Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 5): Mengenal Macam-Macam Fi’il

Penjelasan Kitab Ta’jilun Nada (Bag. 5): Mengenal Macam-Macam Fi’il

Fi’il Madhi

Ibnu Hisyam mengatakan,

. وَأَمَّا الْفِعْلُ فَثَلاثةُ أَقْسَامٍ : مَاض، وَيُعْرَفُ بِتَاءِ التَّأنِيْثِ

Adapun fi’il ada tiga macam. Yaitu: (Pertama) fi’il madhi (kata kerja menunjukkan lampau). Fi’il madhi bisa dikenal dengan adanya ciri-ciri bisa bersambung atau melekat dengan ta’ ta’nist sakinah (huruf ta’ yang menunjukkan pelakunya perempuan dan disukun.

===

Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya ketika Ibnu Hisyam telah menyelesaikan pembahasan tentang isim mu’rab dan isim mabni, Ibnu Hisyam membahas tentang fi’il. Bahwasanya fi’il itu ada tiga macam. Yaitu:

Pertama: Fi’il Madhi (kata kerja menunjukkan lampau)

 Kata مَاضٍ pada kalimat yang disampaikan Ibnu Hisyam pada matan di atas berkedudukan sebagai badal (pengganti) dari kata ثَلَاثَةُ. Kata tersebut marfu’ dengan tanda dhammah muqaddarah (tersirat/dilesapkan) dengan tanda huruf ي (ya’) yang dihapus karena bertemunya dua sukun dan beratnya pengucapan harakat pada huruf yang dihapus tersebut menurut lisannya orang Arab. Begitulah i’rab lafadz tersebut ketika dalam keadaan rafa’ dan jer. Akan tetapi, ketika keadaan kata tersebut nashab, maka harakat fathahnya dimunculkan. Sehingga dibaca seperti berikut:

رَأَيْتُ قَاضِيًا

Aku melihat seorang hakim.

Huruf yang bergaris bawah tersebut diberi tanda fathah, karena harakat fathah dianggap lebih ringan pengucapannya.

Fi’il madhi adalah kata yang menunjukkan kepada kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau perbuatan yang dihukumi pasti akan terjadi. Contohnya adalah:

سَافَرَ الضَّيْفُ

Tamu itu telah bersafar.

Maka, kata yang bergaris bawah tersebut adalah kata yang menunjukkan kepada peristiwa atau kegiatan bersafar dan menunjukkan peristiwa tersebut telah selesai kejadiannya sebelum seseorang membicarakannya.

أَتَى أَمْرُ اللهُ

Akan datang ketetapan Allah.

Fi’il tersebut menggunakan fi’il madhi. Meskipun ketetapan Allah belum datang, akan tetapi keputusan Allah pasti akan datang.

Ciri-ciri fi’il madhi

Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menyebutkan bahwasanya fi’il madhi tersebut mempunyai tanda yang membedakan fi’il madhi dari fi’il mudharri dan fi’il amr. Yaitu :

Pertama: Adanya ta’ ta’nits sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan dan sukun yang melekat pada fi’il madhi)

Apabila ada fi’il yang bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah, maka itu pasti fi’il madhi. Contohnya kata:

جَلَسَ

Ketika bisa dimasuki ta’ ta’nits sakinah. Contohnya:

جَلَسَتْ هِنْدٌ

Hindun telah duduk.

Maka, kata tersebut pasti fi’il madhi karena bisa bersambung dengan ta’ ta’nits sakinah.

Adapun maksud Ibnu Hisyam “السَّكِيْنَةُ” asalnya sukun.  Tidak masalah apabila ta’ ta’nist sakinah tersebut berharakat karena alasan tertentu. Misal, ketika bertemu dua huruf yang sukun, maka tidak boleh dua huruf bertemu yang sama-sama sukun. Contohnya di dalam Al-Qur’an adalah:

قَالَتِ آمْرَأَتُ العَزِيْزِ

Istri Al-Aziz mengatakan.” (QS. Yusuf : 51)

Pada huruf yang bergaris bawah tersebut, asalnya adalah sukun. Akan tetapi, pada potongan ayat tersebut huruf ta ta’nits bertemu dengan kata setelahnya yang diawali huruf hamzah washal yang sukun, sehingga huruf ta’ ta’nits tersebut diganti menjadi harakat kasrah. Maka, harakat kasrah pada huruf tersebut bukan harakat asli, namun asalnya adalah sukun.

Maka, tidak masuk pada pembahasan ini huruf ta’ ta’nits yang pada asalnya adalah huruf ta’ ta’nits yang berharakat. Apabila huruf ta’ ta’nits tersebut adalah harakat i’rab (bisa damah, fathah, atau kasrah), maka kata tersebut khusus masuk kategori harakat mu’rob yang menunjukkan pada isim mu’rob.  Contohnya:

قَائِمَة

فَاطِمَة

Kedua huruf yang bergaris bawah tersebut bisa berharakat damah, fathah, dan kasrah.

Namun, apabila harakatnya tersebut bukan harakat i’rob (tidak bisa berubah), maka harakat tersebut adalah harakat mabni yang menunjukkan pada isim mabni. Contohnya adalah:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلّا َبِاللهِ

Maka, harakat pada huruf terakhir kata yang bergaris bawah tersebut akan selalu berakhiran fathah karena termasuk pada kategori isim mabni dengan tanda fathah. Kata tersebut mabni dikarenakan berkedudukan isim laa nafiyah lil jinsi (akan disampaikan pembahasannya pada babnya).

Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa ada pada fi’il. Contohnya adalah:

هِنْدٌ تَقُوْمُ

Hindun berdiri.

Huruf yang bergaris bawah tersebut bukanlah ta’ ta’nist sakinah. Namun, huruf tersebut adalah ta’ ta’nist mutaharrikah. Huruf tersebut tidak masuk kategori ta‘ ta’nist sakinah dan juga bukan harakat i’rob, karena tidak terletak pada akhir kata.

Ta’ ta’nits mutaharrikah (bukan sukun) bisa juga ada pada huruf. Contohnya adalah رُبَّتَ “Banyak/sedikit” dan ثُمَّتَ “Kemudian”. Contohnya di dalam kalimat adalah:

رُبَّتَ كَلِمَةٍ فَتَحَتْ بَابَ شَرٍّ ثُمَّتَ جَلَبَتْ لِصَاحِبِهَا بَلَاءً

Betapa banyak kalimat yang membuka pintu kejelekan yang mendatangkan musibah kepada pelakunya.

Huruf ta’ ta’nist mutaharrikah tersebut melekat pada huruf.

Kedua: Fi’il madhi bisa bersambung dengan ta’ fa’il (pelaku) mutaharrikah (damah, fathah, dan kasrah)

Berikut rinciannya:

Pertama: Berharakat damah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya:

بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ

Aku memberikan buku yang kamu sukai.

Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il.

Kedua: Berharakat fathah untuk menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang pertama (yang berbicara)). Contohnya:

بِهِ  أَعْطَيْتُكَ كِتَابًا فَرَحْتَ

Aku memberikan buku yang kamu sukai.

Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il.

Ketiga: Harakat fathah menunjukkan ta’ fa’il (pelaku orang kedua (yang diajak berbicara)). Contohnya:

أَنْتِ قُمْتِ بِالوَاجِبِ

Kamu melaksanakan kewajibanmu.

Yang bergaris bawah tersebut merupakan ta’ fa’il.

Keadaan mabni fi’il madhi

Ibnu Hisyam mengatakan,

.وَبِنَاؤُهُ عَلَى الْفَتْحِ كَضَرَب، إِلّاَ مَعَ وَاوِ الْجَمَاعَةِ فَيُضَمُّ كَضَرَبُوْا، وَالضَّمِيْرُ الْمَرْفُوْعِ الْمُتَحَرِّكَ فَيُسَكَّنُ، كَضَرَبْتُ

Fi’il madhi bisa mabni dengan tanda fathah, contohnya:

 ضَرَبَ

Dia (laki-laki) telah memukul.

Kecuali yang bersambung dengan wawu jama’ah (menunjukkan orang ketiga banyak), contohnya:

 ضَرَبُوْا,

Mereka (laki-laki) telah memukul.

dan bisa sukun apabila bersambung dengan dhomir rafa’, contohnya:

 ضَرَبْتُ.

Aku telah memukul.

===

Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan bahwasanya keadaan fi’il madhi ada tiga macam, yaitu:

Pertama, Mabni dengan tanda fathah.

Tanda tersebut adalah tanda utama fi’il madhi. Baik fathahnya tampak ataupun tidak tampak. Contohnya adalah:

تَكَلَّمَ الْخَطِيْبُ

Khatib itu telah berbicara.

Maka, fathah pada huruf mim tampak.

دَعَا المُسْلِمُ رَبَّهُ

Orang muslim itu berdoa kepada Rabbnya.

Fathah pada huruf alif yang bergaris bawah tersebut tidak tampak (tidak ada) dikarenakan adanya udzur, yaitu huruf alif pada posisinya tersebut tidak bisa menerima harakat.

Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan mengatakan bahwasanya fi’il madhi mabni dengan tanda fathah apabila tidak bersambung dengan apa pun, kecuali:

Pertama: bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah. Contohnya adalah:

نَصَحَتْ فَاطِمَةُ أُخْتَهَا

Fatimah memberikan nasihat kepada saudarinya.

Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan ta’ ta’nist sakinah.

Kedua: bersambung dengan alif tasniyyah. Contohnya adalah:

الشَّاهِدَانِ قَالَا الحَقَّ

Dua saksi itu mengatakan kebenaran.

Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda fathah pada huruf ل  (lam) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah.

Kedua, fi’il madhi mabni dengan tanda damah apabila bersambung dengan wawu jama’ah.

Contohnya adalah:

المُجَاهِدُوْنَ حَضَرُوْا

Laki-laki yang bersungguh-sungguh itu telah hadir.

Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda damah pada huruf ر (ra’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan alif tasniyyah.

Ketiga, fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan  dhamir rafa’ yang berharakat dammah, fathah, atau kasrah.

Seperti:

Bersambung dengan ta’ fa’il.

Contohnya:

كَتَبْتُ الحَدِيْثَ

Aku telah menulis sebuah hadis.”

Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ب (ba’) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan ta’ fa’il.

Bersambung dengan naa (dhomir nahnu) fa’il (pelaku orang pertama jama’).

Contohnya:

اِسْتَمَعْنَا المُحَاضَرَةَ

Kami telah mendengarkan muhadharah.

Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf ن (nun) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan naa fa’il.

Bersambung dengan nun inast, (pelakunya orang ketiga jama’ perempuan).

Contohnya:

البَنَاتُ جَلَسْنَ فِي المَنْزِلِ

Anak-anak perempuan duduk di rumah.

Maka, fi’il madhi tersebut mabni dengan tanda sukun pada huruf س (sin) yang bergaris bawah pada kalimat di atas karena bersambung dengan nun inast.

Ibnu Hisyam mengatakan,

الضَّمِيْرُ المَرْفُوْعِ المُتَرِّحِكِ

Fi’il madhi mabni dengan tanda sukun apabila bersambung dengan dhamir rafa’ yang berharakat.”

===

Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan perkataan Ibnu Hisyam di atas bahwasanya jika bersambung dengan dhamir nashab tidak masuk pada pembahasan ini. Contohnya:

Bersambung dengan dhamir ك. Contohnya adalah:

أَكْرَمَكَ

Aku memuliakanmu.

Kata yang bergaris bawah tersebut adalah dhamir nashab (objek).

Bersambung dengan dhamir نَا. Contohnya adalah:

مُحَمَّدُ أَكْرَمَنَا

Muhammad memuliakan kami.

Maka, dhamir نَا tersebut adalah dhamir nashab berkedudukan sebagai maf’ul bih.

Apabila fi’il madhi bersambung dengan wawu jama’ah (pelaku yang menunjukkan lebih dari dua orang untuk orang ketiga laki-laki), maka fi’il madhi tersebut bukan mabni dengan tanda sukun, akan tetapi mabni dengan tanda damah. Begitu juga dengan fi’il madhi yang bersambung dengan alif istnain (pelaku yang menunjukkan jumlahnya dua orang), maka fiil tersebut mabni dengan tanda fathah.

Khilaf kata-kata berikut masuk fi’il madhi atau tidak

Ibnu Hisyam mengatakan,

وَمِنْهُ نِعْمَ وَبِئْسَ وعَسَى ولَيْسَ فِي الأَصَحِّ

Di antara kata yang masuk fi’il madhi adalah  نِعْمَ (sebaik-baik), بِئْسَ (sejelekjelek), عَسَى (semoga), لَيْسَ (bukan) menurut pendapat yang lebih kuat.

 ===

Syekh Muhammad Ibn Shalih Al-Fauzan menjelaskan dalam pernyataan Ibnu Hisyam di atas terdapat penjelasan bahwasanya keempat fi’il madhi di atas diperselisihkan statusnya sebagai fi’il madhi. Dalil yang menunjukkan kata tersebut dikatakan masuk kategori fi’il madhi adalah kata tersebut bisa dimasuki ta’ ta’nist sakinah (menunjukkan pelakunya perempuan orang ketiga satu orang). Contohnya adalah:

نِعْمَتِ الْمَرْأَةُ فَاطِمَةُ

Sebaik-baik perempuan adalah Fatimah.

Kata نِعْمَ tersebut adalah fi’il madhi jamid (yang tidak ada turunan kata sebagaimana fi’il pada umumnya) mabni dengan tanda fathah yang tidak mempunyai kedudukan di dalam i’rab. Adapun huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Sedangkan kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il نِعْمَ dan jumlah fi’il dan fai’l tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata فَاطِمَة berkedudukan sebagai mubtadamuakhar (mubtada’ yang diakhirkan).

بِئْسَتِ الْمَرْأَةُ هِنْدٌ

Sejelek-jelek perempuan adalah Hindun.

Huruf yang bergaris bawah tersebut adalah ta ta’nist sakinah yang menunjukkan bersambung dengan fi’il madhi. Adapun kata الْمَرْأَةُ berkedudukan sebagai fa’il بِئْسَ dan jumlah fi’il dan fa’il tersebut berkedudukan sebagai khabar muqaddam (didahulukan). Adapun kata هِنْدٌ berkedudukan sebagai mubtada’ muakhar (mubtada’ yang diakhirkan).

عَسَتْ هِنْدٌ أَنْ تَقُوْمَ

Semoga Hindun berdiri.

Kata عَسَى tersebut adalah fi’il madhi naqish (butuh isim dan khabar) mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ tersebut adalah ta ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata هِنْدٌ adalah isim عَسَى marfu’ dengan tanda damah. Kemudian huruf أَنْ tersebut adalah huruf mashdariyyah manshub.  Sedangkan kata تَقُوْمَ adalah fi’il mudhari manshub dengan huruf أَنْ dan fa’il-nya berupa dhamir mustathir. Mashdar muawwal huruf أَنْ dan  fa’il sebagai khobar عَسَى.

لَيْسَتْ الْمُؤْمِنَةُ مُتَبَرِّجَةً

Tidaklah  pantas bagi perempuan yang beriman bersolek (untuk orang lain).

Maka, kata لَيْسَ tersebut adalah fi’il madhi naqish mabni dengan tanda fathah. Adapun huruf تْ (ta’) tersebut adalah ta’nist sakinah (yang menunjukkan pelakunya perempuan). Sedangkan kata الْمُؤْمِنَة adalah isim لَيْسَ marfu’ dengan tanda damah. Sedangkan kata مُتَبَرِّجَة berkedudukan sebagai khabar laisa manshub dengan tanda fathah.

Kembali ke bagian 4: Isim Mabni

Lanjut ke bagian 6: Bersambung

***

Penulis: Rafi Nugraha

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *