Istiqomah Hakiki Berpegang Diatas Manhaj

Istiqomah Hakiki Berpegang Diatas Manhaj


SEPULUH KAIDAH PENTING TENTANG ISTIQOMAH

Kaidah Kedua: Istiqomah yang hakiki adalah berpegang diatas manhaj (metode atau cara) yang tegak dan berjalan di atas jalan yang lurus

Kita bisa mengambil petunjuk untuk bisa memahami istiqomah yang hakiki dengan meneliti serta memahami penukilan-penukilan yang berbarakah dari perkataanya para sahabat dan tabi’in serta orang-orang yang mengikuti cara mereka dengan baik di dalam menjelaskan makna istiqomah serta penjabarannya. Berikut nukilan dari perkataannya mereka:

Telah berkata Shodiqul Ummah (orang yang jujur dalam umat ini) Abu Bakar semoga Allah meridhoinya di dalam tafsir firman Allah Ta’ala:

قال الله تعالى: ﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…﴾ [الأحقاف: 13]

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah..” [al-Ahqaaf/46: 13].

Beliau Radhiyallahu anhu mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun”.[1]

Dan di riwayatkan dari Umar bin al-Khattab semoga Allah meridhoinya bahwasannya beliau jika membaca ayat ini di atas mimbar . Beliau mengatakan: “Mereka tidak mengaung seperti aungan srigala“(Diriwayatkan oleh Thabrani dalam tafsirnya [21/465])

Dan di riwayatkan dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhoinya pada makna firman Allah Ta’ala :

قال الله تعالى: ﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا…﴾ [الأحقاف: 13]

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan Kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah..” [al-Ahqaaf/46: 13].

Beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan: “Diatas kalimat syahadah (persaksian) laa ilaha ilaa allah“.

Demikian pula di riwayatkan semisal ini dari Anas, Mujahid, al-Aswad bin Hilal, Zaid bin Aslam as-Sudi, Ikrimah dan selain mereka.[2]

Demikian pula di riwayatkan dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhoi keduanya ketika menafsirkan makna ayat di atas, beliau mengatakan: “Mereka beristiqomah di atas faraid (kewajiban-kewajiban.pent) yang mereka kerjakan”.[3]

Abu Aliyah mengatakan: “Kemudian mereka mengikhlaskan agama serta amalannya kepada Allah semata[4].

Sedangkan di riwayatkan dari Qatadah ketika beliau menafsirkan firman Allah Ta’ala “kemudian mereka tetap istiqamah..”. Beliau berkata: “Mereka istiqomah di atas ketaatan kepada Allah Ta’ala“. Di riwayatkan oleh Abdurazzaq dalam Mushanifnya 2618.

Ibnu Rajab telah menyebutkan perkataan-perkataan salaf seperti di atas tadi di dalam kitabnya Jaami’ul ulum wal hikam.[5] Beliau juga menjelaskan yang berkaitan tentang istiqomah tersebut dengan mengatakan: “Istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus, yaitu (jalan yang lurus tersebut adalah) agama yang tegak lurus tanpa ada kebengkokan sedikitpun baik ke kiri maupun ke kanan, yang mencakup di dalamnya semua perbuatan taat baik yang dhohir (nampak) maupun yang bathin (tersembunyi), dan meninggalkan seluruh larangan. Sehingga menjadikan wasiat ini (untuk istiqomah) merupakan wasiat yang mencakup seluruh dari cabang agama semuanya”.[6]

Makna-makna yang terkandung dari ucapan para ulama tersebut tidaklah saling jauh berbeda satu sama lainnya, namun yang ada adalah saling menafsirkan sebagian dengan sebagian yang lainnya, di karenakan istiqomah termasuk dari kumpulan kalimat yang mengandung makna agama secara keseluruhan.

Ibnu Qoyim menegaskan: “Istiqomah adalah sebuah kalimat yang mencakup dan terambil dari semua cabang agama, yang mana agama tersebut tegak di hadapan Allah di atas kejujuran yang sejati dan mau memenuhi janj”.[7]

[Disalin dari عَشْرُ قَوَاعِدَ فِي الاسْتِقَــامَةِ   (edisi Indonesia : Sepuluh Kaidah Penting Tentang Istiqomah). Penulis Prof. DR. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr  Penerjemah Abu Umamah Arif Hidayatullah, Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com]
_______
Footnote
[1] Atsar di riwayatkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsirnya 21/464. cet Muasasah Risaalah
[2] Lihat tafsir ath-Thabari 21/364-365.
[3] Diriwayatkan ole hath-Thabari dalam tafsirnya 21/465
[4] Di nukil oleh Mawardi dalam kitab an-Nukatu wa al-Uyun 5/275,
[5] Jaami’ul ulum wal hikam hal 383-384.
[6] Jaami’ul ulum wal hikam hal 385.
[7] Madaariju Saalikin 2/105



Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *