Kaidah Fikih: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan

Kaidah Fikih: Syariat Hadir untuk Kemaslahatan

Setiap perintah akan mendatangkan maslahat dan setiap larangan pasti terdapat padanya mudarat

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah (wafat th. 1421) pernah berkata,

فَمَا  مِنْ شَيْءٍ أَمَرَ اللهُ بِهِ رَسُوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا وَالمَصْلَحَة فِي وُجُوْدِهِ وَمَا مِنْ شَيْءٍ نَهَى اللهُ عَنْهُ وَرَسُولُهُ إِلَّا وَالمَصْلَحَة ِفي عَدَمِهِ

Tidak ada satu pun perkara yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, melainkan padanya terdapat kemaslahatan (kebaikan). Dan tidaklah ada satu perkara pun yang Allah dan Rasul-Nya larang, melainkan ada kemaslahatan jika hal tersebut tidak ada.[1]

Agama hadir untuk kebahagiaan manusia

Syekh juga pernah menuliskan dalam bait sya’irnya,

الدِّيْنُ جَاءَ لِسَعَادَةِ البَشَرْ ….. وِلِانْتِفَاءِ شَرِّ عَنْهُمْ وَالضَّرَرْ

فَكُلُّ أَمْرٍ نَافِعٍ قَدْ شَرَعَهْ ….. وَكُلُّ مَا يَضُــــــرُّنَا قَدْ مَنَعَهْ

Agama hadir untuk kebahagiaan manusia

dan menghilangkan dari mereka keburukan dan kemudaratan.

Maka, setiap perkara yang bermanfaat telah disyariatkan

dan setiap yang memudaratkan kita telah dilarang.[2]

Dari hal di atas, dapat diketahui bahwasanya syariat Islam tidaklah memerintahkan suatu hal, melainkan terdapat kebaikan pada perintah tersebut. Sebaliknya, tidaklah suatu hal dilarang dalam syariat, melainkan terdapat keburukan pada larangan tersebut. Sungguh! Betapa indahnya syariat Islam ini.

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah (wafat th.1376) menuliskan sebuah kaidah yang senada dalam hal ini,

الشَارِعُ لَا يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَة وَ رَاجِحَة، وَلَا يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَة وَرَاجِحَة

Syari’ (Allah Ta’ala) tidaklah memerintahkan, kecuali pada perintah tersebut terdapat maslahat (kebaikan) yang jelas dan kuat. Sebaliknya, tidaklah Allah melarang, melainkan dari suatu hal yang mafsadatnyab(keburukannya) jelas dan kuat.[3]

Tentang kaidah ini

Kaidah ini merupakan suatu asas yang mencakup segala hal dalam syariat Islam. Bahkan, jika ingin dikatakan, tidak ada sedikit pun kejanggalan dalam kaidah ini dari sisi hukum-hukum syariat. Baik yang berkaitan dengan ushul (pokok) ataupun furu’ (cabang), baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun hak-hak seorang hamba. Sebagai contoh tentang hal ini, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِ‌ۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)

Maka, tidak tersisa hal-hal yang bersifat keadilan, kebaikan, dan hal-hal yang dapat mempererat tali silaturahmi, melainkan diperintahkan pada ayat yang mulia ini. Tidak tersisa pula perbuatan keji dan kemungkaran yang berkaitan dengan hak-hak Allah, melainkan itu semua telah dilarang. Begitu pun kezaliman kepada makhluk, terhadap darah-darah, harta-harta, dan kehormatan mereka, melainkan itu semua telah dilarang.

Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada hamba-Nya, untuk senantiasa mengingat perintah-perintah serta kebaikan dan manfaatnya, agar hamba-hamba-Nya dapat melaksanakan perintah tersebut. Begitu pun dengan larangan-larangannya, hendaknya senantiasa diingat keburukan dan bahaya dari larangan tersebut. Agar hamba-hamba-Nya dapat menjauhi larangan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡہَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡىَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَـٰنً۬ا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ

Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (Allah mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (Allah mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Baca juga: ‘Urf dan Adat dalam Timbangan Syariat

Contoh-contoh dari nas terhadap kaidah ini

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, bagaimana ketika Allah memerintahkan suatu hal kemudian terdapat ketidakmampuan untuk melakukannya, Allah memberikan solusi yang lain. Allah Ta’ala berfirman,

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَڪُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ وَإِن كُنتُمۡ جُنُبً۬ا فَٱطَّهَّرُواْ‌ۚ وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٌ۬ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآٮِٕطِ أَوۡ لَـٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءً۬ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدً۬ا طَيِّبً۬ا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِڪُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُ‌ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡڪُم مِّنۡ حَرَجٍ۬ وَلَـٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُ ۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik. Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Ma’idah: 6)

Pada ayat ini, Allah Ta’ala menyebutkan perintah untuk bersuci apabila seorang hamba ingin melaksanakan salat. Kemudian Allah menyebutkan dua bentuk bersuci, yaitu bersuci dari hadas kecil dan hadas besar dengan air. Ketika tidak ada air, maka diperbolehkan bersuci dengan tanah atau biasa disebut dengan tayamum. Pada ayat ini pula, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya yang indah merupakan bentuk nikmat terbesar yang disegerakan dan terus bersambung dengan nikmat yang akan datang.

Kemudian, perhatikan dan bacalah firman Allah Ta’ala,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنًا‌ۚ

Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23)

Sampai pada ayat,

ذَٲلِكَ مِمَّآ أَوۡحَىٰٓ إِلَيۡكَ رَبُّكَ مِنَ ٱلۡحِكۡمَةِ‌ۗ

Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabbmu kepadamu.” (QS. Al-Isra: 39)

Sehingga, perintah-perintah Allah erat kaitannya dengan hikmah-hikmah-Nya yang tersirat.

Perhatikan pula pada ayat-ayat berikut,

قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّڪُمۡ عَلَيۡڪُمۡ‌ۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَـٰدَڪُم مِّنۡ إِمۡلَـٰقٍ۬‌ۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُڪُمۡ وَإِيَّاهُمۡ‌ۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٲحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ‌ۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِى حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ  وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥ‌ۖ وَأَوۡفُواْ ٱلۡڪَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِ‌ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ ڪَانَ ذَا قُرۡبَىٰ‌ۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْ‌ۚ ذَٲلِڪُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ  وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَٲطِى مُسۡتَقِيمً۬ا فَٱتَّبِعُوهُ‌ۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦ‌ۚ ذَٲلِكُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّڪُمۡ تَتَّقُونَ

Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu. Yaitu, janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka. Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am: 151-153)

Bacalah dan perhatikanlah dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang perintah-perintah Allah yang begitu indah, kebaikan yang menyebar dari perintah tersebut, serta maslahat perintah-perintah-Nya baik  secara zahir (tampak) maupun batin (tidak tampak).

Bacalah dan perhatikan pula dengan seksama ayat-ayat yang berisikan tentang larangan-larangan Allah yang bahayanya begitu dahsyat, dosanya begitu besar, serta keburukan dan kerusakannya tidak dapat terhingga.

Sehingga, jelaslah dari kaidah ini, bahwa agama Islam hadir untuk kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan.

Semoga bermanfaat.

Wallahul Muwaffiq.

Baca juga: Tuntunan Syariat dalam Menyikapi Perbedaan Akal Manusia

***

Depok, 29 Syawal 1445 H / 8 Mei 2024

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Majmu’ Muallafat Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah. (Jilid 7)

Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qowa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Cet. Mu’assasah Ibnu Utsaimin

Catatan kaki:

[1] Lihat Syarah Riyadusshalihin, 3:533, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

[2] Lihat Mandzhumah Ushulul Fiqh wa Qawa’iduhu, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

[3] Lihat Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *