╔══❖•ೋ°° ೋ•❖══╗

*SBUM*
*Sobat Bertanya*
*Ustadz Menjawab*

╚══❖•ೋ°° ೋ•❖══╝

*NO : 2⃣3⃣1⃣*

*Dirangkum oleh Grup Islam Sunnah | GiS*
https://grupislamsunnah.com

*Kumpulan Soal Jawab SBUM*
*Silakan Klik :* https://t.me/GiS_soaljawab

═══════ ° ೋ• ═══════

*Judul bahasan*
*PRINSIP YANG BENAR ADALAH*
*MENGIKUTI AL-QUR’AN DAN*
*AS-SUNNAH SESUAI*
*PEMAHAMAN SALAFUL UMMAH*

*Pertanyaan*
Nama : Lina
Angkatan : T01
Grup : 138
Domisili : –

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Semoga Ustadz selalu dalam lindungan Allah. Aamin.

Ustadz, ana mendapat artikel yang redaksinya seperti ini :

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=879797156124918&id=100022839249697

Tidak ada pengaruhnya

Belakangan ini muncul sebuah fenomena yang dianggap oleh sebagian pihak sebagai bentuk “tajdid” (pembaharuan), yaitu semangat orang awam untuk menuntut dalil dari perkara apa saja yang disampaikan oleh para guru atau ulama. Maka ada sebuah slogan yang beredar di antara mereka yang berbunyi “Agama itu simple, ada dalil diamalkan, tidak ada dalil tinggalkan.” Ini hakikatnya bukan “tajdid” tapi lebih tepatnya “tadhlil” (penyesatan). Slogan ini dan yang semisalnya tidaklah salah, hanya penisbatannya yang keliru. Jika dinisbatkan kepada para ulama mujtahidin, maka benar. Tapi jika dinisbatkan kepara orang awam, maka salah fatal.

Pengetahuan orang awam terhadap dalil, tidak memberikan pengaruh apapun, karena mereka sekadar tahu, tapi tidak memahami maknanya dan tidak bisa menggunakannya. Untuk memahami dalil dan menggunakannya dalam istinbath (memetik) suatu hukum, dibutuhkan ilmu pendukung yang tidak sedikit, khususnya ilmu-ilmu alat yang harus dikuasi dengan baik. Sedangkan masyarakat awam tidak memiliki hal itu semua.

Jika dipaksakan, sangat dikhawatirkan mereka tidak akan memahaminya atau memahaminya dengan pemahaman yang keliru. Ini sangat berbahaya. Karena orang yang “merasa sudah paham”, itu biasanya akan menyampaikan kepada orang lain. Tidak hanya sesat, tapi juga bisa menyesatkan orang lain. Yang terpenting bagi masyarakat awam adalah memahami agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan menyibukkan diri dengan masalah dalil.

Ibarat seorang pasien yang datang ke dokter spesialis untuk mengobati penyakitnya. Amat tidak lazim (aneh) kalau dia menimpali hasil analisa atau dianogsa dokter yang memeriksanya dengan pertanyaan “dalilnya apa”. Karena seandainya dijelaskan pun, dia tidak akan mampu untuk memahaminya. Bagaimana dia akan memahami, sedangkan dia tidak memiliki background medis sama sekali. Benar-benar nol. Bisa-bisa malah salah dalam memahami penjelasan dokter. Ini sangat berbahaya untuk dirinya sendiri dan orang lain. Sudah sesat, menyesatkan orang lain pula.

Dalil, terdiri dari Al-Qur’an, hadits, Ijma’ dan Qiyas. Ini yang disepakati di sisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Adapun yang diperselisihkan masih banyak. Jenis dalil seperti ini hanya layak ‘dikonsumsi’ oleh para ulama yang telah mencapai derajat ijtihad. Adapun orang awam, maka bukan levelnya. Ibarat bayi, maka makanan yang tepat di usia itu adalah ASI atau bubur halus. Kalau dikasih makan nasi, atau batagor, maka bisa memudharatkannya, bahkan bisa menyebabkan dia meninggal.

Bagi orang awam, fatwa atau penjelasan ulama adalah “dalil” bagi mereka. Jadi kalau ada orang awam kok masih menuntut dalil yang lain, itu aneh. Lha wong sudah dikasih dalil kok masih minta dalil. Yang lebih aneh lagi, ada orang awam yang disodori sebuah fatwa dari imam mujtahidin, lalu komentar : “Fatwa ulama bukan dalil”. Mungkin menurutnya, kalau ulama berfatwa itu pakai hawa nafsu, hanya dia yang pakai dalil. Perbuatan semacam ini, salah satu bentuk su’u az-zhan (buruk sangka) terhadap para ulama yang merupakan pewaris para Nabi. Hukumnya dosa besar.

Imam Asy-Syathibi rahimahullahu ta’ala menyatakan :

View Source


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *