Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2)

Empat Overdosis Penyebab Hati Keracunan (Bag. 2)

Overdosis melihat

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang karena nikmat-Nyalah sampai saat ini kita semua sudah dan masih menjadi seorang muslim yang semoga selalu diberi hidayah.

Pada kesempatan kali ini, melanjutkan pembahasan sebelumnya, kita akan memasuki pembahasan فضول atau overdosis yang kedua, yaitu فضول النظر yang artinya terlalu banyak melihat, di mana kita narasikan dengan “overdosis melihat”.

Allah Ta’ala berfirman,

أَلَمْ نَجْعَل لَّهُۥ عَيْنَيْنِ

Bukankah Kami sudah menjadikan untuknya sepasang mata?” (QS. Al-Balad: 8)

Overdosis melihat dalam konteks pembahasan kali ini adalah menggunakan penglihatan yang telah Allah berikan kepada kita, yaitu mata (baik secara langsung, ataupun dengan alat bantu seperti kaca mata, teropong, kamera, dan semisalnya) untuk melihat hal-hal yang haram dan dilarang.

Tidak diragukan lagi, melihat hal-hal yang haram dapat menghinakan seseorang dan merendahkan martabatnya. Mengapa? Karena dengan itu, seseorang akan menjadi budak dari apa yang ia lihat. Bagaimana bisa?

Pada dasarnya, penglihatan terhubung sangat erat dengan hati. Pandangan visual secara tidak langsung akan menjadi penentu utama suka-tidaknya seseorang pada sesuatu. Apa yang dilihatnya akan langsung disimpan dan diproses dalam pikiran, berputar-putar di dalamnya, untuk kemudian melekat dan menetap di pikiran kita sebagai memori. Maka, ketika melihat, melahirkan kebencian atau kesukaan yang berlebih, keduanya akan mengotori hati (terlepas dari alasan yang dibenarkan syariat). Entah seseorang menjadi musuh bebuyutan sesuatu sehingga menghabiskan waktunya untuk itu, capek mental, atau seseorang menjadi budak dari hal yang ia lihat dan melahirkan kesukaan atau rasa cinta yang tidak sewajarnya, tentunya dalam hal ini sangat sering terjadi pada hal-hal yang diharamkan.

Bentuk-bentuk melihat yang diharamkan

Adapun bentuk-bentuk dari melihat yang diharamkan, tentu secara umum adalah melihat segala sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh syariat. Namun, di sini akan dijelaskan beberapa bentuk dari overdosis melihat yang diharamkan yang paling lazim terjadi di antara orang-orang, bahkan di antara kaum muslimin―naudzubillah.

Berikut di antara bentuk-bentuk tersebut:

Pertama: Melihat wanita secara umum, terlebih yang menampakkan aurat sebagai daya tariknya, baik secara langsung, ataupun secara visual melalui media-media, seperti: HP, televisi, dan sebagainya.

Jika melihatnya saja sudah tidak boleh, terlebih menikmatinya, haruslah dihindari.

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya!’ Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Kedua: Melihat laki-laki yang menimbulkan syahwat. Dalam hal ini banyak contohnya, seperti laki-laki yang disengaja tampil untuk unjuk diri, atau laki-laki yang menampakkan auratnya, termasuk yang berpakaian ketat (banyak sekali di tontonan seperti film, drama, bahkan olahraga), atau bahkan laki-laki yang berpenampilan dan berhias seperti perempuan alias banci.

Allah Ta’ala melanjutkan firman-Nya di ayat berikutnya setelah dengan ditujukan kepada wanita yang beriman,

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31)

Ketiga: Seorang wanita memandang (lebih daripada sekadar melihat sekilas) laki-laki selain suaminya. Begitu pun sebaliknya, seorang laki-laki memandang wanita selain istrinya.

Hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan akan pasangannya, bahkan cenderung mencari-cari kekurangan pasangannya. Bahkan, bisa sampai timbul perpecahan dan pertengkaran antar pasangan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُتب على ابن آدم نَصِيبُه من الزِنا مُدْرِكُ ذلك لا مَحَالة: العينان زِناهما النَظر، والأُذنان زِناهما الاستماع، واللسان زِناه الكلام، واليَدُ زِناها البَطْش، والرِّجل زِناها الخُطَا، والقلب يَهْوَى ويتمنى، ويُصَدِّق ذلك الفَرْج أو يُكذِّبُه

Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, yang mana ia pasti mendapatkan hal itu, tak terhindarkan. Zina kedua mata adalah melihat. Zina kedua telinga adalah mendengarkan. Zina lisan adalah mengucapkan. Zina tangan adalah menyentuh. Zina kaki adalah melangkah. Dan zina hati adalah nafsu dan berharap. Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad)

Keempat: Menonton secara umum televisi, video-video, film, drama, dan berbagai tontonan lainnya yang ketidakbermanfaatannya jauh lebih banyak ketimbang manfaatnya atau bahkan yang tidak ada manfaatnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan dalam sabdanya,

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976)

Kelima: Membaca buku-buku, kitab-kitab, tulisan-tulisan yang mengandung kesesatan, terlebih kesesatan akidah, seperti: buku-buku tentang sihir, ilmu gaib, ajaran sekte tertentu, dan semisalnya yang mengarahkan kepada kedurhakaan kepada Allah Ta’ala, apalagi sampai mempelajarinya.

Keenam: Memandangi orang-orang yang lewat di jalanan. Selain mengandung banyak kemungkinan maksiat penglihatan, seperti ikhtilath (campur baur), aurat yang terbuka, hal ini juga dapat mengesankan seolah-olah yang memandangi seperti sedang mengawasi orang lain, sehingga dapat timbul rasa tidak nyaman.

Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Sahabat Abu Said Al-Khudri,

“إيّاكم والجُلوسَ في الطُّرُقاتِ”، قالوا: يا رسولَ اللهِ، ما لنا من مجالِسِنا بُدٌّ، نتحَدَّثُ فيها، قال: «فأمّا إذ أَبَيْتم إلّا المَجلِسَ فأَعْطوا الطريقَ حقَّه»، قالوا: يا رسولَ اللهِ، فما حقُّ الطريقِ؟ قال: «غَضُّ البَصَرِ، وكفُّ الأَذى، ورَدُّ السلامِ، والأَمرُ بالمعروفِ، والنَّهْيُ عنِ المُنكَرِ

Hindarilah duduk-duduk di pinggiran jalan.” Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami butuh untuk duduk-duduk di sana memperbincangkan hal yang memang perlu?

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian memang perlu untuk duduk-duduk di pinggiran jalan, maka berikanlah hak pengguna jalanan.” Mereka bertanya; “Apa hak pengguna jalan wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, dan amar makruf nahi munkar.” (HR. Bukhari no. 2465, Muslim no. 2121, Abu Dawud no. 4815, Ahmad no. 11309)

Tentu saja, selain daripada bentuk-bentuk tersebut, banyak sekali bentuk lainnya. Namun, disebutkannya bentuk-bentuk di atas bukanlah sebagai pembatasan, melainkan sebagai contoh yang paling lazim dan contoh mayor dari overdosis melihat yang sedang kita bahas.

Bahaya overdosis melihat

Bahaya dan konsekuensi dari overdosis melihat, terutama dari salah satu atau lebih bentuk yang telah disebutkan di atas, ada banyak sekali, yang mana terkait dan terhubung satu sama lain. Tentunya, bahaya dan konsekuensi ini adalah efek samping dari overdosis melihat yang kemudian akan menjadi racun bagi hati dan menyebabkan hati keracunan, menjadi hati yang sakit, dan dalam kemungkinan terparah menjadi hati yang mati.

Berikut di antaranya:

Pertama: Memandang adalah salah satu anak panah Iblis, sehingga setan masuk pula lewat penglihatan.

Sebagaimana bahwa penglihatan dan hati memiliki keterkaitan yang erat, maka tatkala Iblis melemparkan anak panahnya, sesuatu yang dipandang oleh manusia akan dihiasi oleh Iblis. Sehingga, terbentuklah ilusi-ilusi dan halusinasi, khayalan yang ditimbulkan dari apa yang dilihat. Kemudian Iblis dan setan akan menyalakan api syahwat dengan kayu bakar maksiat, hanya dengan penglihatan. Betapa dahsyatnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

النَّظرةُ سَهمٌ من سِهامِ إبليسَ مَسمومةٌ، فمَن تَرَكها مِن خَوفِ اللهِ أثابَه جَلَّ وعزَّ إيمانًا يَجِدُ حَلاوتَه في قَلبِه.

Pandangan adalah salah satu dari anak panah Iblis yang beracun. Dan barangsiapa yang meninggalkannya (memandang hal yang haram) karena takut kepada Allah, maka Allah akan mengganjarnya dengan manisnya keimanan yang diberikan kepada hatinya.” (HR. Hakim no. 8088 dalam “Mustadrak”-nya)

Kedua: Melihat dan memandang sesuatu juga akan menyibukkan hati kita dari amalan-amalan saleh yang seharusnya dilakukan. Ini karena melihat bukan sekadar melihat saja, akan tetapi hati kita dapat terpaut, berlarut-larut dengan apa yang kita lihat. Contoh sederhana adalah scroll media sosial yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan itu masih salah satu bentuk melihat juga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang larangan untuk mengikuti orang-orang yang hatinya tersibukkan oleh hal selain ibadah kepada-Nya,

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًا

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya  itu adalah keadaan yang sudah melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)

Ketiga: Fudhul Nazhar (overdosis melihat) adalah bentuk kemaksiatan kepada Allah.

Hal ini dikarenakan jelas-jelas bertentangan dengan perintah Allah yang secara gamblang dimaktubkan dalam firman-Nya yang berlaku bagi seluruh laki-laki dan perempuan pada surah An-Nur ayat 30-31 tentang perintah menjaga dan menundukkan pandangan.

Sebagaimana perintahnya adalah menahan dan menundukkan pandangan, maka melakukan sebaliknya adalah kemaksiatan yang akan menjauhkan jiwa dari kebahagiaan dunia dan akhirat.

