Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai

Rukun dan Syarat Sah Transaksi Gadai

Beranjak dari pembahasan sebelumnya, setelah membahas tentang definisi, hukum, dan dalil pensyariatan transaksi gadai, termasuk hal yang penting untuk diketahui adalah tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Agar transaksi gadai yang dilaksanakan sah dan sesuai dengan syariat.

Rukun transaksi gadai[1]

Pada pembahasan sebelumnya, telah sedikit disinggung tentang masalah rukun dari transaksi gadai. Setidaknya dalam transaksi gadai harus terpenuhi beberapa rukun berikut ini:

Ar-Rahn / Al-Marhun (Jaminan)

Rukun yang harus ada ialah jaminan berupa barang atau manfaat yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Yang kemudian jaminan tersebut dipegang oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan. Tentang hal ini ada beberapa ketentuan dari para ulama:

Pertama: Jaminan tersebut berupa barang atau manfaat. Kendati jaminan berupa manfaat terdapat khilaf di antara para ulama, yang nanti akan datang penjelasannya pada pembahasan berikutnya.

Kedua: Jaminan tersebut bisa dan boleh untuk diperjualbelikan. Maksudnya, barang jaminan yang terpenuhi syarat-syarat jual beli padanya. Seperti, adanya barang tersebut ketika akad gadai. Maka, tidak sah menggadaikan anak kambing yang masih ada di dalam perut, karena belum ada wujudnya ketika akad.

Tidak sah pula menggadaikan anjing dan babi, karena keduanya bukan termasuk komoditi yang sah untuk diperjualbelikan. Tidak sah pula menggadaikan burung yang sedang terbang di udara. Karena hal itu masih belum pasti untuk dapat diterima.

Intinya jaminan tersebut bisa dijadikan sebagai tebusan jika peminjam atau pengutang tidak mampu untuk membayar utangnya.

Ar-Rahin (Pemilik barang jaminan / Peminjam)

Maka, yang dimaksud pada rukun yang kedua ini ialah peminjam. Sehingga tanggungannya adalah utang yang diberikan dan jaminan yang harus diserahkan kepada pemberi pinjaman. Dalam masalah Ar-Rahin para ulama memberikan ketentuan di antaranya:

Pertama: Hendaknya Ar-Rahin (peminjam) adalah orang yang sudah layak untuk melakukan transaksi. Seperti sudah mencapai usia balig, berakal, dan tidak di-hajr[2]. Maka, tidak diperbolehkan anak kecil, orang gila, dan orang yang bangkrut hartanya[3] untuk melakukan transaksi gadai. Mengingat tidak termasuk ketentuan yang boleh menjadi Ar-Rahin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena telah diangkat dari tiga golongan: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia bermimpi, dan orang gila hingga ia berakal.[4]

Al-Murtahin (Pemegang barang jaminan / Pemberi pinjaman)

Rukun yang ketiga dari segi ketentuan sama halnya dengan rukun yang kedua. Yaitu, transaksi gadai harus dilakukan oleh orang yang sudah layak melakukan transaksi. Dan posisi pemberi pinjaman pada transaksi ini adalah ia akan menerima jaminan dari peminjam. Ia harus menjaga dan menyimpan jaminan tersebut sampai pinjaman tersebut lunas, maka jaminan tersebut akan dikembalikan kepada peminjam.

Tentunya, termasuk poin penting dalam hal ini, antara pihak Ar-Rahin dan Al-Murtahin melakukan transaksi gadai ini secara sukarela dan tidak terpaksa. Jika terpaksa, maka transaksi gadai tidak sah.

Al-Marhun bihi (Utang)

Tentunya, ini bagian yang terpenting. Karena justru adanya transaksi gadai ini karena ada maksud dari Ar-Rahin untuk berutang atau meminjam. Tentang hal ini para ulama memberikan ketentuan di antaranya:

Hendaknya utang yang dimaksud harus jelas bagi kedua belah pihak. Baik secara nilai ataupun sifatnya. Jika tidak jelas, maka tidak sah transaksi tersebut.

