Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 2): Macam-Macam Al-Kalimah (Kata)

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 2): Macam-Macam Al-Kalimah (Kata)

Apa itu al-kalimah?

Ibnu Hisyam mengatakan, ”  الكَلِمَةُ قَوْلٌ مُفْرَدٌ (Al-kalimah adalah sebuah perkataan yang tunggal).” Syekh Abdullah Ibn Sholih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya Ibnu Hisyam memulai penjelasan dengan menjelaskan al-kalimah. Kenapa demikian? Karena al-kalimah atau “kata” merupakan sesuatu yang dibahas di awal-awal pada cabang ilmu nahwu dan kata merupakan bagian dari kalimat. Sehingga pembahasan pembagian kata dibahas lebih awal daripada pembahasan kalimat.

Adapun al-qaul di sudut pandang ilmu nahwu adalah lafadz (segala sesuatu yang diucapkan lisan) yang menunjukkan sebuah makna yang memberikan informasi sempurna atau informasi yang tidak sempurna. Al-qaul itu bisa berupa kata yang tunggal, contohnya: خاَلِدٌ ; atau berupa susunan kata, contohnya: خَرَجَ الْغُلَامُ (Laki-laki itu keluar). Maka, contoh خَرَجَ الْغُلَامُ tersebut adalah contoh kalimat yang sempurna. Sedangkan contoh susunan kata yang tidak sempurna adalah إِنْ خَرَجَ (jika dia keluar).  Kalimat tersebut belum dikatakan sempurna karena belum memberikan faedah (pemahaman) yang sempurna.

Adapun al-jumlah (kalimat) tidak termasuk dalam kategori al-kalimah. Karena al-kalimah merupakan sebuah lafadz. Adapun al-jumlah, bisa berupa al-qaul yang berupa susunan kata. Jika al-qaul hanya sebuah kata yang diucapkan, maka kata tersebut tersebut tidak termasuk dalam kategori al-jumlah.

Al-kalimah adalah lafadz tunggal yang menunjukkan makna tunggal. Contoh:

بَاب dan كِتَابٌ

Adapun istilah al-kalimah” terkadang digunakan untuk penyebutan kalimat yang sempurna. Contohnya:

أَلْقَيْتُ فِيْ الْمَسْجِدِ كَلِمَة

“Saya menyampaikan sebuah kalimat di masjid.”

كَلَّاۗ اِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَاۤىِٕلُهَاۗ

“Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu hanyalah al-kalimah.” (QS. Al-Mu’minun: 100)

Kata كَلِمَةٌ adalah kalimat sempurna yang menunjukkan isyarat رَبِّ ارْجِعُوْنِ (Wahai Tuhanku, kembalikan kami ke dunia).

الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

“Kalimat yang baik merupakan sedekah.” (Al-Hadits, muttafaqun alaih)

Pembagian al-kalimah

Ibnu Hisyam mengatakan. “  وَهِيَ اسْمٌ وَفِعلٌ وَحَرْفٌ (Al-kalimah terbagi menjadi tiga yaitu, isim (kata benda), fi’il (kata kerja), dan huruf (kata depan).)

Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan dalil pembatasan jenis al-kalimah tersebut adalah:

Pertama: Penelitian bahasa Arab

Kedua: Al-kalimah bisa menunjukkan makna itu sendiri atau menunjukkan makna lain.

Al-kalimah yang menunjukkan makna itu sendiri terbagi menjadi dua. Yaitu:

Pertama: Menunjukkan perubahan bentuk dan waktu. Contonya: Fi’il madhi (perbuatan yang menunjukkan masa lampau). Contoh: قَامَ (dia telah berdiri).

Kedua: Tidak menunjukkan waktu, yaitu isim (kata benda yang tidak berhubungan dengan waktu). Contohnya: زَيْدٌ (nama orang).

Kata yang tidak menunjukkan makna adalah huruf. Huruf tidak menunjukkan makna yang bisa dipahami secara berdiri sendiri. Akan tetapi, huruf tersebut harus diletakkan di dalam kalimat supaya bisa diketahui maknanya. Karena satu huruf itu maknanya bisa bermacam-macam. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna suatu huruf, maka harus diletakkan pada sebuah kalimat sehingga bisa mengetahui makna huruf tersebut.

Baca juga: Keutamaan Belajar Bahasa Arab dan Ilmu Nahwu

Tanda-tanda isim

Ibnu Hisyam mengatakan,

“ فَأَمَّا الْإِسْمُ فَيُعْرَفُ بِأَلْ كَالرَّجُلِ, وَبِا لتَّنْوِيْنِ كَرَجُلٍ وَ بِالحَدِيْثِ عَنْهُ كَتَاءِ ضَرَبْتُ“

Isim bisa diketahui dengan melihat tandanya, yaitu dengan adanya:

Pertama: أَلْ contohnya: كَالرَّجُلِ

Kedua: Tanwin contohnya: كَرَجُلٍ

Ketiga: Menjadi pokok pembicaraan dalam kalimat. Misal adanya ت fa’il (pelaku) contohnya : ضَرَبْتُ.

Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya Ibnu Hisyam menyebutkan isim tanpa mendefinisikan, akan tetapi menyebutkan tanda-tandanya. Kenapa demikian? Agar penuntut ilmu pemula mudah memahami perbedaan antara isim dan fi’il. Jelasnya isim dengan mengenal ciri-cirinya itu lebih mudah dipahami daripada dengan menyebutkan isim secara definisi.

Ibnu Hisyam mengatakan بِأَلْ (adanya al)

Isim bisa diketahui dengan adanya أَلْ (al). Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan pengungkapan dengan أَلْ (al) ini lebih utama daripada “alif dan lam”. Kenapa demikian? Karena tidak dikatakan kata هَلْ yang terdiri dari dua huruf, yaitu huruf هـ (ha) dan ل (lam). Huruf tersebut tidak dikatakan huruf  هـ (ha) dan ل (lam), akan tetapi huruf هَلْ. Begitu juga contoh lain, yaitu huruf بَلْ. Di sana ada huruf ب  (ba’) dan ل  (lam).

Isim bisa diketahui dengan adanya أَلْ (al). Maksudnya, di antara ciri yang membedakan isim dengan fi’il dan huruf adalah adanya أَلْ (al). Contohnya:  قَدِمَ الْمُسَافِرُ (Musafir itu telah datang). Maka, kata الْمُسَافِر masuk kategori isim karena adanya أَلْ (al) di awal kata.

Ibnu Hisyam mengatakan بِا لتَّنْوِيْنِ (dengan adanya tanwin)

Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya tanwin ini merupakan ciri yang kedua. Tanwin adalah nun za’idah sakinah (nun tambahan yang sukun) yang melekat pada akhir isim secara penyebutan atau pelafalan. Namun, secara penulisan tidak dituliskan. Nun za’idah tersebut fungsinya bukan untuk taukid (penegasan). Contohnya:

جَاءَ زَيْدٌ (Zaid telah datang)

مَرْرْتُ بِخَالِدٍ (Aku telah melewati Kholid).

Adapun makna za’idah (tambahan) maksudnya adalah tidak termasuk pokok bangunan kata tersebut.

Sedangkan maksud dari tanwin yang disebutkan secara pelafalan adalah tidak perlu menulis nun-nya. Kenapa demikian? Karena cukup dengan menambahkan harakat-nya menjadi dhamatain (dua dhammah), fathatain (dua fathah), dan kasratain (dua kasrah).

Ibnu Hisyam mengatakan بِالحَدِيْثِ عَنْهُ (pokok pembicaraan)

Syekh Abdullah Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan maksudnya adalah membicarakan isim tersebut dan menambahkan kata penyempurna untuk isim tersebut. Contohnya: دَخَلَ عَاصِمٌ (‘Ashim telah masuk). Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim, karena kata tersebut menjadi pokok pembicaraan. Adapun kata دَخَلَ adalah pelengkapnya. Kata apa pun yang menjadi pokok pembicaraan, maka kata tersebut adalah isim. Para ulama juga ada yang menamakan الحَدِيْثِ عَنْهُ dengan sebutan al-isnad ilaih.

Ciri isim yang ketiga ini adalah ciri isim yang paling utama. Dengan demikian, maka bisa dijadikan dalil status isim-nya berupa dhamir (kata ganti). Seperti dhamir ta’. Contoh قُمْتُ (Aku telah berdiri). Maka, huruf yang bergaris bawah tersebut adalah isim. Karena dhomir ta’ mejadi pokok pembicaraan dan dhamir tidak bisa menerima ciri-ciri isim yang lainnya.

Ibnu Hisyam mencukupkan menjelaskan ciri-ciri isim dengan 3 ciri tersebut karena tiga ciri tersebut adalah ciri yang paling masyhur dan paling jelas daripada ciri-ciri yang lainnya.

Adapun ciri-ciri isim yang lainnya adalah:

Pertama: Majrur karena huruf jer. Contohnya: ذَهَبْتُ لِزِيَارَةِ عَالِمٍ جَلِيْلٍ (Saya pergi untuk mengunjungi seorang yang berilmu yang mulia). Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim karena didahului oleh huruf jer.

Kedua: Majrur karena mudhaf ilaih (tempat penyandaran). Contohnya: ذَهَبْتُ لِزِيَارَةِ عَالِمٍ جَلِيْلٍ. Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah mudhaf ilaih dari kata sebelumnya.

Ketiga: Majrur karena sebagai tabi’ (pengikut) isim. Contohnya: ذَهَبْتُ لِزِيَارَةِ عَالِمٍ جَلِيْلٍ. Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah tabi’ atau na’at dari kata sebelumnya.

Keempat: Munada (sesuatu yang dipanggil). Contohnya: يَا خَالِدُ تَمَهَّلْ فِيْ سَيْرِكَ (Wahai Khalid, pelan-pelanlah jalanmu). Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim karena adalah orang yang dipanggil

Kelima: Mudhaf (kata yang disandarkan). Contohnya: كِتَابُ طَالِبِ الْعِلْمِ جَدِيْدٌ. Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim karena berposisi sebagai mudhaf dan kata tersebut juga merupakan mubtada.

Keenam: Bisa di-jamak (lebih dari satu kata). Contohnya: أَبْوَابُ الرِّزْقِ كَثِيْرَةٌ. Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim karena bisa di-jamak dari bentuk mufrad (tunggal), yaitu بَابٌ.

Ketujuh: Bisa di-tashgir (mengecilkan/mengasihi/menghina). حُسَيْنٌ أَشْجَعُ مِنْ أَخِيْهِ (Husain lebih berani daripada saudaranya). Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah isim karena merupakan bentuk tashgir dari kata حَسَنٌ. Di antara tujuan dari tasghir adalah menyampaikan bentuk kasih sayang, mengungkapkan kecil, ataupun menghina.

Kembali ke bagian 1: Mukadimah

Lanjut ke bagian 3: Mengenal Isim Mu’rab dan Mabni

***

Penulis: Rafi Nugraha

Artikel: Muslim.or.id

source

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading