ta lain, kita hanya bisa mengatakan “mungkin atau bisa jadi”, gigi seri Rasūlull…

ta lain, kita hanya bisa mengatakan “mungkin atau bisa jadi”, gigi seri Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memiliki jarak antara satu dengan yang lainnya.

Dan kita pun tidak bisa memastikan bahwa gigi seri Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak memiliki jarak antara satu dengan yang lainnya.

Apalagi jika dalam hadīts dhaif tersebut, masih didukung hadīts-hadits yang lain.

Dan dahulu para ulamā hadīts semisal Imām Ahmad dan Abdurrahman bin Mahdi rahimahumāllāh mengatakan :

إذا روينا في الثواب والعقاب وفضائل الأعمال تساهلنا في الأسانيد والرجال، وإذا روينا في الحلال والحرام والأحكام تشددنا في الرجال

_”Saat kami meriwayatkan hadīts yang berkaitan dengan pahala, hukuman dan fadhail a’mal (keutamaan amalan) kami mempermudah syarat rawinya. Namun jika kami meriwayatkan pada permasalahan halal dan haram serta hukum-hukum agama, kami memberikan kriteria dan syarat-syarat yang ketat terhadap para perawi hadītsnya.”_

Dan untuk memahami kaidah ini dengan baik, dan tidak terjadi salah faham, maka anda bisa memperlajari ilmu hadīts lebih dalam lagi.

Catatan :

Ketika dikatakan ada cahaya yang bisa terlihat melalui celah gigi seri Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam ataupun wajah Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam seperti bulan.

Sebagian orang meyakini bahwa cahaya tersebut adalah cahaya asli, cahaya yang bisa menerangi sekelilingnya, ini merupakan keyakinan yang keliru.

Bahkan yang lebih parah lagi, ada orang yang berkeyakinan bahwa Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak memiliki bayangan, dikarenakan cahaya-cahaya tersebut.

Sekali lagi ini merupakan keyakinan yang keliru.

Coba kita simak kisah Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā berikut ini:

_Suatu malam aku pernah kehilangan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dari ranjangku, ku coba untuk mencari Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan akhirnya aku bisa menemukan kedua telapak kaki Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam sedang tegak (karena sujud)._

_Saat itu Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam berdoa :_

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

_”Yā Allāh…. Aku berlindung dengan keridhāan Mu dari kemurkaan Mu, aku juga berlindung dengan sifat pengampun Mu dari hukuman Mu, Aku pun berlindung kepada Mu dari Mu, aku tidak mampu untuk menghitung pujian yang harus aku berikan kepada Mu, Engkau terpuji, sebagaimana pujian Mu atas diri Mu.”_

Dari hadīts ini kita faham, bahwa sekeliling Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam saat itu tidak terang, sehingga Ibunda Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā harus berjalan meraba-raba.

Seandainya apa yang sebagian orang yakini itu benar, bahwasanya cahaya yang terdapat dalam hadīts-hadīts tersebut merupakan cahaya asli, tentu Ibunda Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā tidak perlu susah-susah meraba-raba untuk menemukan Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

(Kisah ini shahīh diriwayatkan oleh Imām Muslim dalam hadīts nomor 486)

Semoga pembahasan ini bermanfaat.

Wallāhu A’lam Bishawāb
•┈┈┈┈•✿❁✿•┈┈┈┈•


View Source


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *