Fenomena Ikhwan, jemaah pengajian, bahkan dikenal sebagai ustadz tapi lalai dalam urusan mencari nafkah untuk keluarga bukan isapan jempol belaka.
Lucunya, sang Ikhwan bertameng dengan kata qanaah untuk menutupi kemalasannya dalam mencari nafkah.
Berkali-kali saya temui para istri yang sibuk mengantar dan menjajakan dagangannya. Sementara ketika saya ke rumahnya, sang suami asyik tidur-tiduran di rumah. Tidak pernah terlihat aktif dalam kegiatan keumatan maupun kegiatan produktif lainnya.
Ada pula seorang Ikhwan, pandai berbahasa Arab, hafal sekian juz, bahkan lulusan kampus dakwah terkenal di negeri ini tapi pekerjaannya hanya mengandalkan amplop ceramah dari satu pengajian ke pengajian lainnya, meski itupun jarang-jarang ada. Sementara sang istri membantu sekuat tenaga dengan segala keahliannya. Mulai dari menjahit baju, menjual makanan hasil masakannya sendiri, bahkan mengajar privat sana sini demi kebutuhan hidup mereka. Bahkan orang tuanya pun masih sering membantu secara finansial untuk kebutuhan mereka.
Lain lagi dengan ikhwan lain yang saya kenal. Berkali-kali dicarikan pekerjaan agar bisa menopang hidup keluarganya, tapi hanya bertahan dalam hitungan bulan. Padahal dia diprioritaskan agar dapat pekerjaan tetap. Sampai-sampai yang mencarikan pekerjaan bosan, kalopun dicarikan pekerjaan lagi paling sama saja seperti yang sudah-sudah. Keluar dari pekerjaan tanpa alasan yang jelas. Sementara kebutuhan keluarga terus ditopang oleh sang istri. Kadang sang istri bekerja jadi tukang cuci, kadang antar jemput anak sekolah, kadang antar barang kesana sini.
Saya ngelus dada liat fenomena ikhwan-ikhwan ini… Apa mereka ini sebelum mengambil anak orang tidak belajar dulu tentang kewajiban dan tanggung jawab suami? Apa dulu orang tuanya tidak mengajari anak laki-lakinya supaya punggungnya tetap tegak demi memikul tanggung jawab keluarga? Apa orang tuanya tidak mengajari anak laki-lakinya bekerja keras? Apa para ustadz kurang membahas perihal kewajiban suami? Entahlah…
Para suami yang (ngakunya) belajar agama tapi menikmati kengangguran dan menikmati dinafkahi oleh para istrinya, apa masih punya muka? Siangnya menikmati hasil keringat istri, malamnya menikmati tubuh sang istri. Jika seorang pelacur saja masih mendapat bayaran karena menjajakan tubuhnya, tapi para istri ini sudahlah harus melayani kebutuhan batin suaminya ditambah masih harus dibebani oleh berbagai tunggakan kontrakan, listrik, SPP anak atau kebutuhan lainnya. Entah suami macam apa mereka itu…
Bagaimana pula dia menghadapi hisabnya jika Allah tanya kenapa membiarkan istrinya keluar rumah untuk mencari nafkah? Sementara dirinya sehat, tidak pula cacat. Apa udzurnya?
Sekalinya sang istri mengingatkan suaminya akan kewajibannya sebagai pencari nafkah, segera saja berbagai dalil-dalil mengenai qanaah, sabar dan merasa cukup mereka keluarkan. Tidak lupa suaminya menceritakan pula kesabaran para wanita salaf dalam kemiskinan. Tapi sepertinya para suami ini lupa bahwa para salafus sholeh juga tidak ada yang menganggur atau menjadikan istrinya sebagai tulang punggung keluarga. Entah siapa salaf-nya para suami ‘menggemaskan’ ini
Demikianlah para orang tua…
Jika kalian memiliki anak laki-laki, didiklah ia agar menjadi kuat secara fisik serta tangguh secara mental. Didik dia agar menjadi pribadi yang bertanggung-jawab. Jangan sekedar mencekoki mereka dengan hafalan puluhan juz dan ribuan hadits tapi alpa sama sekali dengan kewajiban yang terlihat sangat dasar dan sepele. Karena sejatinya, mendidik anak laki-laki berarti mendidik seorang suami serta mendidik seorang ayah. Bahkan juga mendidik pemimpin umat.
https://www.facebook.com/100004264304801/posts/2297572577061530/
Log in to Facebook to start sharing and connecting with your friends, family and people you know.
Leave a Reply