Karya Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili Hafizhahullāh
Ustadz Muhammad Ihsan, M.H.I
Halaqah 02 : Tolok Ukur Akad Jual Beli Hakikat Bukan Lafazhnya
Telegram: https://t.me/ilmusyar1
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله وأصل و أصلم على نبينا الكريم و على آله وصحبه أجمعين اما بعد
Ikhwāti A’ādzakumullāh Wa Iyyakum
Pada pertemuan kali ini (in syā Allāh) kita akan masuk kaidah kedua di antara kaidah-kaidah dasar dari akad jual beli.
Di pertemuan sebelumnya kita telah menyelesaikan kaidah yang pertama yaitu: الأصل في البيوع الإباحة , hukum asal jual beli adalah diperbolehkan atau halal, sampai datang dalīl yang menunjukkan bahwasanya akad tersebut diharamkan di dalam syari’at Islām.
Adapun kaidah kedua diantara kaidah-kaidah jual beli adalah:
العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني
_︎ Kaidah Kedua | Tolok Ukur dalam Akad Jual Beli Hakikat Bukan Lafazhnya_
Yang dilihat standar dalam akad jual beli adalah hakikatnya bukan lafazhnya.
Ketika kita ingin menilai sebuah akad jual beli, maka jangan terpaku kepada lafazhnya, jangan terpaku kepada namanya, tapi lihatlah hakikat akad itu, lihatlah makna dari transaksi tersebut.
Misalkan:
Ahmad berkata kepada Muhammad, “Ya Muhammad, saya berikan (hadiahkan) mobil ini kepadamu dengan syarat kamu memberikan saya uang 100 juta.”
Kalau kita lihat lafazhnya, maka kita akan dapati bahwasanya akad ini adalah akad hadiah. Karena bahasanya yang dia sampaikan, “Saya hadiahkan kepadamu, saya berikan kepadamu,” maka akadnya akad hibah, kalau seandainya kita lihat kepada lafazh.
Namun yang menjadi poin dalam transaksi jual beli bukan lafazh ini akan tetapi maknanya, hakikat yang dikandung oleh lafazh tersebut.
Apa maksudnya dari lafazh tersebut?
Ketika dikatakan dengan syarat, “Engkau berikan saya 100 Juta,” maka kita tahu bahwasanya ini bukan hadiah tetapi jual beli. Karena ada pertukaran antara mobil dengan uang 100 Juta.
Maka kita katakan, ini bukan akad hadiah tetapi akad jual beli, walaupun shurahnya (gambarannya) atau lafazhnya yang kita dengar adalah hadiah.
Begitu juga dengan apa yang terjadi di bank, (misalkan) ketika bahasa yang tertulis di Bank Syari’ah adalah akad wadi’ah. Di mana akad wadi’ah pada hakikatnya adalah seorang menyimpan uang orang lain atau menyimpang barang orang lain.
Dan konsekuensi akad wadi’ah adalah:
⑴ Orang yang menyimpan barang tersebut tidak boleh memanfaatkannya (tidak boleh menggunakannya).
⑵ Akad wadi’ah adalah akad amanah (kepercayaan).
Yang mana akad kepercayaan itu konsekuensinya, kalau seandainya harta yang disimpan itu benar-benar dijaga, namun qadarullāh musibah menimpanya sehingga menyebabkan harta tersebut hilang maka tidak wajib menggantinya.
Misalkan:
Dia menyimpan mobil orang lain, dia jaga mobil itu diletakkan di garasi rumahnya, dia kunci mobil itu. Tiba-tiba terjadi gempa bumi rumahnya hancur sehingga menimpa mobil tersebut dan mobilnya rusak.
Konsekuensi dari akad wadi’ah (akad amanah), orang yang menyimpan harta tersebut tidak wajib menggantinya.
Karena apa?
Karena dia sudah menjalankan amanahnya (menjaga mobil tersebut). Sedangkan kerusakan mobil tersebut di luar kemampuan. Ini akad wadi’ah.
Namun apa yang kita dapati di bank? Transaksi akad wadi’ah di bank?
Mereka boleh menggunakan harta yang kita simpanan kepada mereka, mereka boleh memutarnya, mereka boleh menggunakannya untuk mencari keuntungan. Maka ini keluar dari hakikat akad wadi’ah.
Begitu juga dengan konsekuensi dari akad wadi’ah yang ada di bank adalah akad dhamman, yaitu ganti rugi. Kalau seandainya uang yang ada di bank hilang, relakah nasabah untuk kehilangan uangnya?
Misalkan:
Bank sudah menjaga uang tersebut namun qadarullāh uang tersebut dicuri maka nasabah akan datang kepada bank untuk minta ganti rugi. Karena akad dari awal memang bank bersiap untuk melakukan ganti rugi ketika terjadi kehilangan. Maka dari sini kita lihat hakikat dari akad wadi’ah yang ada di bank adalah akad pinjaman.
Leave a Reply