laa) -sebagaimana yang dimaklumi dalam kaidah bahasa arab- membutuhkan “isim” & “khobar”. Adapun “isim” dari “Laa” adalah “إِلَهَ” (Ilaha), sementara khobarnya tidak ada, sehingga harus “ditaqdirkan” (ditentukan) agar dapat difahami maknanya dengan baik dan benar. Sependek pengetahuan kami, para ulama salaf menentukan khobarnya dengan kata “حَقٌّ” (haqqun) atau “بِحَقٍّ” (bihaqqin), artinya “yang berhak disembah/diibadahi”. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala :
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu karena Dialah (Allah) yang haq (untuk disembah) dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah sembahan yang batil”.[QS Al-Hajj : 62].
Dari pemaparan diatas, diperoleh kesimpulan, -sebagaimana yang telah ditahqiq oleh para ulama- bahwa makna “Laa Ilaha Illallah” adalah TIDAK ADA SESEMBAHAN YANG BERHAK DISEMBAH/DIIBADAHI KECUALI ALLAH.
—– Insya Allah bersambung —-