Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri)

Sediakan Waktu untuk Muhasabah An-Nafs (Introspeksi dan Evaluasi Diri)

Di antara ibadah yang agung adalah muhasabah an-nafs, yaitu seorang hamba senantiasa menghisab jiwa, mengintrospeksi, mengoreksi, dan mengevaluasi dirinya tentang apa yang telah dia perbuat dalam keseharian sebagai persiapan untuk hari esok di akhirat. Karena kita menyadari bahwa dunia yang kita tinggali ini hanya bersifat sementara, kita pasti akan mati, kemudian mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di akhirat.

Kita harus menyadari bahwa saat ini, kita hidup di suatu zaman yang sangat memungkinkan kita berbuat maksiat setiap harinya. Ketika kita membuka media sosial, semacam facebook, instagram, X (twiter), atau menonton youtube, sadar atau tidak sadar kita telah mengumbar pandangan. Keseharian kita mungkin dipenuhi dengan ghibah dan namimah, membicarakan dan mengorek aib si fulan dan si fulan.

Oleh karena itu, di zaman ini kita sangat butuh muhasabah an-nafs. Caranya, kita berusaha menyisihkan menyisihkan waktu untuk menghisab dan mengevaluasi diri kita. Karena kalau tidak, kita akan lepas kontrol dan semakin jauh terperosok ke dalam kubangan maksiat. Lalu tanpa sadar, tiba-tiba kita dipanggil oleh Allah Ta’ala. Ini yang hendaknya selalu kita khawatirkan atas diri kita sendiri.

Dalil pokok dalam hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ. وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga, itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 18-20)

Ketika menjelaskan ayat ini, Syekh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ayat mulia ini merupakan dalil agar seorang hamba melakukan introspeksi diri, sehingga hendaknya dia senantiasa mengoreksi dan mengevaluasi jiwanya. Apabila terdapat kesalahan, maka dia kemudian memperbaiki dengan meninggalkan kesalahan tersebut, lalu bertobat dengan sungguh-sungguh, serta berpaling dari berbagai sebab yang bisa mendorongnya untuk melakukan kesalahan yang sama.

Apabila ternyata dia melalaikan salah satu perintah Allah Ta’ala, maka dia berupaya keras dan memohon pertolongan Allah Ta’ala untuk menyempurnakannya. Dia bandingkan antara kebaikan dan kenikmatan yang diperolehnya dengan kelalaian yang telah dilakukannya. Karena tanpa diragukan lagi, hal itu akan melahirkan rasa malu kepada Allah Ta’ala.

Sungguh suatu kerugian yang teramat nyata, ketika seorang hamba lalai dan tidak berinstropeksi diri, sehingga dia pun serupa dengan golongan yang lupa kepada Allah, lalai dari berdzikir kepada-Nya, dan menunaikan hak-Nya. Mereka justru lebih mendahulukan kepentingan jiwa dan syahwatnya. Mereka itu hanya akan memperoleh kesia-siaan. Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala akan membuat mereka lupa terhadap segala sesuatu yang membawa manfaat bagi jiwa mereka. Dengan begitu, urusan mereka pun menjadi berantakan. Mereka mengalami kegagalan yang tidak mungkin lagi diperbaiki. Karena mereka orang-orang fasik, yang mengeluarkan diri mereka sendiri dari rel ketaatan, lalu menjerumuskan diri ke dalam jurang kemaksiatan.

Apakah orang yang senantiasa menjaga diri dalam bingkai ketakwaan dan memperhatikan dampak dari apa yang telah diperbuatnya di hari esok akan sama kedudukannya dengan orang yang lalai mengingat Allah dan melupakan hak-Nya? Tentu orang yang pertama berhak memperoleh kenikmatan surga dan kehidupan yang tenteram bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Sedangkan orang yang kedua justru akan celaka di dunia dan berhak memperoleh siksa di akhirat. Orang yang pertama adalah orang yang sukses, sedangkan orang yang kedua adalah orang yang gagal. (Lihat Taisir Karimir Rahman dalam penjelasan beliau terhadap ayat ini)

Sederhananya, kalau dalam urusan dunia kita senantiasa melakukan evaluasi agar kegiatan atau aktivitas selanjutnya bisa lebih baik, mengapa hal yang sama tidak kita lakukan untuk urusan akhirat? Yang bisa melakukan muhasabah an-nafs adalah diri kita sendiri, bukan orang lain, karena orang lain tidak tahu apa yang kita lakukan saat kita bersendirian dan apa yang terbesit dalam hati kita. Sehingga yang paling tahu kondisi kita, setelah Allah Ta’ala, adalah diri kita sendiri.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah menuturkan,

الْمُؤْمِنُ قَوَّامٌ عَلَى نَفْسِهِ يُحَاسِبُ نَفْسَهُ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّمَا خَفَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ حَاسَبُوا أَنْفُسَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا شَقَّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى قَوْمٍ أَخَذُوا هَذَا الْأَمْرَ مِنْ غَيْرِ مُحَاسَبَةٍ، إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَفْجَأَهُ الشَّيْءُ وَيُعْجِبُهُ، فَيَقُولُ وَاللَّهِ أَنِّي لَأَشْتَهِيكَ وَإِنَّكَ لَمِنْ حَاجَتِي، وَلَكِنْ وَاللَّهِ، مَا صِلَةٌ إِلَيْكَ هَيْهَاتَ، حِيلَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ وَيُفْرَطُ مِنْهُ الشَّيْءُ فَيَرْجِعُ إِلَى نَفْسِهِ فَيَقُولُ: هَيْهَاتَ مَا أَرَدْتُ إِلَى هَذَا وَمَا لِي وَلِهَذَا وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَمَالِي وَلِهَذَا، وَاللَّهِ مَا أُعْذَرُ بِهَذَا وَاللَّهِ لَا أَعُودُ إِلَى هَذَا أَبَدًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ، إِنَّ الْمُؤْمِنِينَ قَوْمٌ أَوْقَفَهُمُ الْقُرْآنُ وَحَالَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ هَلَكَتِهِمْ أَنَّ الْمُؤْمِنَ أَسِيرٌ فِي الدُّنْيَا يَسْعَى فِي فِكَاكِ رَقَبَتِهِ لَا يَأْمَنُ شَيْئًا حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَعْلَمُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي سَمْعِهِ، وَفِي بَصَرِهِ، وَفِي لِسَانِهِ، وَفِي جَوَارِحِهِ، مَأْخُوذٌ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ

“Orang beriman itu pemimpin bagi jiwanya. Dia mengevaluasi jiwa karena Allah ‘Azza wa Jalla. Evaluasi (hisab) di hari kiamat akan lebih ringan bagi mereka yang mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Sebaliknya, evaluasi di hari kiamat akan lebih berat bagi mereka yang memeluk agama ini dan tidak mengevaluasi jiwa ketika di dunia. Ketika suatu maksiat menggoda dan mengajak orang beriman, dia pun berkata kepada jiwanya. ‘Demi Allah, sungguh saya menginginkanmu dan membutuhkanmu. Akan tetapi, demi Allah, tidak ada hubungan denganmu yang bisa menghalangi diriku denganmu.’ Kemudian ia kembali berkata kepada jiwanya, “Betapa jauh dari kebenaran. Saya tidak ingin melakukannya. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Demi Allah, saya tidak akan dimaafkan jika melakukannya. Demi Allah, saya tidak akan kembali melakukan kemaksiatan itu selamanya, insya Allah. Apa urusanku dengan kemaksiatan tersebut? Sungguh, orang beriman adalah golongan yang dihentikan dan dihalangi oleh Al-Quran dari kemaksiatan yang membinasakannya. Sungguh, orang beriman adalah tawanan di dunia yang berusaha untuk melepaskan kekangannya dan merasa khawatir kalau dia menjumpai Allah Ta’ala dalam kondisi disiksa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota tubuhnya. Semua itu disiksa akibat kemaksiatan yang dilakukannya.” (Diriwayatkan Ibnu al-Mubarak dalam Az-Zuhd wa Ar-Raqaiq no. 307)

Hal utama yang mampu membantu seorang hamba melakukan muhasabah an-nafs adalah merenungkan apa yang akan dia panen di hari kiamat kelak, hari ketika dia berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Ketika itu, Allah akan mengevaluasi segala yang dilakukannya selama hidup di dunia ini. Dengan muhasabah an-nafs, dia bisa membentengi diri dari bisikan nafsu yang buruk. Apabila jiwa mengajaknya untuk berbuat sesuatu yang berpotensi mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, maka dia pun mengingatkan jiwanya bahwa dia akan berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Sehingga jiwanya pun berhenti mengajak untuk berbuat kemaksiatan dan dosa.

Muhasabah an-nafs juga bisa dilakukan sebelum melakukan suatu amal atau perbuatan. Misalnya, ketika kita ingin posting sesuatu di media sosial, kita muhasabah jiwa kita, apakah ada manfaatnya? Apakah niat kita sudah benar? Apabila ternyata menimbulkan keburukan, kita batalkan niat kita untuk posting di media sosial tersebut.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengevalusi diri kita setiap harinya. Apakah hari ini kita menyempatkan untuk berdzikir pagi-petang? Atau, apakah hari ini kita salat lima waktu berjamaah di masjid? Atau, pada waktu antara azan dan ikamah, apakah kita memanfaatkannya untuk berdoa kepada Allah, atau kita hanya ngobrol dengan orang lain? Demikianlah seterusnya untuk perkara-perkara yang lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

“Menulis adalah nasihat untuk diri sendiri.”

@BA, 1 Dzulqa’dah 1445/ 10 Mei 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *