“Jika ada orang yang bertanya, bagaimana dengan orang yang tidak khusyu’ dalam shalatnya. Apakah dia mendapat pahala atau tidak? Ada yang mengatakan, untuk masalah mendapat pahala, dia tidak mendapat pahala, selain bagian yang dia renungkan dalam shalatnya dan kadar khusyu’ nya di hadapan Rab-nya.

Lalu beliau mengatakan,

وقد علق الله فلاح المصلين بالخشوع في صلاتهم فدل على أن من لم يخشع فليس من أهل الفلاح ولو اعتد له بها ثوابا لكان من المفلحين وأما الاعتداد بها في أحكام الدنيا وسقوط القضاء : فإن غلب عليها الخشوع وتعقلها اعتد بها إجماعا وكانت السنن والأذكار عقيبها جوابر ومكملات لنقصها

Allah mengkaitkan kebahagiaan orang yang shalat dengan kualitas khusyu’ mereka dalam shalat. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak khusyu, bukan termasuk orang yang beruntung. Andai orang yang tidak khusyu’ dalam pahala, tentu dia termasuk orang yang bahagia”.

Sementara untuk hukum dunia dan tidak ada kewajiban qadha’, jika ada kadar khusyu’ dominan, maka shalatnya sah dengan sepakat ulama. Sementara shalat sunah dan dzikir setelahnya akan menjadi penutup dan penyempurna kekurangan shalatnya”.
(Madarij as-Salikin, 1/525 – 526).

Kesimpulannya, khusyu’ 100% dalam shalat, hukumnya tidak wajib. Karena hampir tidak mungkin manusia bisa melakukannya. Sementara adanya kondisi tidak khusyu’, selama tidak dominan, shalat tetap sah, dan tidak perlu diulang. Dan jangan lupa untuk melakukan shalat rawatib, yang ini bisa menjadi pelengkap untuk bagian dari shalat kita yang kurang.

Untuk jawaban pertanyaan kedua.

Ada yang sengaja menunda shalat dengan sengaja hingga keluar waktu. Misal saja mengatur alarm waktu Shubuh ketika matahari sudah terbit atau menunda shalat ‘Ashar hingga waktu Maghrib. Ingat, perbuatan menunda shalat hingga keluar waktu seperti ini termasuk dosa besar dan mesti dinasihati orang seperti itu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya,

“Bagaimana hukum orang yang meninggalkan satu shalat dengan sengaja dengan niat ia akan mengerjakan secara qadha’ ketika sudah habis waktunya? Apakah termasuk dosa besar.”

Jawab beliau,

“Iya, mengakhirkan shalat dari waktunya padahal ia wajib menunaikan di waktunya termasuk dosa besar”.

Bahkan ‘Umar bin Al Khatttab radhiyallahu ‘anhu berkata,

الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ مِنْ الْكَبَائِرِ

“Jamak antara dua shalat tanpa ada udzur termasuk dosa besar.”

Diriwayatkan pula oleh Imam Tirmidzi secara marfu’ -sampai pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dari Ibnu ‘Abbas, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَقَدْ أَتَى بَابًا مِنْ أَبْوَابِ الْكَبَائِرِ

“Barang siapa menjamak dua shalat tanpa ada udzur, maka ia telah mendatangi salah satu pintu dosa besar”.

Hadits ini dikatakan marfu’ -sampai pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam-, walaupun pernyataan itu menuai kritikan.

Imam Tirmidzi mengatakan,

“Para ulama mengetahui akan hal ini dan atsar tersebut sangat ma’ruf. Para ulama menyebutkannya dan menetapkannya, tidak mengingkarinya.”

Dalam kitab shahih, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,

“Barang siapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya.”

Terhapusnya amalan tidaklah ditetapkan melainkan pada amalan yang termasuk dosa besar. Begitu pula meninggalkan shalat Ashar lebih parah dari pada meninggalkan shalat lainnya. Karena shalat Ashar disebut dengan shalat wustho[1] yang dikhususkan dalam perintah untuk dijaga.

Shalat Ashar ini juga diwajibkan kepada orang sebelum kita di mana mereka melalaikan shalat ini. Jadi, siapa saja yang menjaga shalat Ashar, maka ia mendapatkan dua ganjaran”.
(Majmu’atul Fatawa, 22: 53-54).

والله تعالى أعلم

Dijawab oleh : …..
Diperiksa oleh : Ustadz Yudi Kurnia, Lc.

═══════ ° ೋ• ═══════

*Tambahan dari Ustadz Yudi Kurnia, Lc.*

Lupa gerakan dalam shalat jika dimaksudkan adalah *lupa apakah sudah melakukannya atau belum*
Atau *lupa gerakan apa yang harus dilakukan*

View Source


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *