Bagaimana jika dalil agama menyatakan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik?
Misalnya, dalam hadis sahih yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
العَيْنُ حَقٌّ
“Pandangan jahat (‘ain) itu benar adanya.” [1]
‘Ain sebagaimana didefinisikan Ibnul Qayyim rahimahullah adalah rasa kagum seseorang terhadap sesuatu. Kekaguman itu ia ikuti dengan niat buruk untuk mencelakakan pemiliknya dengan cara melihat orang tersebut.[2]
Beberapa orang menyatakan bahwa hadis ini bertentangan dengan sains, dengan mengatakan, “Kepercayaan terhadap ‘ain tidak dapat diuji dengan kacamata sains modern.” Lalu, mereka menolak hadis ini atau meragukan eksistensi ‘ain. Ini merupakan sikap yang tidak tepat.
Kedua hal tersebut tidak dapat dibandingkan. Memang benar, hadis tersebut adalah hadis sahih, namun sains tidak memberi komentar apapun, tidak mengonfirmasi, maupun menegasikan isi hadis tersebut. Sedangkan tidak adanya komentar sains terhadap sesuatu, tidak berarti menegasikannya. Ini sesuai dengan kaidah,
عدم العلم بشيء ليس علمًا بالعدم
“Ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada.”
Maka, terdapat perbedaan yang jauh antara ‘‘menyatakan isi hadis tersebut tidak benar” dengan ‘‘sains tidak dapat mengonfirmasi atau menegasikan isi hadis tersebut’’. Oleh karena itu, tidak tepat dalam kasus seperti ini untuk menolak hadis dengan klaim adanya kontradiksi, padahal kenyataannya tidak ada. Hal itu dikarenakan sains hanya dapat bekerja pada hal-hal materiel.
Salah satu prinsip sains adalah objek kajian harus bersifat materiel, artinya dapat diobservasi, sedangkan ‘ain tidak dapat diobservasi dari kacamata sains. Akan tetapi, ketidakmampuan ‘ain untuk diobservasi secara materiel tidak menunjukkan ketiadaan wujudnya. Demikianlah pula, pada hal-hal gaib lain yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, semacam: jin, malaikat, roh, surga, neraka, sihir, mukjizat, dan selainnya. Ketidakmampuan sains untuk mengobservasi hal-hal gaib tersebut, tidak menunjukkan ketiadaan hal-hal gaib tersebut. Kaidah demikian juga disampaikan Ibnu Taymiyyah rahimahullah,
فإن الرسل صلوات الله عليهم وسلامه قد يخبرون بمحارات العقول وهو ما تعجز العقول عن معرفته ولا يخبرون بمحالات العقول
“Para rasul ﷺ terkadang mengabarkan hal-hal yang membuat akal bingung, yaitu hal-hal yang pengetahuannya tidak dapat dijangkau akal. Akan tetapi, mereka tidak mengabarkan hal-hal yang mustahil secara akal.” [3]
Bahkan, jika anggapan tersebut ditujukan kepada Allah, maka apakah keberadaan Allah dapat dinegasikan hanya karena tidak dapat diobservasi melalui metode saintifik? Tentu saja tidak. Bukti keberadaan Allah tidak terbatas hanya pada keberterimaan-Nya terhadap observasi sains, tetapi dapat dibuktikan dengan metode lainnya, semacam prinsip sebab akibat, fitrah manusia, kesempurnaan alam semesta, dan sebagainya. Apabila kita telah meyakini bukti keberadaan-Nya, maka secara otomatis kabar-kabar gaib yang Allah beri tahu adalah nyata dan benar adanya, meskipun tidak dapat diobservasi secara saintifik. Hal itu dikarenakan Allah adalah Al- ‘Alīm (Maha Mengetahui) dan Lā yukhlifu Allāhu al-mī‘ād (Allah tidak menyelisihi janji-Nya).
Apakah berarti seorang Muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?
Jika hal-hal gaib di dalam agama tidak dapat dibuktikan secara saintifik, apakah hal ini berarti seorang muslim tidak bisa menjadi ilmuwan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan dua konsep penting, yaitu naturalisme filosofis dan naturalisme metodologis. Naturalisme filosofis adalah kepercayaan bahwa alam semesta merupakan sistem tertutup, tidak ada sesuatu di luar alam semesta yang dapat mengintervensi, termasuk tidak ada Tuhan atau hal-hal yang gaib lainnya. Ini adalah aliran filsafat yang diyakini oleh mayoritas penganut ateisme. Prinsip utamanya adalah segala fenomena dapat dijelaskan melalui proses fisika. Sedangkan naturalisme metodologis adalah prinsip sains yang menyatakan bahwa agar sesuatu dapat disebut saintifik, maka tidak bisa dikaitkan dengan kekuatan dan perbuatan Tuhan.
Naturalisme filosofis atau terkadang disebut materialisme adalah sebuah kepercayaan bahwa semua alam semesta ini hanya terdiri dari benda-benda materiel, tidak ada benda nonmateriel. Aliran kepercayaan demikian tentu saja berlawanan dengan Islam. Sebab, banyak hal yang tidak bisa dijelaskan apabila kita hanya mengandalkan penafsiran materiel saja. Contohnya, permasalahan sulit kesadaran (the hard problem of conciousness), yaitu dari mana kesadaran manusia berasal dan bagaimana ia bekerja. Contoh lainnya yaitu, keberadaan moralitas objektif yang membahas mengapa kita menganggap suatu hal sebagai baik atau buruk. Hal-hal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui proses fisik.
Sedangkan naturalisme metodologis adalah bagian dari metode penelitian. Maknanya, agar suatu penelitian dapat dikatakan ilmiah dan empiris, seluruh proses sebab akibat antara hal satu dengan yang lainnya harus merujuk kepada hal-hal materiel, bukan hal-hal nonmateriel seperti kekuatan gaib. Hal yang demikian tidak masalah bagi seorang muslim, karena kita mempercayai bahwa Allah Ta’ala menciptakan sebab akibat secara fisik di alam semesta ini.
Prinsip sebab akibat adalah manifestasi dari kehendak Allah. Maka, suatu anggapan keliru jika mengatakan kesimpulan atau teori sains tidak dapat dikaitkan dengan kekuatan gaib, berarti kekuatan gaib tidak ada. Dengan kata lain, meskipun kehendak Allah tidak dapat diobservasi dengan kacamata sains, bukan berarti kehendak Allah tidak ada. Oleh karena itu, secara personal, seorang ilmuwan bebas untuk mempercayai atau mengimani sesuatu yang berada di luar hal-hal materiel, sehingga istilah ilmuwan muslim adalah istilah yang dapat diterima. Seseorang dapat menjadi seorang muslim dan dapat menjadi ilmuwan pada saat yang sama.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka seorang muslim tidak memiliki masalah sama sekali antara agama yang ia anut dengan sains. Sains adalah metodologi penelitian yang telah memberikan kontribusi besar bagi manusia. Akan tetapi, kesimpulannya bukan harga mati. Sains dapat berubah-ubah sesuai dengan penemuan data terbaru menggunakan alat yang lebih mutakhir. Sebagai suatu metode, sains memiliki keterbatasan, ia tidak bisa mengobservasi hal-hal gaib, tetapi ketidakmampuan tersebut tidak menafikan keberadaan hal-hal gaib yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadis yang sahih.
Kembali ke bagian 2: Apakah Sains Bertentangan dengan Agama? (Bag. 2)
***
Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Disarikan dari kitab Zukhruf Al-Qaul bab 8 berjudul Hāẓa Mukhālifun lil-‘Ilmi dan The Divine Reality Chapter 12 berjudul Has Science Disproved God?
Catatan kaki:
[1] HR. Bukhari no. 5740.
[2] Zād Al-Ma‘ād, hal. 239.
[3] Bayān Talbīs Al-Jahmiyyah fī Ta’sīs Bida‘ihim Al-Kalāmiyyah, hal. 361, jilid 2. Majma‘ Al-Malik Fahd li Ṭibā‘ati Al-Muṣḥaf Asy-Syarīf.
Leave a Reply