Akibat Bertikai di Dunia dan Akhirat

Akibat Bertikai di Dunia dan Akhirat

Manusia adalah makhluk sosial, di mana ia tidak bisa hidup sendiri dan butuh untuk bermasyarakat. Ia perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder dalam hidupnya. Namun, terkadang yang menjadi persoalan antar sesama adalah bahwasanya manusia itu diciptakan dengan bermacam-macam karakter. Ada yang tutur katanya sopan dan lembut. Ada yang bicaranya kasar. Ada tipe orang yang penyabar. Ada yang pemarah. Sehingga, dengan banyaknya ragam tipe karakter manusia tersebut (yang mana memang tiada manusia yang sempurna), maka seringkali terjadi pertengkaran dan pertikaian. Potensi pertikaian ini justru paling besar muncul antara orang-orang terdekat dan di sekitarnya. Akhirnya, ketika masalahnya tidak kunjung reda atau usai, maka mereka biasanya akan saling mendiamkan dan tidak menyapa satu sama lain dalam kurun waktu yang lama.

Padahal, dalam syariat Islam, seseorang hanya boleh mendiamkan saudaranya maksimal hanya sampai tiga hari saja. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أنْ يَهْجُرَ أخاهُ فَوْقَ ثَلاثِ لَيالٍ، يَلْتَقِيانِ فَيُعْرِضُ هَذا ويُعْرِضُ هَذا، وخَيْرُهُما الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلامِ

“Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari. Mereka berdua bertemu, tetapi saling memalingkan wajah. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu memulai salam.” (HR. Muslim no. 2560.)

Dari hadis di atas, maka dapat kita ketahui bahwa masih diperbolehkan mendiamkan saudara sesama muslim kurang dari tiga hari. Hal ini karena untuk menghilangkan perasaan jengkel, dendam, dan emosi itu butuh waktu dan proses. Oleh karena itu, syariat memberikan toleransi sampai tiga hari untuk meredakannya. Lalu, bagaimana jika pertikaian tidak kunjung usai hingga lebih dari tiga hari? Maka, akan ada akibat buruk yang didapatkan, baik di dunia maupun di akhirat.

Akibat buruk di dunia

Selama seseorang masih dalam pertikaian dan pertengkaran, maka ketika hidup di dunia, ia akan dijauhkan dari kebenaran.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإنَّهما ناكبانِ عن الحقِّ ما داما على صِرامِهما

“Maka, keduanya akan dijauhkan dari kebenaran selama keduanya dalam pertikaian tersebut. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95 dan Ash-Shahihah, no. 1246.)

Dalam kehidupan ini, kita senantiasa dihadapkan ke dalam dua pilihan. Orang yang senantiasa bertikai dan masih terlibat dalam permusuhan, maka ia akan dijauhkan dari petunjuk dan kebenaran. Misalnya, ia sering salah dalam memilih prioritas, bisnis, jodoh, ataupun barang. Bahkan, dalam masalah akhirat pun, ia kerapkali salah dalam memilih amalan dan pemahaman.

Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Abu Khirasyu As-Sulami, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من هجر أخاه سنة فهو بسفك دمه

“Barangsiapa mendiamkan saudaranya selama setahun, maka dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 166. Lihat Ash-Shahihah, no. 928.)

Akibat buruk di akhirat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وإن ماتا على صرامهما لم يدخلا الجنة جميعا ابدا

“Jika kedua (orang yang bertikai) tersebut meninggal dalam keadaan memutuskan hubungan mereka berdua (belum saling meminta maaf), maka keduanya tidak akan masuk surga selamanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad. Lihat Al-Irwa’, 7: 95, dan Ash-Shahihah, no. 1246.)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تفتح أبواب الجنة يوم الاثنين ويوم الخميس فيغفر لكل عبد لا يشرك بالله شيئا إلا رجلا كانت بينه وبين أخيه شحناء فيقال: أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا، أنظروا هذين حتى يصطلحا

“Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka, akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka, dikatakan, ‘Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.’” (HR. Muslim)

Tulus meminta maaf dan saling memberi maaf

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al Baqarah: 237)

Dalam firman-Nya yang lain,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا

“Tidaklah seorang hamba memberikan maaf (terhadap kesalahan orang lain), melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya.” (HR. Muslim)

Dalam sabda yang lain,

ألا أخبرُكُم بأفضلَ من دَرجةِ الصِّيامِ والصَّلاةِ والصَّدَقةِ قالوا بلَى قال صلاحُ ذاتِ البينِ فإنَّ فسادَ ذاتِ البينِ هيَ الحالِقةُ

“Maukah aku mengabarkan kalian amal yang lebih utama dari salat, puasa, dan sedekah?”

Mereka berkata, “Mau.”

Beliau bersabda, “Yaitu, memperbaiki hubungan (sesama muslim). Karena rusaknya hubungan (sesama muslim) adalah pencukur (agama).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Ketika kita dizalimi atau diperlakukan buruk oleh seseorang dan orang tersebut dikenal saleh dan baik agamanya, maka sangat dianjurkan anda memaafkannya. Karena Allah Ta’ala telah memuji orang-orang yang suka memaafkan dan ada potensi perbaikan di sana, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka, tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fushilat: 34) (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 25.)

Hal ini berbeda kondisi jika orang tersebut dikenal jahat dan bejat. Maka, bisa jadi kita menjatuhkan hukuman (bisa dengan menjauhi, melaporkan kepada pihak berwajib) kepadanya agar tidak timbul kerusakan baru terhadap diri kita maupun orang lain. Syaikhul Islam mengatakan bahwa ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syariat.” (Lihat Makarimul Akhlak, hal. 27.)

***

Penulis: Arif Muhammad N.

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *