Halaqah 16: Kewajiban untuk Menjaga Lisan
Telegram: https://t.me/ilmusyar1
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله أما بعد
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau’il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta’āla.
Kali ini kita memasuki poin terakhir sekaligus penutup untuk pembahasan kitab satu ini yaitu:
*︎ Kewajiban untuk Menjaga Lisan (وجوب حفظ اللسان)*
Imam rahimahullāh pernah menuturkan, bahwa menjaga lisan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, oleh sebab itu hendaknya kita tidak berbicara kecuali yang jelas manfaatnya. Adapun jika maslahat dan mudharatnya sama, maka lebih baik diam sebab hal ini lebih selamat.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
_”Di antara tanda baiknya Islām seseorang ialah ia meninggal hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”_
(Hadīts riwayat At Tirmidzi nomor 2317)
Maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk merenung sejenak sebelum mengucapkan sebuah kata. Apakah yang akan ia ucapkan akan bermanfaat ataukah sebaliknya?
Jika tidak, maka hendaknya ia diam. Namun jika dia yakin ada manfaat dibaliknya, maka sebaiknya ia kembali merenung sekali lagi, apakah ada yang lebih bagus untuk diucapkan dan lebih bermanfaat dari apa yang akan ia katakan?
Ingatlah bahwa ucapan lisan merupakan representasi dari apa yang ada dalam hati seseorang. Oleh karenanya jika kita ingin mengetahui keadaan hati seseorang kita bisa melihat dari ucapan-ucapannya.
Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Yahya bin Mu’ādz rahimahullāhu ta’āla:
القلوب كالقدور تغلي بما فيها، وألسنتها مغارفها
_”Hati itu bagaikan kuali yang bergejolak di dalam dada sedangkan lisan merupakan gayung untuk mengambil isi kuali tersebut.”_
Dan di antara fakta yang cukup mengejutkan ialah seseorang mungkin cukup mudah untuk meninggalkan berbagai bentuk maksiat seperti memakan yang haram, menzhalimi orang lain, minum khamr, hingga melihat hal-hal yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla benci.
Akan tetapi ia akan sangat kesulitan untuk menjaga lisannya dari mengucapkan hal-hal yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla larang. Bahkan tak jarang kita dapati sosok lelaki yang tampak shalih, rajin beribadah, rajin melakukan hal-hal yang bermanfaat akan tetapi lidahnya kerap mengeluarkan kalimat yang akan Allāh Subhānahu wa Ta’āla murkai.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda:
قال رجل: والله لا يغفر الله لفلان
_Seorang laki-laki berkata, “Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak akan mengampuni Si Fulan.”_
Maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla lantas menghukum orang tersebut dengan menghapus seluruh amalan shalih yang pernah ia buat lantaran ucapannya tersebut.
Tak mengherankan jika para shahabat dan tabi’in benar-benar khawatir dengan apa yang mereka ucapkan bahkan mereka merasa berdosa saat mengucapkan, “Hari ini panas,” atau, “Hari ini terasa dingin,” sebab mereka khawatir ucapannya tersebut termasuk dalam mengeluh kepada takdir.
Shahabat Ibnu Mas’ūd radhiyallāhu ‘anhu bahkan pernah bersumpah bahwa lisan merupakan hal yang paling butuh untuk dikerangkeng.
Yunus bin Ubaid rahimahullāh pernah menuturkan, “Tidaklah aku melihat seseorang yang memperhatikan lisannya kecuali hal tersebut berpengaruh terhadap seluruh aktivitasnya yang lain.”
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ketahuilah bahwa terdapat dua bahaya besar pada lisan, bisa jadi seseorang selamat dari yang pertama namun tidak dengan yang kedua.
⑴ Ucapan yang buruk.
⑵ Diam terhadap perkara yang hak yang harusnya dia ungkapkan.
Leave a Reply