Demikianlah di antara rukun-rukun transaksi gadai yang harus terpenuhi. Termasuk di antara rukun transaksi gadai adalah adanya akad atau ijab dan kabul. Hal ini termasuk dari pendapat jumhur ulama, bahwa harus adanya ijab dan kabul. Kemudian ditegaskan lagi oleh para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i. Bahkan, mereka berpendapat tidak sah transaksi gadai ini jika tidak ada ijab dan kabul. Alasannya karena transaksi ini termasuk transaksi masalah harta sehingga butuh akan ijab dan kabul.

Adapun pendapat dari mazhab Maliki dan Hanbali bahwa akad transaksi gadai tetap sah. Kendati hanya dengan keridaan antara kedua belah pihak secara ‘urf (kebiasaan masyarakat sekitar). Maka, cukup dengan saling memberikan (barang dan utang), atau dengan isyarat yang dapat dipahami, atau dengan tulisan.

Alasannya karena keumuman dalil pada seluruh akad yang ada, serta tidak adanya contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mereka bertransaksi dengan ijab dan kabul. Andaikata mereka menggunakan cara tersebut, niscaya telah tersebar luas sampai sekarang. Nyatanya tidak demikian.[5] Sehingga cukuplah keempat rukun di atas yang telah disebutkan.

Syarat sahnya transaksi gadai[6]

Selain rukun, tentunya ada syarat-syarat yang harus terpenuhi agar transaksi gadai dikatakan sah. Di bawah ini termasuk di antara syarat sahnya gadai:

Jaminan yang diberikan peminjam termasuk dari barang yang boleh untuk diperjualbelikan.

Karena jika jaminan bukan termasuk yang diperbolehkan untuk dijual, maka tidak ada faedahnya dari jaminan tersebut. Mengingat fungsi dari jaminan adalah ketika peminjam tidak mampu untuk melunasi utangnya, maka pemberi pinjaman berhak untuk menjual jaminan tersebut sebagai bentuk pelunasan dari utang peminjam.

Ar-Rahin adalah orang yang layak bertransaksi.

Di antara syarat sahnya gadai adalah hendaknya Ar-Rahin termasuk orang yang layak bertransaksi. Yaitu balig, berakal, merdeka, dan tidak terpaksa. Jika kedua belah pihak atau salah satunya bukan dari orang yang layak bertransaksi, maka tidak sah.

Ar-Rahin berstatus sebagai pemilik barang jaminan

Maksudnya, peminjam yang ingin menggadaikan barang jaminannya ia harus berstatus sebagai pemilik. Bukan barang orang lain yang ia gadaikan. Jika terpaksa barang orang lain yang harus ia gadaikan, maka ia harus mendapatkan izin dari orang tersebut.

Barang jaminan dapat diketahui sifatnya, jenisnya, dan nilainya

Barang jaminan yang diberikan harus bersifat jelas bukan yang bersifat abstrak atau gambling. Jika yang dijadikan jaminan adalah mobil. Maka, mobil tersebut harus jelas warnanya, mesinnya, harganya, dan sebagainya.

[Bersambung]

Wallahul Muwaffiq.

Depok, 23 Zulkaidah 1445 H / 31 Mei 2024

***

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel: Muslim.or.id

 

Referensi:

Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah

Al-Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof.Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd

Maktabah Syamilah

 

Catatan kaki:

[1] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Asy-Syafi’i, 7:115.

[2] Di dalam Islam ada orang-orang yang dimasukkan dalam kategori hajr. Artinya tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi karena beberapa hal yang ada pada dirinya. Seperti bangkrut, murtad, orang gila, dan lain sebagainya. Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal.137.

[3] Sebagian ulama mendefinisikan orang yang utangnya lebih banyak daripada hartanya adalah orang yang bangkrut hartanya.

[4] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3825

[5] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23:177.

[6] Lihat pembahasan ini di kitab Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal.105.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *