Benarkah Ucapan Selamat Natal Tidak Mempengaruhi Akidah?


Ucapan seseorang harus selalu dijaga. Terkadang seorang mengucapkan sesuatu yang dia anggap sepele, ternyata dapat melemparkannya ke dalam neraka jahanam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sungguh, seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah, yang tidak ia pikirkan akibatnya; membuat ia terjerumus ke dalam neraka jahanam akibat ucapannya tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 6478)

Ada sebuah kisah yang menunjukkan bahwa ucapan seseorang bisa berpengaruh fatal terhadap keimanannya.

Dalam perjalanan perang Tabuk, ada salah seorang yang berkata, “Kita belum pernah melihat qurra’ (ahli baca al-Qur’an) seperti mereka ini, paling gendut perutnya, paling dusta ucapannya, paling takut ketika bertemu musuh.”

Maksudnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah sosok yang terlalu banyak makan sehingga perutnya gendut (tidak ada pekerjaan lain kecuali makan), selalu berbicara dusta, sangat takut betemu musuh, dan pasti melarikan diri.

Pasukan lain yang mendengar ucapan tersebut pun tersentak. Dengan sigap, dia segera mengadukan ucapan tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sang pembicara mengetahui ucapannya diadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bersegera memacu kudanya mendatangi Rasulullah untuk menyampaikan alasan,

“Wahai Rasul, kami mengucapkannya hanya bersenda gurau dan bermain-main,” kelitnya. Namun, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya),

“Mengapa terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (At-Taubah: 65)

Dengan tegas pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bahwa berolok-olok dengan Allah dan Rasul-Nya adalah kekafiran.

“Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman.” (At-Taubah: 66)

Disebutkan pada beberapa riwayat, sang pembicara tadi terus-menerus membujuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diampuni. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bergeming. (Lihat Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul hlm. 123)

Saudaraku kaum muslimin rahimakumullah, kami mengajak sekali lagi supaya kita merenungi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh tadabur dan penghayatan, disertai keimanan dan rasa takut kepada Zat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu,

وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka ucapkan itu), niscaya mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main.’ Katakanlah, ‘Mengapa terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak perlu kamu meminta maaf karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.” (At-Taubah: 65—66)

Dari kisah tersebut kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa ucapan yang keluar dari lisan kita, bisa berakibat fatal terhadap keimanan kita.

Jika ingin selamat, hendaknya kita benar-benar bersungguh-sungguh menjaga semua ucapan dan amalan kita. Apabila kita hendak berucap atau berbuat, selalu timbang setiap ucapan dan perbuatan kita dengan timbangan ilmu dan syariat. Sebab, ternyata ucapan pun bisa membuat akidah kita ternoda. Bahkan, pada tahap tertentu bisa menghantarkan kepada kekufuran.

Kesimpulannya, ucapan lisan sangat berpengaruh terhadap keimanan dan agama seseorang. Hal ini menunjukkan kekeliruan pernyataan sebagian pihak yang telah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin.

“Tidak apa-apa kita mengucapkan selamat hari raya agama lain, yang penting akidah kita tetap terjaga. Sekadar ucapan selamat tidak akan mempengaruhi akidah.”

“Cemen sekali keimanan seseorang kalau mengucapkan selamat hari raya agama lain kemudian mempengaruhi akidahnya.”

Menanggapi pernyataan-pernyataan di atas, kita katakan, “Sungguh, kami Ahlussunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa iman meliputi keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Iman bisa bertambah (dengan ketaatan) dan berkurang (dengan melakukan pelanggaran syariat).”

Ar-Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah menyatakan, “Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i berkata, ‘Iman mencakup ucapan dan perbuatan, (bisa) bertambah dan berkurang.’” (Siyar al-A’lam an-Nubala 10/32)

Demikian halnya dengan ucapan selamat Natal. Mengucapkan selamat Natal akan berpengaruh terhadap keimanan seorang muslim. Sebab, ucapan selamat Natal adalah bentuk keridhaan dan persetujuan seseorang terhadap perayaan Natal yang merupakan syiar dan simbol kekufuran.

Nasihat dan Penjelasan Ibnul Qayyim Tentang Hukum Memberi Ucapan Atas Hari Raya Agama Lain

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه. )أحکام أهل الذمة  (1/44

“Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat Natal, -pent.) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat atas hari raya dan puasa mereka, seperti mengatakan, ‘Ied mubarak atasmu,’ atau dengan ucapan, ‘Selamat hari raya,’ dan semacamnya. Seandainya orang yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, minimalnya dia terjatuh pada perkara yang haram. Ucapan selamat hari raya kepada mereka seperti ini sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan kepada salib. Bahkan, ucapan selamat hari raya tersebut lebih besar dosanya dan lebih dibenci oleh Allah daripada seseorang memberi ucapan selamat kepada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang menghargai agama Islam terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barang siapa memberi ucapan selamat atas perbuatan maksiat, bid’ah, atau kekufuran; dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah.” (Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/441)

Beberapa kesimpulan dari penjelasan Ibnul Qayyim rahimahullah:

1.  Hukum mengucapkan selamat hari raya agama lain adalah haram berdasarkan kesepakatan ulama.

2.  Ucapan selamat hari raya kepada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib.

3.  Bagaimana pendapat Anda apabila ada seorang yang mengatakan kepada para peminum khamar (minuman keras), “Selamat minum khamar….” atau kepada para pembunuh, “Selamat membunuh….” atau mengatakan kepada para pezina, ”Selamat berzina….”?

Apakah orang yang berakal akan menilai bahwa ucapan tersebut adalah ucapan yang “sah-sah” saja? Atau pengucapnya pasti akan dicela?

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa dosa ucapan selamat hari raya agama lain lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada ucapan selamat kepada orang yang minum khamar (minuman keras), membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Kemungkaran Dalam Perayaan Natal

Kita sepakat bahwa memberi ucapan selamat atas perbuatan mungkar, hukumnya haram. Haram mengucapkan selamat berzina, selamat minum khamar, selamat membunuh, dan semisalnya. Demikian pula perayaan Natal, haram mengucapkan selamat atasnya karena perayaan natal penuh dengan kemungkaran yang lebih besar dari minum khamar, membunuh, dan berzina. Di antara kemungkaran yang ada dalam misa Natal:

1. Ikrar bahwa Isa adalah putra Tuhan.

2. Mempersembahkan doa kepada Isa.

3. Lagu-lagu rohani yang mengandung puji-pujian dan ikrar bahwa Isa adalah putra Tuhan.

Mengucapkan selamat Natal berarti mengucapkan selamat atas kemungkaran-kemungkaran tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَقَالُواْ ٱتَّخَذَ ٱلرَّحۡمَٰنُ وَلَدٗا ٨٨ لَّقَدۡ جِئۡتُمۡ شَيۡ‍ًٔا إِدّٗا ٨٩ تَكَادُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ يَتَفَطَّرۡنَ مِنۡهُ وَتَنشَقُّ ٱلۡأَرۡضُ وَتَخِرُّ ٱلۡجِبَالُ هَدًّا ٩٠ أَن دَعَوۡاْ لِلرَّحۡمَٰنِ وَلَدٗا ٩١ وَمَا يَنۢبَغِي لِلرَّحۡمَٰنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا ٩٢

Mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak.” Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak. (Maryam: 88—92)

Apa Tujuan Seseorang Mengucapkan Selamat Natal?

Sebagian mungkin akan menjawab, “Toleransi.”

Pertanyaan berikutnya, “Apa itu toleransi?”

“Bagaimana toleransi yang benar menurut pandangan Islam?”

“Apa sikap kita jika toleransi harus mengorbankan prinsip dan ajaran Islam?”

“Bagaimana toleransi Islam dalam aspek keberagamaan?”

“Siapakah yang intoleran?”

Penjelasan tentang hal ini secara lengkap bisa dibaca pada Majalah Asy Syariah edisi 123 “Islam Agama Toleran”. Berikut sebagian cuplikannya, silakan klik:

https://t.me/asysyariah/25

https://t.me/asysyariah/28

https://t.me/asysyariah/31

https://t.me/asysyariah/32

https://t.me/asysyariah/33

https://t.me/asysyariah/34.

Tujuan Yang Semu

Jika kita bertanya dengan jujur kepada pihak yang mengucapkan selamat Natal, “Apa yang terbetik di hati Anda ketika mengucapkan selamat Natal? Apakah Anda mengucapkannya dengan perasaan penuh kebencian? Atau di hati Anda tidak ada perasaan apa-apa alias biasa-biasa saja? Atau di hati Anda ada (walau sedikit) rasa ridha? Bagaimana raut muka dan mimik wajah Anda ketika mengucapkannya? Apakah Anda ucapkan dengan wajah masam dan cemberut? Atau wajah senyum dan berseri?”

Apapun jawabannya, kami sarankan untuk menyimak kembali keterangan di atas, terkhusus penjelasan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.

Di sisi lain kita katakan, minimalnya tujuan ucapan selamat Natal adalah supaya kaum Nasrani yang mereka ucapi selamat tersebut ridha atau senang. Bukankah begitu?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),

“Barang siapa mencari keridhaan manusia dengan jalan yang Allah murkai, Allah akan murka kepadanya dan Allah akan membuat manusia (yang dicari keridhaannya tersebut) murka kepadanya pula.” (HR. At-Tirmidzi no. 2414, lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2250)

Oleh karena itu, tidak akan mungkin tujuan dari ucapan selamat Natal tersebut tercapai sedikit pun. Kalaupun beralasan toleransi, itu adalah toleransi yang semu. Jika yang diharapkan adalah persatuan dan kerukunan, itu adalah persatuan dan kerukunan yang maya. Selama tujuan tersebut diraih dengan jalan yang Allah murkai, hakikat tujuan tersebut tidak akan pernah tercapai. Persatuan dan kerukunan yang sebenarnya adalah dengan menjalin toleransi dan kerukunan di atas sikap berpegang teguh dengan al-Qur’an dan Sunnah, dengan pemahaman para sahabat.

Terakhir, kami mengingatkan kepada segenap kaum muslimin untuk merenungi dan senantiasa mengingat kembali firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta kita, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk yang tersembunyi dalam dada-dada manusia,

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita untuk menjaga akidah dan keimanan sampai akhir hayat.

Disusun oleh: Tim Redaksi Forum Salafy



Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *