Di antara tujuan syariat yang agung, adalah memandang kepada akibat dari suatu ucapan atau perbuatan. Hal ini merupakan salah satu dari maqhashid syari’ah (maksud/tujuan syariat).
Oleh karena itu, kita dilarang mencerca dan memaki sesembahan orang-orang musyrikin, karena ini bisa berakibat mereka akan memaki Allah dengan pelampauan batas dan tanpa dasar ilmu.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ
Dan janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.
[Al-An’am 108]
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak membangun kembali ka’bah sebagaimana di atas pondasi Nabi Ibrahim alaihissalam, karena memandang perkara ini.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata,
قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ ﷺ: لَوۡ لَا حَدَاثَةُ قَوۡمِكِ بِالۡكُفۡرِ، لَنَقَضۡتُ الۡبَيۡتَ، ثُمَّ لَبَنَيۡتُهُ عَلَى أَسَاسِ إِبۡرَاهِيمَ عَلَيۡهِ السَّلَامُ، فَإِنَّ قُرَيۡشًا اسۡتَقۡصَرَتۡ بِنَاءَهُ، وَجَعَلۡتُ لَهُ خَلَفًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Kalaulah kaummu tidak dekat dengan masa kekafiran, aku tentu akan membongkar ka’bah, kemudian aku bangun ka’bah itu di atas pondasi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam karena Quraisy dahulu kurang dalam membangunnya. Dan akan aku buatkan satu pintu belakang padanya.”
(Riwayat Al-Bukhari)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ ؟ قَالَ : يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ
“Sesungguhnya salah satu dosa besar adalah seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Rasullullah ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang berani melaknat orang tuanya?” Kemudian Nabi menjawab, “Seseorang lelaki mencerca ayah orang lain, lalu orang lain itu mencerca ayahnya dan mencerca ibunya.”
(Riwayat Al-Bukhari)
Hal ini sejalan dengan kaidah yang disebutkan oleh ulama, yaitu saddudz dzari’ah (menutup pintu yang mengantar pada hal yang dilarang).
Dan yang harus diberi catatan di sini adalah tidak semua orang bisa memandang kepada akibat dari suatu ucapan maupun perbuatan. Bahkan dalam pembahasan syariat, Asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan bahwa hal ini hanya khusus ahli ijtihad yang kokoh dalam ilmunya. Beliau berkata ketika menyebutkan ciri yang kedua dari ulama rabbani,
“Dia memandang kepada akibat-akibat (yang akan muncul) sebelum menjawab pertanyaan.”
(Al-Muwafaqat 5/233, Maktabah Syamilah)
Semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam
Ustadz Irfandi Makku, Lc -hafizahulloh-
Repost :
Chanel Telegram : https://t.me/hilalpalopo
At-Tashfiyah wat TarbiyahMutiara Al-Qur’an, As-Sunnah, Petuah As-Salaf, Wejangan Ulama, Fatwa-Fatwa & Tanya Jawab.
Pembina : Al-Ustadz Hilal Abu Naufal -hafizahulloh-.
Admin :
Abu Aqilah