╔══❖•ೋ°° ೋ•❖══╗

*SBUM*
*Sobat Bertanya*
*Ustadz Menjawab*

╚══❖•ೋ°° ೋ•❖══╝

*NO : 1⃣5⃣7⃣*

*Dirangkum oleh Grup Islam Sunnah | GiS*
https://grupislamsunnah.com

*Kumpulan Soal Jawab SBUM*
*Silakan Klik :* https://t.me/GiS_soaljawab

═══════ ° ೋ• ═══════

*Judul bahasan*
*TERTIPU SUPPLIER/PEMASOK BISNIS ONLINE*

*Pertanyaan*
Nama : Muji Suryati
Angkatan : 01
Grup : 038
Domisili : –

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

1. Saya seorang IRT untuk membantu suami saya usaha online, sistem Pre Order (PO). Customer pesan kemudian bayar dan dana customer tersebut saya transfer ke pemasok. Saya ambil profit sekitar 40 ribuan dari setiap pesanan customer. Usaha ini berjalan lancar selama 10 bulan, menjelang pandemi covid dari pemasok mulai delay kasih barang sampai berakhir barang yang dipesan dan sudah dibayarkan oleh pemasok tidak diberikan.
2. Dengan kejadian ini, saya akhirnya melaporkan pemasok ke pihak berwajib
3. Sedangkan dana customer mau saya jual aset pun tidak akan bisa menutupi untuk mengembalikan kepada customer
4. Yang bisa saya lakukan adalah mengembalikan dana keuntungan yang saya ambil dari setiap transaksi order kepada customer dengan cara mencicil mengingat jumlahnya cukup besar

Pertanyaan saya:

1. Atas kejadian ini, apakah saya jadi punya utang piutang ke pihak customer? Bagaimana hukum secara syari’i-nya?

2. Dan mohon saran apa yang harus saya lakukan dengan kondisi yang ada saat ini? Di satu sisi saya ingin kembalikan dana customer tersebut, tapi sekali pun saya jual semua aset orang tua dan keluarga tidak akan bisa menutupi mengingat jumlahnya hampir 15M.

Mohon masukan dari Ustadz.

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

*Jawaban*

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله

Washshalaatu wassalaamu ‘ala rasuulillah ammaa ba’du

Hal ini bukan sesuatu yang menjadi tanggung jawab anti. Walaupun anti adalah agen, tapi statusnya anti juga tertipu oleh produsen/pemasok. Yang tidak amanah adalah produsen/pemasok, bukan anti, sehingga yang bertanggung jawab juga bukan anti.

Syaikh ‘Utsaimin mengatakan dalam Syarhul Mumti’

والوَكِيلُ أمِينٌ لاَ يَضْمَنُ ما تَلِفَ بيدِهِ بِلا تَفْرِيطٍ ويُقْبَلُ قَوْلُهُ في نَفْيِهِ والهَلاَكِ مَعَ يَمِينِهِ

“Wakil atau agen yang amiin (dapat dipercaya, jujur, amanah) tidak perlu mengganti apa-apa yang rusak di tangannya selama bukan karena kelalaiannya, dan diterima perkataannya atas hilang atau rusaknya barang tersebut dengan sumpah”.

Kita tahu bahwa wakil atau agen pasti ada yang jujur (amanah) dan ada yang tidak.

Lalu apa tolok ukur kejujuran (keamanahan) itu?

Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

نقول الضابط : كل من كان المال بيده بإذن من الشارع أو بإذن من المالك فهو أمين، ومن كان في يده بغير إذن من الشارع أو من المالك فليس بأمين
فلننظر ولي اليتيم : أمين ، أذن له الشرع
ناظر الوقف : أمين ، أذنَ له الواقف
المُوصى إليه : أمين ، أذن له الموصِي

والوكيل أمين ؛ لأن العين حصلت بيده بإذن من الموكِّل ، ومتى ترتفع الأمانة؟
ترتفع الأمانة إذا تعدى أو فرط، وصارت يده غير أمينة
الشرح الممتع على زاد المستقنع ٩/‏٣٩٠

“Kita katakan bahwa tolok ukurnya, “Setiap harta yang keberadaannya di tangan seseorang atas izin syari’at atau penguasa maka ia adalah orang yang amiiin (jujur, dapat dipercaya), dan barang siapa yang di tangannya terdapat harta tanpa seizin syari’at atau penguasa maka tidaklah ia disebut orang yang amiin”.

Kita lihat wali yatim (orang yang memegang harta anak yatim), dia (dianggap) amiin (karena) diizinkan (diatur) oleh syari’at. Begitu pula pengelola (pengawas) wakaf, dianggap amiin karena diizinkan oleh syari’at. Begitu pula penerima wasiat, dia dianggap amiin karena diizinkan oleh syari’at.

Wakil itu dianggap amiin (dapat dipercaya, jujur, amanah) karena sesuatu yang berada di tangannya telah diizinkan oleh yang memberi amanah.

View Source


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *