*SBUM*
*Sobat Bertanya*
*Ustadz Menjawab*
╚══❖•ೋ°° ೋ•❖══╝
*NO : 6⃣5⃣8⃣*
*Dirangkum oleh Grup Islam Sunnah | GiS*
https://grupislamsunnah.com
*Kumpulan Soal Jawab SBUM*
*Silakan Klik :* https://t.me/GiS_soaljawab
═══════ ° ೋ• ═══════
*Judul Bahasan*
*HUKUM MEMBERIKAN IMBALAN*
*DI ATAS UTANG PIUTANG*
*Pertanyaan*
Nama : Linda
Angkatan : 03
Grup : 45
Nama Admin : Umi Tini
Nama Musyrifah : Ratih Ummu Fauzan
Domisili : Serang
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركات
Semoga Ustadz dan semua pengurus GIS selalu dalam lindungan Allah. Aamiin.
Ustadz, ana memiliki seorang karyawan, yang mana saat ini sang karyawan sedang ada hubungan utang piutang dengan ana.
Seminggu setelah akad utang piutang, karyawan ana memberikan 1 karung rambutan kepada ana, yang mana memang dia memiliki pohon rambutan itu di belakang rumahnya dan memang saat ini sedang musimnya.
Seminggu kemudian, dia kirim lagi 1 karung lagi, maa syaa Allah.
Yang mau ana tanyakan, apakah pemberian ini termasuk riba atau bukan, Ustadz?
Ana khawatir pemberian ini merupakan manfaat sebab dari utang piutang kami.
2. Karung rambutan pemberian dari karyawan itu, ana, suami dan anak-anak tidak makan, tapi kami berikan kepada saudara-saudara, ibu, bapak, paman, bibi dll. Karena masih ragu dengan hukumnya.
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم
*Jawaban*
وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته
بسم الله،
والصلاة والسلام على رسول الله،أمابعد.
Mengenai hukum hadiah atau manfaat dari pengutang kepada pemberi utang.
Perlu diketahui bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah di antara para ulama.
Pengutang boleh memberikan hadiah kepada pemberi utang, namun jika diketahui bahwa pengutang memberi hadiah liajlil qardh (karena sebab utangnya), yang lebih utama adalah bersikap wara‘ dengan tidak menerimanya.
Adapun jika diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan bukan karena sebab utangnya, namun karena sedekah atau karena adanya kekerabatan di antara keduanya, maka tidak perlu bersikap wara‘ dan hendaknya diambil hadiahnya. Ini adalah pendapat *Ulama Hanafiyah*
Pengutang tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi utang sebelum pelunasan, kecuali hadiah tersebut dihitung sebagai cicilan atau pelunasan utang. Atau jika telah ada kebiasaan saling memberi hadiah antara keduanya di masa-masa sebelumnya, maka boleh memberi hadiah ketika itu.
Adapun jika hadiah diberikan setelah pelunasan, maka ini dibolehkan tanpa syarat. Ini adalah pendapat *Ulama Hanabilah.*
Diriwayatkan dari sebagian Shahabat Nabi bahwa mereka menolak hadiah dari orang yang berutang kepadanya, kecuali hadiah tersebut dianggap sebagai bagian dari pelunasan utang. Atau diketahui hadiah yang diberikan tersebut merupakan kebiasaan dan bukan bermaksud risywah.
ورَوَى ابْنُ سِيرِينَ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه أَسْلَفَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رضي الله عنه عَشَرَةَ آلافِ دِرْهَمٍ , فَأَهْدَى إلَيْهِ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ مِنْ ثَمَرَةِ أَرْضِهِ , فَرَدَّهَا عَلَيْهِ , وَلَمْ يَقْبَلْهَا , فَأَتَاهُ أُبَيٍّ , فَقَالَ : لَقَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً , وَأَنَّهُ لا حَاجَةَ لَنَا , فَبِمَ مَنَعْتَ هَدِيَّتَنَا ؟ ثُمَّ أَهْدَى إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَقَبِلَ
“Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa Umar bin Khathab meminjamkan uang Ubay bin Ka’ab sebesar sepuluh ribu dirham. Kemudian Ubay bin Ka’ab memberi hadiah kepadanya dari hasil panen buah-buahannya. Namun Umar menolaknya dan tidak menerimanya. Kemudian Ubay mendatangi Umar dan mengatakan, ‘Sungguh penduduk Madinah sudah tahu bahwa buah-buahan saya termasuk yang terbaik dan kami tidak ada keperluan bagi saya (untuk melakukan risywah). Kenapa Anda menolak hadiah kami wahai, Umar?’ Kemudian setelah itu Ubay memberi hadiah lagi kepada Umar dan Umar menerimanya”.
(Dinukil dari Hasyiyah Ibnul Qayyim Ala Sunan Abi Dawud, 9/296).
Ibnul Qayyim setelah membawakan riwayat-riwayat di atas, beliau menjelaskan:
