Teks Hadis
Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain hingga ia meninggalkannya (membatalkannya), atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” (HR. Bukhari no. 5142 dan Muslim no. 1412)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Hadis ini adalah dalil terlarangnya seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki lain. Yaitu, dia meminang seorang wanita untuk menikah dengannya, setelah sebelumnya wanita tersebut dipinang oleh orang lain. Sehingga pada saat itu, sang wanita dan juga keluarganya sedang bermusyawarah atau sedang mencari informasi tentang laki-laki pertama, sebelum memutuskan untuk menerima pinangan tersebut ataukah tidak.
Sisi terlarangnya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan perselisihan, saling benci, dan permusuhan, juga terdapat kezaliman terhadap laki-laki pertama. Hal ini karena laki-laki tersebut sudah lebih dahulu meminang sang wanita. Sebagaimana perbuatan tersebut menyebabkan laki-laki kedua meninggikan dirinya dan merendahkan laki-laki pertama. Dari sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ فَلَا يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli (dipesan) saudaranya, dan tidak halal meminang pinangan saudaranya sebelum ditinggalkan.” (HR. Muslim no. 1414)
Kandungan kedua
Di dalam hadis tersebut disebutkan dua pengecualian, sehingga menunjukkan bolehnya meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain:
Pertama, ketika laki-laki pertama membatalkan pinangannya. Dalam kondisi ini, maka boleh bagi laki-laki kedua untuk meminang sang wanita. Karena ketika dia sudah membatalkan pinangannya, dia sudah tidak lagi memiliki hak yang sebelumnya telah diberikan oleh syariat. Jika dia melarang laki-laki lain meminang sang wanita, maka hal itu menimbulkan kerugian (mudarat) bagi sang wanita.
Kedua, jika laki-laki pertama mengijinkan laki-laki kedua untuk meminang sang wanita.
Para ulama fikih menyebutkan kondisi ketiga yang memperbolehkan seorang laki-laki meminang seorang wanita yang sedang dalam proses dipinang oleh laki-laki lain, yaitu jika laki-laki kedua tidak mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, atau jika laki-laki kedua mengetahui bahwa sang wanita sedang dipinang, namun yang dia tahu bahwa pinangannya ditolak (padahal masih dimusyawarahkan atau pinangannya telah diterima). Hal ini karena memang laki-laki kedua tersebut betul-betul tidak mengetahui kondisi sebenarnya, dan tidak tahu (jahl) adalah uzur (alasan) yang dimaklumi dalam hukum syariat. Dan juga karena laki-laki kedua tersebut tidak memiliki niat buruk karena ketidaktahuannya tersebut. (Lihat Khitbatun Nisaa’ fi Asy-Syari’atil Islamiyyah, hal. 34)
Kandungan ketiga
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika pinangan laki-laki kedua tersebut diterima oleh sang wanita, dan selanjutnya terjadi akad nikah, maka akad nikah tersebut tetap sah dan tidak batal. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9: 208)
Akan tetapi, laki-laki kedua tersebut tetap berdosa, meskipun akad nikahnya sah. Hal ini karena larangan dalam hadis tersebut berkaitan dengan khitbah (pinangan atau lamaran), bukan berkaitan dengan akad nikah. Juga karena akad nikahnya telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun akad nikah. Adanya penyelisihan terhadap syariat yang berkaitan dengan sarana (yaitu proses khitbah), tidaklah berkonsekuensi tidak sahnya akad nikah.
Kandungan keempat
Pemahaman sebaliknya dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah seseorang meminang atas pinangan saudaranya yang lain … “ adalah seorang laki-laki muslim boleh meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim, seperti laki-laki ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Karena yang dimaksud dengan kata “saudara” di sini adalah “saudara sesama muslim” (laki-laki pertama dan kedua sama-sama muslim).
Pendapat lain mengatakan bahwa perbuatan tersebut tetap terlarang, seorang laki-laki muslim tetap tidak diperbolehkan meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim. Hal ini karena hadis tersebut menceritakan kondisi pada umumnya di masyarakat, yaitu seorang wanita muslimah dipinang oleh laki-laki muslim. Adapun kejadian “seorang laki-laki muslim meminang wanita non-muslimah (ahli kitab)” atau “seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki non-muslim” adalah kejadian yang sangat langka. Dan juga terdapat alasan yang sama atas terlarangnya hal tersebut, yaitu potensi menimbulkan permusuhan, bahkan hal itu bisa menimbulkan fitnah antara kaum muslimin dan kaum non-muslim.
Kandungan kelima
Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik (yang terus-menerus terjerumus dalam dosa besar, misalnya laki-laki pezina, pemabuk, dan sejenisnya). Jumhur ulama berdalil dengan cakupan makna umum yang terdapat dalam hadis di atas, karena hadis di atas tidak membedakan apakah laki-laki yang terlebih dulu meminang itu adalah laki-laki fasik atau laki-laki saleh. Alasan lainnya, kefasikan itu tidaklah mengeluarkan seseorang dari Islam, sehingga masih tercakup dalam kata “saudara”.
Pendapat kedua mengatakan bolehnya seorang laki-laki saleh untuk meminang seorang wanita yang sedang dipinang oleh laki-laki fasik. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Malikiyah, Al-Auza’i, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Hal ini karena pokok agama adalah nasihat, yaitu menginginkan kebaikan untuk orang lain. Selain itu, laki-laki saleh lebih layak diterima pinangannya dibandingkan laki-laki fasik. (Lihat Al-Istidzkar, 16: 13 dan Al-Muhalla, 10: 34-35)
Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat, adapun pendapat kedua adalah ijtihad yang bertentangan dengan dalil yang sahih, sehingga tertolak. Karena tidak boleh ada ijtihad ketika sudah ada dalil tegas (nash). Alasan lainnya, karena sang wanita dan wali (keluarga) sang wanita itulah yang berhak memutuskan apakah pinangan laki-laki fasik tersebut ditolak atau diterima. Akan tetapi, jika sang wanita adalah seorang wanita yang menjaga kehormatannya (agamanya bagus), dan laki-laki kedua juga bagus agamanya, sedangkan laki-laki pertama adalah laki-laki fasik, maka bisa jadi pendapat sebagian ulama Malikiyah tersebut ada sisi benarnya jika dilihat dari sudut pandang sekufu ataukah tidak. Sehingga pinangan laki-laki fasik itu seperti tidak teranggap (tidak ada), karena tidak sekufu. Dan hadis di atas tetap berlaku sesuai makna umumnya. Penilaian sekufu ataukah tidak diserahkan keada wanita dan walinya, jika mereka rida dengan pinangan laki-laki fasik, maka seorang laki-laki saleh tidak boleh meminang wanita tersebut selama masih berproses dengan laki-laki fasik tersebut. Wallahu Ta’ala a’lam.
***
@17 Zulkaidah 1445/ 25 Mei 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 205-208).
Leave a Reply