Kamis, 13 Juli 2023 M
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Yaa Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal dan amal yang diterima…
PENYAKIT DENDAM (1)
Dendam (al-hiqd) adalah membenci seorang muslim karena sakit hati dan permusuhan yang dilatarbelakangi motif duniawi yang terjadi di antara keduanya.
Allah taála telah menjadikan tercabutnya rasa dendam sebagai salah satu kenikmatan di surga kelak; karena keberadaan dendam dalam hati menimbulkan kegelisahan, kesedihan, dan kegundahan, yang sangat menyiksa. Sejatinya, orang yang menyimpan dendam tengah tersiksa secara terus-menerus. Dendam yang tersimpan dalam dirinya, berakibat ia tidak akan mampu mencicipi manisnya bahagia dan iman.
Ada perkataan bagus dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menjelaskan hakikat diri kita. Beliau menyampaikan,
فإذا كان هذا خير خلق الله وأكرمهم على الله لم يكن ينتقم لنفسه مع أن أذاه أذًى لله ويتعلق به حقوق الدين، ونفسه أشرف الأنفس، وأزكاها، وأبرها وأبعدها من كل خُلقٍ مذموم، وأحقها بكل خُلقٍ جميل، ومع هذا فلم يكن ينتقم لها. فكيف ينتقم أحدنا٤ لنفسه التي هو أعلم بها وبما فيها من العيوب والشرور٥ بل الرجل العارف لا تساوي نفسه عنده أن ينتقم لها، ولا قدر لها عنده يوجب عليه انتصاره لها
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi, padahal menyakiti beliau termasuk tindakan menyakiti Allah ta’ala dan menyakiti beliau termasuk diantara perkara yang di dalamnya berlaku ketentuan ganti rugi. Jiwa beliau adalah jiwa yang termulia, tersuci dan terbaik. Jiwa yang paling jauh dari berbagai akhlak yang tercela dan paling berhak terhadap berbagai akhlak yang terpuji. Meskipun demikian, beliau tidak pernah melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi (jiwanya) (terhadap berbagai pihak yang telah menyakitinya). Maka bagaimana bisa salah seorang diantara kita melakukan pembalasan dan pembelaan untuk diri sendiri, padahal dia tahu kondisi jiwanya sendiri serta kejelekan dan aib yang terdapat di dalamnya? Bahkan, seorang yang arif tentu (menyadari bahwa) jiwanya tidaklah pantas untuk menuntut balas (karena aib dan kejelekan yang dimilikinya) dan (dia juga mengetahui bahwa jiwanya) tidaklah memiliki kadar kedudukan yang berarti sehingga patut untuk dibela.” [Jami al-Masail’1/171]
Kita tentu ingat kisah Nabi Yusuf álaihi as-salam. Saudara beliau membuang beliau setelah sebelumnya berupaya untuk membunuhnya. Beliau terpisahkan dari ayah dan keluarganya selama 40 tahun. Ia pun merasakan pahitnya perbudakan, kelamnya penjara, dan pedihnya kezaliman di masa itu. Ketika Allah taála mengangkat kedudukan beliau sehingga menjadi orang kepercayaan penguasa Mesir dan bertemu dengan para saudaranya, mereka berkata,
قَالُوا تَاللَّهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللَّهُ عَلَيْنَا وَإِنْ كُنَّا لَخَاطِئِينَ
Mereka berkata: “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” [Yusuf: 91]
Apa yang diucapkan oleh Yusuf álaihi as-salam? Beliau justru membalas dengan ucapan,
قَالَ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ ۖ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.” [Yusuf: 92]
Yusuf álaihi as-salam tidak mengingatkan kesalahan mereka yang telah berlalu; tidak pula menghina mereka. Bahkan, beliau memaafkan dan mendoákan kebaikan bagi mereka.
bersambung
Sumber: al-Uns Billah, Dr. Ahmad ibn Nashir ath-Thayyar hlm. 22-26
Referensi : @Belajar tauhid
Barakallahu fiikum ____
~~~~
https://t.me/Berbagi_Kebaikan
BerbagiKebaikanBerbagi info peluang amal sholih dan ketaatan… Untuk bekal kita menghadapi Yaumul Mizan…
Leave a Reply