Berbicara tentang cinta, maka cinta itu adalah suatu anugerah dari Allah Ta’ala. Cinta asalnya adalah suci dan merupakan ibadah yang sangat mulia. Cinta dalam Islam menjadi pondasi dan roh dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Jika seseorang belum mencintai Allah, maka ibadahnya hambar, bak jasad yang tak bernyawa dan menjadi bangkai hidup.

Dengan adanya cinta, beratnya seorang ibu mengandung, melahirkan, dan merawat seorang anak tergantikan dengan rasa bahagia. Cintanya kepada seorang anak juga mengalahkan lelahnya seorang Ayah membanting tulang siang dan malam untuk mencari nafkah. Bahkan, seringkali seorang pemuda rela menempuh segala cara tatkala jatuh hati pada wanita yang ia idamkan.

Cinta seperti cahaya. Orang yang tidak mempunyai cinta, hidupnya akan terasa gelap. Cinta merupakan obat. Tanpa cinta, ia akan mudah rapuh dan sakit. Sehingga, orang yang tidak mempunyai rasa cinta, ia tidak akan menemukan kebahagiaan dalam hidupnya.

Apa itu cinta?

Cinta, sebuah perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, namun kita semua pernah merasakannya. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Mendefinisikan cinta hanya akan membuatnya kabur dan samar. Oleh karena itu, definisi cinta adalah adanya cinta itu sendiri. (Lihat Madarijus Salikin, 3:10)

Meskipun sulit didefinisikan, cinta menjadi alasan seseorang melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Bahkan, rela berjuang dan berkorban dengan alasan cinta.

Ada sebuah ungkapan,

من أحب أكثر من ذكره

“Barangsiapa yang mencintai, pasti akan banyak menyebut-nyebutnya/mengingatnya.”

Cinta yang bersifat ibadah

Cinta yang bersifat ibadah adalah cinta yang diiringi pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak kepada Allah.

Cinta kepada Allah adalah puncak tertinggi dari segala cinta. Sebagian ulama menjelaskan bahwa ibadah itu harus dilandasi oleh tiga hal, yaitu: cinta (hubb), takut (khauf), dan harap (raja’). Hal ini laksana seekor burung, di mana rasa takut dan harap adalah kedua sayapnya, dan rasa cinta adalah kepalanya. Jadi, tidak mungkin seekor burung dapat hidup apalagi terbang tanpa adanya kepala. Oleh karena itu, kita harus senantiasa menghadirkan rasa cinta kepada Allah dalam beribadah, agar ibadah yang kita lakukan benar-benar hidup dan khusyuk kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165)

Begitu pula, kecintaan kepada Rasul shalallahu ‘alaihi wassalam yang merupakan ibadah dan kewajiban bagi setiap insan yang beriman. Seseorang belum bisa dikatakan beriman hingga ia mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya terhadap siapa pun, termasuk diri sendiri dan keluarganya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.“ (HR. Bukhari)

Cinta yang bersifat tabiat

Cinta yang bersifat tabiat ini merupakan cinta bawaan dari lahir dan sifatnya manusiawi. Setiap manusia yang normal pasti memiliki jenis cinta ini, karena memang Allah menciptakan manusia dengan kecenderungan cinta kepada hal-hal duniawi.

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran: 14)

Cinta tabiat ini mencakup juga cinta terhadap lawan jenis, cinta karena penghormatan (anak hormat kepada orang tua dan guru), cinta karena belas kasihan dan rasa sayang sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, cinta karena pertemanan, karena satu suku, dan yang lainnya.

Maka, tidak mengapa mencintai perkara-perkara duniawi, asalkan tidak berlebihan, tidak melalaikan kewajiban agama atau bertentangan dengan syariat Islam, tidak membawa kepada kemaksiatan, dan tidak mengalahkan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Cinta yang sifatnya tabiat (duniawi) juga dapat menjadikan salah satu sarana untuk memperoleh cinta dari Allah. Semisal anak yang mencintai orang tuanya dengan cara berbakti; laki-laki yang mencintai seorang wanita dan menjalankan syariat Islam dengan menikahinya.

Oleh karena itu, cinta yang berlebihan kepada dunia merupakan sumber dari segala keburukan, sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam,

حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ

“Cinta dunia adalah biang semua kesalahan.” (H.R. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.)

Noda-noda cinta

Cinta yang merupakan karunia dari Allah tersebut sayangnya sering dizalimi oleh banyak pihak. Hal ini karena tidak sedikit kita jumpai bahwa tatkala seseorang mendengar kata cinta, maka yang muncul di benaknya adalah cinta kepada lawan jenis (syahwat). Sehingga, banyak orang terjerumus kepada zina dengan berbagai ragam, model, dan rupanya.

Selain itu, kesucian cinta juga ternodai oleh noda-noda yang disematkan para manusia. Ada beberapa faktor yang dapat menodai cinta kita kepada Allah, yang membuat hati kita tidak bisa menyelam ke dalam Samudra Cinta Ilahi, antara lain:

Syirik cinta

Syirik cinta adalah tatkala seseorang mencintai selain Allah dengan cinta yang bersifat ibadah (pengagungan, penghambaan, perendahan diri, dan ketaatan yang mutlak). Ia mencintai seseorang atau diri sendiri melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ada yang sampai beranggapan bahwa ada selain dari Allah yang dapat mendatangkan rezeki, manfaat, atau kebaikan. Contoh lain adalah perkataan berlebihan yang sering diucapkan oleh orang yang sedang jatuh hati, seperti “Tidak ada yang lebih aku cintai selain dirimu.” atau “Tidak ada yang bisa melebihi kecintaanku kepadamu.” atau “Hatiku telah dipenuhi oleh rasa cinta kepadamu, sehingga tiada tempat lagi bagi hati ini untuk mencintai selain dirimu.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai  tandingan-tandingan. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al Baqarah: 165)

Zina cinta

Orang yang terlanjur cinta dan dimabuk asmara seringkali menyebabkan dirinya melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Awalnya ia melakukan maksiat dari khalwat (berduaan di tempat sepi), kemudian saling menatap dengan syahwat, saling menyentuh, hingga akhirnya berujung kepada perbuatan zina.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina! Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’: 32)

Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه

“Sesungguhnya Allah telah menakdirkan bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya.” (HR. Al-Bukhari)

Ketika mecintai seseorang, jangan sampai cinta yang suci tersebut menjadi nisbi. Jangan sampai kecintaan tersebut melanggar batasan-batasan syariat yang Allah tetapkan. Jangan sampai anugerah cinta menjadi murka.

Cinta tidak karena Allah

Di antara bentuk bukti cinta seorang hamba karena Allah adalah mencintai manakala kita mencintai apa yang dicintai oleh Allah (segala macam ibadah seperti salat, zikir, zakat, dan sebagainya) dan menyayangi siapa yang disayangi oleh Allah (kaum mukminin, orang saleh, dan semisalnya).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ.

“Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia mengatakan, “Hadis hasan.”)

Dalam riwayat lain,

أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ

“Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi)

Menomorduakan cinta kepada Allah

Seseorang boleh mencintai selain Allah, tetapi tidak boleh sampai mengalahkan kecintaannya kepada Allah. Cinta kepada Allah harus di atas segala cinta. Setelah itu, adalah cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya (Azab).’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)

 ***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

Artikel: Muslim.or.id

 

Sumber:

Disarikan dari rekaman kajian Islam ilmiah dengan judul “Noda-Noda Cinta” oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. M.A. dengan berbagai tambahan faedah

 

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *