Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh
Halaqah 05: Ghibah yang Diperbolehkan
Telegram: https://t.me/ilmusyar1
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau’il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta’āla.
*BAB 9: GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN*
Pembahasan ini sekaligus penutup dari pembahasan ghibah yaitu: ما يباح من الغيبة (ghibah yang diperbolehkan).
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
لَّا يُحِبُّ ٱللَّهُ ٱلۡجَهۡرَ بِٱلسُّوٓءِ مِنَ ٱلۡقَوۡلِ إِلَّا مَن ظُلِمَۚ وَكَانَ ٱللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
_”Allāh tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Dan Allāh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”_
(QS. An Nissā’: 148)
Diceritakan dalam sebuah hadīts yang shahīh bahwa Ummu Mua’wiyyah radhiyallāhu ‘anhā pernah bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ia mengadukan perilaku suaminya.
Ummu Mu’awiyyah mengatakan:
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang pelit, apakah aku berdosa jika aku mengambil sebagian hartanya secara sembunyi-sembunyi untuk mememenuhi kebutuhanku dan juga anakku?”
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lantas menjawab, “Ambillah sesuai kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang ma’ruf.”
Kemudian penulis juga membawakan kisah Fāthimah binti Qais yang dilamar oleh dua orang shahabat setelah diceraikan oleh suaminya yang terdahulu. Kedua laki-laki tersebut adalah Abu Jahm dan Mua’wiyyah radhiyallāhu ‘anhumā.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lantas menjelaskan keadaan kedua pria tersebut.
Beliau mengatakan:
أَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ
_”Adapun Abu Jahm, maka dia tidak meletakkan tongkatnya dari puncaknya.”_
Terdapat dua tafsiran ulama untuk kiasan Rasūlullāh ini.
⑴ Abu Jahm merupakan sosok pria yang gemar bersafar alias jarang di rumah.
⑵ Abu Jahm sering memukul wanita.
وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ
_”Sedangkan Mua’wiyyah adalah orang yang miskin tidak mempunyai harta.”_
Lalu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menawarkan Fāthimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid radhiyallāhu ‘anhu. Pernikahan pun berlangsung dan Allāh Ta’āla melimpahkan keberkahan dalam rumah tangganya.
Suatu ketika seorang lelaki meminta izin untuk menemui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Sebelum lelaki tersebut masuk, Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata kepada Aisyah radhiyallāhu ‘anhā:
بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ
_”Ia adalah seburuk-buruk lelaki dari kaumnya.”_
Kalimat tersebut merupakan gambaran dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentang betapa buruknya akhlak lelaki yang hendak menemuinya saat itu.
Namun saat lelaki tersebut masuk, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam justru bertutur kata lemah-lembut terhadapnya. Selepas kepergiannya ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhā dengan penuh keheranan bertanya, “Mengapa engkau berlemah-lembut kepadanya, wahai Rasūlullāh? padahal sebelumnya engkau telah menceritakan betapa buruk akhlak orang tersebut?”
Kemudian Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ، أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ، اتِّقَاءَ فُحْشِهِ.
_”Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah orang yang ditinggalkan oleh orang lain karena takut akan kekejiannya.”_
Dalam Shahīh Al Bukhāri terdapat sebuah bab seputar bolehnya menyebutkan ciri khas fisik seseorang, seperti tingginya, kemudian dia pendek (misalkan) selama bukan bertujuan untuk mencela. Beliau juga mencontohkan dengan sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang menyebut seseorang dengan sebutan: ذواليدين , karena orang tersebut memiliki tangan yang panjang.
Leave a Reply