Keempat: Memandang hal yang tidak selayaknya juga dapat menimbulkan kegelapan dalam hati.

Masih berhubungan dengan poin sebelumnya, jika fudhul nazhar adalah maksiat, maka maksiat akan menggelapkan hati.

إن العبدَ إذا أخطأ خطيئةُ نُكِتتْ في قلبهِ نُكتةً سوداءَ فإذا هو نزعَ واستغفرَ وتابَ سُقلَ قلبهُ وإن عادَ زيدَ فيها حتى تعلو قلبهُ وهو الرانُ الذي ذكرَ اللهُ كَلّا بَلْ رانَ عَلى قُلُوبِهِمْ ما كانُواْ يَكْسِبُونَ

Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan suatu kesalahan (dosa), akan muncul titik hitam di hatinya. Kemudian, apabila ia meninggalkan (dosa tersebut), meminta ampunan, dan bertobat, maka hatinya akan dibersihkan. Namun, apabila ia mengulanginya (dosa), maka akan bertambah titik hitamnya sampai menutupi hatinya, dan inilah ‘ran’ yang disebut oleh Allah (dalam ayat) ‘Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.’.

Selain itu, beberapa ayat setelah ayat perintah untuk menjaga pandangan, Allah berfirman,

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ

Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi.” (QS. An-Nur: 35)

Pada ayat ini, Allah membawakan narasi tentang cahaya hanya berselang sedikit setelah perintah menjaga dan menundukkan pandangan.

Dengan penglihatan sebagai awal impresi terhadap sesuatu, yang berdampak pada hati, maka apabila hati sudah diterangi dengan cahaya, maka kebaikan-kebaikan dan dorongan untuk melakukan kebaikan akan berdatangan dari berbagai arah. Sebaliknya, jika hati gelap, maka bagaimana pun hati itu akan selalu mendorong kepada keburukan dan akan terus dikelilingi keburukan.

Kelima: Penglihatan yang digunakan untuk memandang hal-hal yang dilarang juga mengakibatkan butanya hati, buta dari membedakan yang baik dan benar, buta dari membedakan sunah dengan bid’ah.

Sebaliknya, Allah justru menghadiahkan bagi yang menjaga pandangannya sebuah firasat yang kuat, yang dengannya seseorang dapat dengan mudah membedakan baik-buruk, benar-salah.

Seorang salafus shalih terdahulu, Abu Syuja’ Al-Karmani, pernah mengatakan,

من عمّر ظاهره باتباع السنة وباطنه بدوام المراقبة وغض بصره عن المحارم وكف نفسه عن الشبهات واغتذى بالحلال لم تخطئ له فراسة

Barangsiapa yang menjaga zahirnya dengan mengikuti sunah, dan batinnya dengan muraqabah (selalu merasa diawasi oleh Allah), dan menundukkan serta menjaga pandangannya dari yang haram, juga menjaga dirinya dari syubhat, serta selalu mengonsumsi hal-hal yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.

Ibnul Qayyim menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa di dalamnya terdapat الجزاء من جنس العمل (Balasan sesuatu tergantung jenis amal yang dilakukannya). Sebagaimana orang yang menjaga pandangannya dari yang haram mendapatkan ganjaran berupa firasat yang benar dan kuat, maka orang yang tidak menjaga pandangannya dari yang haram, maka hatinya akan dibutakan, terutamanya dari membedakan baik-buruk, benar-salah.

Pembaca sekalian, adanya pembahasan ini bukanlah untuk melarang kita menggunakan penglihatan kita secara mutlak, akan tetapi agar kita mengendalikan fasilitas penglihatan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, menggunakan sebaik-baiknya, dan hanya untuk melihat yang baik. Karena apa? Karena sejatinya, seluruh anggota tubuh kita, bahkan seluruh hidup kita, haruslah didedikasikan secara penuh untuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah.

Namun, bukanlah hal yang dapat dipungkiri, keberadaan hal-hal yang tidak selayaknya dilihat adalah ada, lantas bagaimana kita menyikapinya jika kita melihatnya?

Sahabat Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

سألتُ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عن نظرةِ الفجأةِ فأمرني أن أصرفَ بصري

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang nazhar fuj’ah (pandangan sekilas atau tiba-tiba), maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Tirmidzi no. 2776)

Para ulama kemudian menjelaskan hadis ini bahwa tidak mengapa tentang pandangan pertama, yang mana hanya terlihat oleh mata sekilas saja dan terjadi tanpa disengaja. Akan tetapi, haruslah segera memalingkan pandangan kita dari hal (yang dilarang) tersebut. Dan pandangan-pandangan setelahnya, jika diteruskan, maka sudah dianggap sebagai fudhul nazhar atau overdosis melihat yang kita bahas pada pembahasan ini.

Semoga yang sedikit ini dapat bermanfaat dan kita semua senantiasa diberikan taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dapat menjaga pandangan kita dari hal-hal yang dilarang secara syariat dan dapat menggunakan penglihatan kita hanya untuk kemanfaatan saja.

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *