Sebuah perkara yang menjadi prinsip dan diterangkan oleh para ulama dalam karya-karya mereka adalah bahwa tauhid merupakan kewajiban terbesar. Tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Inilah hak Allah atas segenap hamba.
Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibadah kepada Allah tidak akan diterima tanpa tauhid. Artinya sebanyak apapun ibadah dan amal ketaatan jika terkotori oleh syirik; peribadatan kepada selain Allah -di samping ibadahnya kepada Allah- maka semua amal itu akan tertolak.
Allah berfirman,
وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ
“Dan seandainya mereka berbuat syirik pasti akan lenyap semua amal yang dahulu mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)
Di antara keutamaan tauhid yang sangat agung adalah bahwa tauhid menjadi sebab -bahkan sebab terbesar- untuk mendapatkan jalan keluar bagi segala bentuk kesulitan dan musibah yang menimpa di dunia maupun di akhirat. Artinya tauhid akan membuka kemudahan atas kesulitan yang menimpa, begitu juga tauhid dapat menolak bahaya yang mengancam hamba (lihat keterangan Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid)
Ketika terjebak di dalam perut ikan Dzun Nun atau Nabi Yunus ‘alaihis salam berdoa kepada Allah dengan menyebutkan keesaan-Nya dalam hal uluhiyah dan mengakui kesalahannya, dan hal itu menjadi sebab Allah menyelamatkan dirinya. Beliau membaca doa “laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh zhalimin” yang artinya adalah “tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang yang zalim”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Tidaklah seorang muslim membaca doa ini dalam suatu kesulitan yang dia alami kecuali Allah penuhi permintaannya” (HR. Tirmidzi, disahihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi tidak membantah hal itu, hadis ini dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar) (lihat al-Wabil ash-Shayyib karya Imam Ibnul Qayyim, hal. 224 tahqiq Abdurrahman bin Hasan bin Qa’id)
Selengkapnya: https://muslim.or.id/67366-tauhid-dan-terangkatnya-musibah.html