Karena lebih menjaga hati saya sendiri. Dan masalah ini sudah beberapa kali saya sampaikan ke mertua, karena merekalah yang dulu berurusan dengan wanita itu dan keluarganya dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Namun ibu mertua malah mengatakan bahwa tidak tahu menahu soal perjanjian itu. Ketika kemarin saya menanyakan surat perjanjiannya.
Dan sekarang semua saya kembalikan pada Allah ﷻ. Karena suami dan mertua seolah menutup mata.
Alhamdulillah dengan begitu hati saya menjadi lebih tenang.
Pertanyaannya Ustadz;
1. Apakah keputusan yang saya ambil sejak awal salah atau tidak ya Ustadz, dalam memilih keputusan ?
Karena terkadang seperti ada rasa menyesal. Kenapa saya memilih kembali dengan suami. Namun saya tepis dengan mengucap “qodarullah wa maa syaa’a faa’la” lalu saya kembali berpikir mungkin ini semua sudah takdir Allah ﷻ. Kalau Allah ﷻ tidak berkehendak, maka tidak mungkin saya bisa sampai di titik sekarang bersama suami dan 5 anak.
2. Apa ada nafkah untuk anak dari wanita itu (anak diluar nikah) ?
3. Bagaimana saya menyikapi suami, mertua dan wanita tersebut ?
Bicara dengan suami, yang ada beliau malah marah dan tidak mau berterus terang.
Bicara dengan mertua mereka punya pendapat sendiri. (Beliau seorang Ustadz, namun bukan bermanhaj salaf)
Bicara dengan wanita itu pun tak ada artinya, yang ada kita akan lebih banyak mendapat kalimat-kalimat yang menyakitkan.
Hingga saat ini, saya memilih diam dan menyerahkan semuanya kembali pada Allah ﷻ
Afwan, Mohon pencerahannya Ustadz.
جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.
*Jawaban*
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والصلام على رسول الله اما بعد.
1⃣ Keputusan yang saudari ambil, bisa jadi itu kurang bagus menurut anda, akan tetapi hal itu belum tentu menurut Allah Ta’ala. Intinya apapun keputusan yang sudah anda pilih, maka itu juga merupakaan sudah takdir Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan saudari berusaha sabar dan bertawakkal kepada Allah Tabara wa Ta’ala. Semoga saudari mendapatkan balasan dari Allah Ta’ala.
Perlu diketahui ujian itu terkadang mengangkat derajat seorang muslim, atau bisa jadi menggugurkan dosa, atau salah bentuk rasa cinta Allah Ta’ala kepada seorang hamba, sehingga Allah Ta’ala memberikan ujian kepada hamba tersebut, untuk meninggikan derajatnya baik di dunia maupun di akhirat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
[ إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ ]
“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.”
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah At Tirmidzi berkata bahwa hadits ini Hasan Ghorib).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
[ مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَة ]
[رواه الترمذي (2399) وصححه الألباني في “السلسلة الصحيحة” (2280)] .
“Cobaan senantiasa menimpa kepada orang mukmin lelaki dan wanita kepada dirinya, anaknya dan hartanya, sampai dia bertemu dengan Allah, sementara dia tidak ada kesalahannya (dosanya),”
(HR. Tirmidzi, (2399) dinyatakan shoheh oleh Albani di ‘Silsilah Shahihah, (2280)).
Dan dari Anas radhiallahunahu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
[ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ]
رواه الترمذي (2396) وصححه الألباني في السلسلة الصحيحة (1220)
Leave a Reply