Teks hadis
Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ، خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ، فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, namun pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan loyo/malas. Apabila sesuatu menimpamu, janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku berbuat demikian, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi, katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah. Dan apa yang Dia inginkan, maka Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ’seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim no. 2664. Lihat Syarh Nawawi, jilid 8, hal. 260.)
Kandungan hadis
Hadis yang mulia ini menunjukkan:
Pertama: Allah Ta’ala memiliki sifat cinta kepada sesuatu. Kecintaan Allah kepada sesuatu bertingkat-tingkat. Kecintaan-Nya kepada mukmin yang kuat (imannya) lebih dalam daripada kecintaan-Nya kepada mukmin yang lemah (imannya). Orang mukmin yang kuat adalah orang yang menyempurnakan dirinya dengan 4 hal: 1) ilmu yang bermanfaat, 2) beramal saleh, 3) saling mengajak kepada kebenaran, dan 4) saling menasihati kepada kesabaran. Adapun mukmin yang lemah adalah yang belum bisa menyempurnakan semua tingkatan ini.
Kedua: Kebaikan pada diri orang-orang beriman itu bertingkat-tingkat. Mereka terdiri dari tiga golongan manusia. Pertama, kaum As-Sabiqun ilal khairat, orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan-kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menunaikan amal yang wajib maupun yang sunah serta meninggalkan perkara yang haram dan yang makruh. Kedua, kaum Al-Muqtashidun atau pertengahan. Mereka itu adalah orang yang hanya mencukupkan diri dengan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Ketiga, Azh-Zhalimuna li anfusihim. Mereka adalah orang-orang yang mencampuri amal kebaikan mereka dengan amal-amal jelek.
Ketiga: Perkara yang bermanfaat ada dua macam: perkara akhirat/keagamaan dan perkara keduniaan. Sebagaimana seorang hamba membutuhkan perkara agama, maka ia juga membutuhkan perkara dunia. Kebahagiaan dirinya akan tercapai dengan senantiasa bersemangat untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat di dalam kedua perkara tersebut.
Perkara yang bermanfaat dalam urusan agama kuncinya ada 2: ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan hati dan roh sehingga dapat membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang terdapat dalam ilmu hadis, tafsir, dan fikih serta ilmu-ilmu lain yang dapat membantunya seperti ilmu bahasa Arab dan lain sebagainya. Adapun amal saleh adalah amal yang memadukan antara niat yang ikhlas untuk Allah serta perbuatan yang selalu mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sedangkan perkara dunia yang bermanfaat bagi manusia adalah dengan bekerja mencari rezeki. Pekerjaan yang paling utama bagi seseorang, berbeda-beda tergantung pada individu dan keadaan mereka. Batasan untuk itu adalah selama hal itu benar-benar bermanfaat baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu.”
Keempat: Dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat itu, tidak sepantasnya manusia bersandar kepada kekuatan, kemampuan, dan kecerdasannya semata. Namun, dia harus menggantungkan hatinya kepada Allah Ta’ala dan meminta pertolongan-Nya dengan harapan Allah akan memudahkan urusannya.
Kelima: Apabila seseorang menjumpai perkara yang tidak menyenangkan setelah dia berusaha sekuat tenaga, maka hendaknya dia merasa rida dengan takdir Allah Ta’ala. Tidak perlu berandai-andai. Karena dalam kondisi semacam itu, berandai-andai justru akan membuka celah bagi setan. Dengan sikap semacam inilah, hati kita akan menjadi tenang dan tenteram dalam menghadapi musibah yang menimpa.
Keenam: Di dalam hadis yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggabungkan antara keimanan kepada takdir dengan melakukan usaha yang bermanfaat. Kedua pokok ini telah ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab maupun As-Sunnah dalam banyak tempat. Agama seseorang tidak akan sempurna, kecuali dengan kedua hal itu.
Sabda Nabi, “Bersemangatlah untuk melakukan apa yang bermanfaat bagimu”, merupakan perintah untuk menempuh sebab-sebab agama maupun dunia. Bahkan, di dalamnya terkandung perintah untuk bersungguh-sungguh dalam melakukannya, membersihkan niat dan membulatkan tekad, mewujudkan hal itu dan mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan sabda Nabi, “Dan mintalah pertolongan kepada Allah”, merupakan bentuk keimanan kepada takdir serta perintah untuk bertawakal kepada Allah ketika mencari kemanfaatan dan menghindar dari kemudaratan dengan penuh rasa harap kepada Allah Ta’ala agar urusan dunia dan agamanya menjadi sempurna.
Baca juga: Buhul yang Paling Kuat
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Diringkas dari Bahjat Al-Qulub Al-Abrar wa Qurratu ‘Uyun Al-Akhyar Syarh Jawami’ Al-Akhbar, karya Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu ta’ala, cetakan Darul Kutub Ilmiyah, hal. 40-46.
Leave a Reply