Apakah Uang Tabungan Dari Nafkah Menjadi Milik Istri
Apakah Uang Tabungan Dari Nafkah Menjadi Milik Istri
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Apakah Uang Tabungan Dari Nafkah Menjadi Milik Istri, selamat membaca.
Pertanyaan:
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Ustadz Saya menikah sudah 26 tahun 24 tahun yang lalu kami mulai usaha dengan modal dari uang yang saya tabung dari uang nafkah yang diberikan suami.
Setelah usaha berjalan saya memulai menabung kembali Setelah 20 tahun menabung dari nafkah yang diberi suami saya dapat membeli logam mulia dan rumah.
Qaddarallah rumah tangga kami di uji dengan hadirnya orang ketiga, Logam mulia dan rumah dari tabungan saya dijual suami untuk memenuhi kebutuhan hidup suami dengan istri muda.
Yang saya tanyakan apakah tabungan saya dari uang nafkah yang diberikan suami benar benar menjadi hak milik saya atau ada hak suami juga di situ?
Apa hukumnya suami menggunakan uang hasil penjualan logam mulia dan rumah yang saya tabung untuk membiayai istri mudanya? Dan untuk modal usaha apakah ada hak saya d usaha tersebut?
Apakah diperbolehkan jika selama berpoligami suami sering bersumpah palsu dan sering berbohong dengan alasan menjaga perasaan yang lain?
جزاك اللهُ خيراً
(Ditanyakan oleh Sahabat AISHAH (Akademi Shalihah))
Jawaban:
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in
Dalam rumah tangga perlu dibedakan pemberian khusus dan hadiah pada istri dan pemberian untuk kebutuhan bersama (belanja kebutuhan rumah tangga, keperluan anak, dll).
Jadi hak milik anda sebagai istri hanya untuk pertama, tidak boleh diambil lagi oleh suami. Untuk pemberian jenis kedua maka untuk keperluan bersama, suami berhak dan memiliki kepemilikan di dalamnya.
Jadi bila logam mulia dan rumah itu dari jenis kedua, maka boleh suami menjualnya dan anda mendapatkan juga dari bagian itu secara patut.
Untuk masalah poligami maka dilarang bersumpah palsu dan hukumnya haram. Karena ini perkaranya tentang sumpah.
Adapun kalau berbohong untuk mendamaikan perselisihan dan pertikaian antara suami dan istri, maka hukumnya boleh.
وَعَنْ أُمِّ كُلْثُوْمٍ بِنْتِ عُقْبَةَ بْنِ أَبِيْ مُعَيِّطْ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ يَقُولُ: «لَيْسَ الْكَذِّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنمِي خَيْرًا، أَوْ يَقُولُ خَيْرًا ] ❊ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
وَفِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ زِيَادَةٌ، قَالَتْ: وَلَمْ أَسْمَعْهُ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُهُ النَّاسُ إِلَّا فِيْ ثَلَاثٍ، تَعْنِي : الحَرْبَ، وَالإصْلَاحَ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيثَ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ ، وَحَدِيثَ المَرْأَةِ زَوْجَهَا
Dari Ummu Kultsum binti Uqbah bin Mu’aith radhiyallahu ‘anha, bahwa ia menuturkan, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Bukanlah pendusta, orang yang mendamaikan orang-orang yang bersengketa. Lalu dia menyampaikan berita yang mengandung kebaikan atau menyatakan perkataan yang baik.”
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, lalu dia (Ummu Kultsum) berkata,
“Aku tidak mendengar Beliau memberikan keringanan pada suatu kebohongan boleh dikatakan orang-orang, Kecuali dalam tiga hal, yaitu di dalam peperangan,
ketika mendamaikan beberapa orang yang berselisih, dan ucapan seorang suami kepada istrinya dan seorang istri kepada suaminya.”
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Leave a Reply