Sebagaimana diketahui bahwa asalnya, sang ibulah yang berkewajiban di dalam hadanah terhadap anaknya baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka (ibu) lebih penyayang, lemah lembut, dan lebih terbimbing dalam membesarkan dan mendidik anak. Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya hadanah adalah hak anak. Sebab, kebutuhan anak akan pemeliharaan, penjagaan, pendidikan, dan segala yang berkaitan dengan urusannya. Sehingga keabsahan hadanah didasarkan atas tercapainya kepentingan dan maslahat anak, dan ini sesuai dengan esensi dan makna hadanah, bukan demi kepentingan dan maslahat orang yang berhak terhadap hadanah. Sehingga setiap orang yang paling mampu dan bisa mewujudkan maslahat, manfaat, dan pemeliharaan terhadap sang anak, maka dia paling berhak terhadap hadanah.
Di atas, apabila hadanah adalah haknya anak, maka sang ibu harus menjalankan hadanah terhadap anaknya jika sang anak membutuhkannya. Sehingga jangan sampai menyia-nyiakan dan mengabaikan hak anak di dalam pemeliharaan, pengasuhan, pembimbingan, dan penjagaan. Maka, setiap syarat yang berdampak pada hilangnya atau berkurangnya kemaslahatan dan manfaat bagi anak kepada orang yang mampu mewujudkannya adalah syarat yang batil dan tidak sah.
Apabila ada wanita meminta khuluk kepada suaminya, kemudian suaminya memberikan syarat dengan meninggalkan bayinya atau anaknya yang masih kecil, maka khuluknya sah, tetapi syaratnya fasid (rusak) dan batal, dan tidak wajib memenuhinya. Sebab, bila terbukti dan valid bahwa hadanah merupakan hak anak, maka baik suami maupun istri tidak berhak membatalkannya (hak anak) dengan syarat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang dibuat yang menyelisihi Kitabullah, maka itu batil, walaupun yang dibuat adalah seratus persyaratan.” [2]
Yaitu, tidak ada di dalam Kitabullah yang membolehkannya atau mewajibkannya. Dan juga hadis,
المُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامً
“Orang Islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” [3]
Namun, berbeda kondisi apabila ibunya menikah lagi, maka dia tidak berhak atas hadanah. Sebab, dia akan disibukkan dengan mengurus dan melayani suami barunya, sehingga tidak bermanfaat dan maslahat keberadaan ibunya di sisi sang anak. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” [4]
Karena adanya mani’ (penghalang), yaitu pernikahan, maka hadanah (hak asuh) dipercayakan kepada penerus berikutnya (setelah ibunya) untuk mencapai kepentingan dan maslahat anak. Dan hak asuh bisa kembali kepada ibunya apabila mani’-nya (penghalangnya) tersebut telah hilang. Hal ini sebagaimana kaidah fikih,
إِذَا زَالَ المَانِعُ عَادَ المَمْنُوعُ
“Apabila penghalangnya telah hilang, maka kembali sediakala (yang sebelumnya) terlarang.”
Wallahu Ta’ala A’lam.
Baca juga: Jangan Lupakan Doa dan Tawakal Dalam Mendidik Anak
***
Penerjemah: Junaidi, S.H., M.H.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Catatan kaki:
[1] Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (3: 555), Al-Mukhtashar Al-Fiqhiy (5: 49).
[2] HR. Bukhari no. 2168 dan Muslim no. 1504.
[3] HR. Tirmidzi no. 1352.
[4] HR. Abu Dawud no. 2276, HR. Ahmad no. 6707, dan HR. Hakim no. 2830.
Leave a Reply