Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1)

Mengapa Islam Agama yang Benar? (Bag. 1)

Dalam perjalanan mencari kebenaran, setelah seseorang mengetahui dan mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, maka langkah selanjutnya adalah mencari tahu petunjuk Tuhan manakah yang benar? Sebab, seseorang akan dihadapkan pada fakta banyaknya jumlah agama di dunia ini. Hal itu seringkali membuat orang yang sedang mencari kebenaran kebingungan.

Apalagi ditambah dengan banyaknya aliran -isme, semacam liberalisme, sekulerisme, nihilisme, ateisme, feminisme, dan lain sebagainya yang turut memperkeruh terangnya cahaya kebenaran. Oleh karena itu,  jika seseorang lengah, ia akan dengan mudah jatuh ke dalam salah satu agama atau aliran kepercayaan tersebut, dan menghabiskan sepanjang umurnya memperdalam, mengkaji, bahkan membela kepercayaan yang keliru.

Agar hal tersebut tidak terjadi, maka kita perlu memahami apa yang membuat Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju Allah ‘Azza Wajalla.

Alasan pertama: Sumber yang valid

Dalil-dalil yang digunakan kaum muslimin untuk membuktikan kebenaran Islam tidak dapat dibandingkan dengan dalil-dalil yang digunakan umat Kristen, Yahudi, ataupun umat beragama lainnya. Bahkan, salah satu hal yang bisa dibanggakan kaum muslimin adalah kemampuan mereka dalam membuktikan validitas sumber setiap syariat agama mereka.

Sebagai contoh, kita mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, Bibel adalah kitab umat Kristen, dan Taurat adalah kitab umat Yahudi. Hal yang membedakan Al-Qur’an dengan kitab-kitab samawi lainnya adalah kemampuan umat Islam untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an, dengan setiap surat dan ayatnya, jalur periwayatannya bersambung sampai ke Nabi Muhammad ﷺ.

Periwayatan Al-Qur’an merupakan periwayatan yang mutawātir, artinya periwayatannya tidak dilakukan oleh satu orang dari satu orang dari satu orang, tetapi Al-Qur’an diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang dari sekelompok orang dan seterusnya hingga bersambung kepada Nabi ﷺ yang menerima wahyu lewat perantara Jibril ‘alaihissalām yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah ‘Azza Wajalla.

Sementara itu, agama-agama lainnya tidak memiliki jalur periwayatan yang bersambung ke nabi-nabi mereka, yang dalam bahasa Arab disebut sanad. Sanad adalah rantai transmisi informasi dari satu person ke person yang lain. Setiap person dalam rantai transmisi tersebut paling tidak harus dikenal identitasnya, sehingga dapat diteliti lebih lanjut kredibilitasnya dalam meriwayatkan.

Pada kitab-kitab agama selain Islam terdapat keterputusan sanad yang sangat jelas, bahkan pada beberapa bagian tidak diketahui penulisnya. Sebagai contoh, salah satu peneliti Perjanjian Baru (salah satu bagian dari Bibel) Stephen L. Harris[1] mengatakan bahwa keempat Injil, yaitu Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes adalah hasil karya orang-orang yang tidak dikenal. Demikian pula, menurut Bart D. Herman, peneliti Bibel Universitas North Carolina, menyatakan bahwa tidak ada satu pun dari penulis Injil menyaksikan dan mendengar Yesus atau mengaku menyaksikan atau mendengar ucapan Yesus secara langsung, serta nama Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes bukanlah nama penulisnya, melainkan nama yang diberikan Bapa-Bapa Gereja.[2] Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut topik ini, dapat merujuk buku-buku yang ditulis peneliti-peneliti tersebut.

Baca juga: Karakteristik Fundamental Al-Quran

Alasan kedua: Mukjizat isi Al-Qur’an

Selain ketersambungan periwayatan Al-Qur’an, salah satu keistimewaan Al-Qur’an juga terletak pada isinya. Dr. Muhammad ‘Abdullāh Darrāz menyusun sebuah kitab yang membahas mukjizat isi Al-Qur’an secara khusus yang berjudul Al-Naba’ Al-‘Aẓīm. Di dalam kitab tersebut, dijelaskan berbagai alasan mengapa Al-Qur’an merupakan firman Allah, dan Nabi Muhammad ﷺ tidak mungkin mengarang Al-Qur’an. Salah satunya kutipannya sebagai berikut,

“Kitab yang mulia ini dengan karakteristiknya mustahil berasal dari buatan manusia. Ayat-ayatnya memanggil seakan sebuah suratan takdir. Bahkan, seandainya ia ditemukan tergeletak di padang pasir, orang yang menemukan dan menelaahnya akan yakin bahwa ia bukan bersumber dari bumi ini, melainkan diturunkan dari langit.”[3]

Salah satu bentuk mukjizat isi Al-Qur’an adalah tidak adanya kontradiksi, baik kontradiksi antar ayat maupun kontradiksi dengan fakta ilmiah atau sejarah. Allah Subhānahu Wa Ta‘āla berfirman,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَـٰفًۭا كَثِيرًۭا

Maka, tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur`ān? Sekiranya (Al-Qur`ān) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa: 82)

Sedangkan dalam kitab-kitab agama lainnya, terdapat banyak sekali kontradiksi. Sebagai contoh, kontradiksi di dalam Bibel yang berbicara tentang seseorang bernama Ahazia. Ayat yang pertama mengatakan bahwa umurnya 22 tahun, sedangkan ayat yang kedua menyebutkan bahwa umurnya 42 tahun. Berikut ayatnya:

“Ia, Ahazia, berumur dua puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Atalya, cucu Omri raja Israil.” (Kitab 2, Raja-raja, 8:26)

“Ahazia berumur empat puluh dua tahun pada waktu ia menjadi raja dan setahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya adalah Atalya, cucu Omri.” (Kitab 2, Tawarikh, 22:2)

Tanggapan umat Kristen terhadap kontradiksi kedua ayat tersebut biasanya menyatakan bahwa penyalin manuskrip keliru saat menulis di kedua tempat tersebut. Semudah itukah respons mereka? Masalahnya, kekeliruan ini bukanlah kekeliruan penerjemahan, tetapi kekeliruan pada naskah aslinya. Bayangkan, jika kesalahan semacam ini terjadi pada Al-Qur’an, lalu kita katakan “Para sahabat keliru saat menulis ayat.” Apakah kita akan percaya terhadap Al-Qur’an?

Lanjut ke bagian 2: [Bersambung]

Baca juga: Kebahagiaan di Balik Ahli Quran

***

Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Understanding the Bible (1985), California: Mayfield.

[2] Lost Christianities: The Battles for Scripture and the Faiths We Never Knew (2003), Oxford University Press.

[3] An-Naba’ul-Aẓīm, hal. 106.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *