Sikap ketiga: Berprasangka baik kepada Allah (husnuzan billah)
Termasuk salah satu amalan hati yang agung adalah seseorang hendaknya senantiasa husnuzan billah (berbaik sangka kepada Allah). Yakinlah bahwa Allah tidak akan membuat kecewa seorang hamba yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Karena Allah tidak akan mengecewakan harapan orang-orang yang berharap kepada-Nya dan tidak akan menyia-nyiakan amalan orang yang beramal. Allah Ta’ala berfirman,
وَٱصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud: 115)
Sebaliknya, di antara dosa yang paling besar adalah berprasangka buruk kepada Allah. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa prasangka buruk merupakan sifat orang musyrik dan orang munafik. Allah Ta’ala berfirman,
وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرا
“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.“ (QS. Al-Fath: 6)
Dari Wasilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاءَ
“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Maka berprasangkalah kepada-Ku menurut apa yang dikehendaki-Nya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 16016; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4316)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قال اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ
“Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku. Jika ia bersangka baik kepadaku, maka (kebaikan) itu untuknya. Dan jika ia bersangka buruk, maka (keburukan) itu untuknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 9076; Al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al–Jaami’ no. 4315)
Maksudnya, hendaknya seorang hamba selalu berprasangka baik kepada Allah. Apabila dia beristigfar, dia husnuzan dengan adanya pemberian ampunan dari Allah. Apabila dia bertobat, dia husnuzan akan diterima tobatnya. Apabila berdoa, dia yakin doanya akan dikabulkan. Apabila dia bekerja mencari nafkah, dia husnuzan akan mendapat kecukupan dari Allah. Dan demikian seterusnya. Sedangkan apabila dia berprasangka yang menyelisihi hal itu, maka dia akan mendapat sesuai dengan apa yang dia persangkakan kepada Allah.
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan di dalam kitabnya, “Husnuzan billah”, dari sahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud, bahwa beliau berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba yang beriman dianugerahkan sesuatau yang lebih baik daripada sikap berbaik sangka kepada Allah. Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia, tidaklah seorang hamba berprasangka baik kepada Allah, kecuali Allah akan membalas prasangkanya tersebut, karena segala kebaikan berada di tangan Allah.“
Di antara kondisi yang super sulit dan puncaknya kesulitan yang akan dihadapi oleh seorang hamba adalah ketika menjelang kematian. Karena pada saat itu, tidak ada lagi amal yang bisa dia lakukan. Meskipun demikian, kita ditekankan untuk selalu husnuzan kepada Allah Ta’ala ketika menjelang kematian tersebut. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiga hari sebelum wafatnya bersabda,
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ
“Janganlah salah seorang di antara kalian mati, melainkan ia harus berprasangka baik kepada Allah.” (HR. Muslim No. 2877)
Kondisi lain yang juga ditekankan bagi hamba untuk berprasangka baik adalah ketika seseorang bertobat dari dosa-dosanya. Husnuzan ini sangat tergantung dari pengetahuan dan pengenalan seorang hamba terhadap nama dan sifat Allah Ta’ala. Jika seorang muslim mengetahui bahwa Allah adalah Al–Ghaffar (Yang Maha pengampun), maka dia akan berbaik sangka dengan segera beristigfar, memperbanyak istigfar, dan konsisten untuk terus meminta ampun kepada Allah terhadap dosa-dosa dan kesalahannya.
Demikian pula, jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah adalah At–Tawwab (Yang Maha menerima tobat), maka dia pun akan memiliki sifat berbaik sangka kepada Allah ketika bertobat kepada-Nya, setiap kali terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Dia tetap berbaik sangka kepada Allah, meskipun kesalahannya besar, karena dia tahu bahwa Allah Maha luas ampunan-Nya dan Dia akan menerima tobat bagi orang yang bertobat. Allah Ta’ala berfirman,
قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Jika seorang hamba tertimpa musibah atau sakit, dia pun berprasangka baik kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Asy–Syaafi; tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim Khalilurrahman,
وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara: 80)
Dia pun berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
اللَّهُـمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَاسَ، اشْفِهِ وَأَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Wahai Tuhan seluruh manusia, hilangkanlah penyakitnya, sembuhkanlah dia. (Hanya) Engkaulah yang dapat menyembuhkannya, tidak ada kesembuhan melainkan kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak kambuh lagi.” (HR. Bukhari No. 5743)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al-Baqarah: 186)
Jika seseorang ditimpa musibah berkaitan dengan harta (masalah ekonomi), dia ditimpa kekurangan dan kefakiran, dia pun berbaik sangka kepada Allah. Dia berbaik sangka kepada Allah karena dia meyakini bahwa karunia Allah sangat luas dan pemberian-Nya banyak.
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa berbaik sangka kepada Allah senantiasa melekat pada diri seorang mukmin dalam setiap kondisinya, dan juga dalam seluruh amal ibadahnya. Seseorang tidak bisa berbaik sangka kepada Allah, kecuali: 1) dia meyakini luasnya rahmat Allah; 2) meyakini bahwa Allah melihat dan mengetahui kondisi kita; 3) dan meyakini sempurnanya kekuasaan Allah. Kita harus meyakini tiga hal itu, baru kita bisa husnuzan kepada Allah.
Oleh karena itu, pada saat seorang hamba menghadapi suatu masalah yang rumit dan berat, dia yakin bahwa kondisinya itu pasti Allah ketahui. Dia pun berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah akan memberinya solusi dan pertolongan atas kesulitannya tersebut. Dia tetap optimis dan tidak putus asa, seberat apapun masalah yang dihadapi.
Sunnatullah berlaku bahwa pertolongan dan solusi itu datang saat seseorang di puncak kesulitan. Oleh karena itu, seorang hamba hendaknya memaksimalkan husnuzan-nya saat berada di puncak kesulitan. Saat di puncak kesulitan, di saat itulah dia berada dalam puncak husnuzan billah. Dia yakin bahwa saat ini, tidak ada yang bisa menolongnya kecuali Allah Ta’ala semata. Allah-lah yang mengatur hidupnya. Sehingga hatinya pun tidak berharap lagi kepada manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَآ أَمۡرُهُۥٓ إِذَآ أَرَادَ شَيۡئا أَن يَقُولَ لَهُۥ كُن فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!”, maka terjadilah ia.” (QS. Ya Sin: 82)
Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan hal ini. Yaitu pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu bakar radhiyallahu ‘anhu bersembunyi di dalam gua, dan hampir saja tertangkap oleh kaum musyrikin. Di saat kegentingan tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berprasangka baik kepada Allah dengan mengatakan kepada Abu Bakar,
لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللّهَ مَعَنَا
“Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)
Berprasangka baik kepada Allah ini tidaklah mudah. Hendaknya dia senantiasa bertakwa dan menjaga diri dari kemaksiatan, agar dia memiliki amalan hati tersebut. Apabila seseorang bermudah-mudah dalam mengerjakan maksiat, maka dosa dan kesalahan tersebut akan menjauhkan dirinya dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin adalah yang paling baik prasangkanya kepada Allah dan paling baik amalnya. Adapun orang fajir adalah orang yang paling jelek prasangkanya kepada Allah dan paling jelek dalam beramal.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al–Mushanaf no. 37925)
Oleh karena itu, hendaknya setiap hamba menasihati dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam memperbaiki amal yang merupakan buah dari sikap berprasangka baik kepada Allah. Alllah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabut: 69)
Kembali ke bagian 2: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 2)
Lanjut ke bagian 4: Sikap Seorang Mukmin Ketika di Puncak Kesulitan (Bag. 4)
***
@Rumah Kasongan, 2 Sya’ban 1445/ 12 Februari 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply