Pada tulisan sebelumnya, telah dijelaskan tentang rukun dan syarat sah transaksi gadai. Dan telah jelas pula bahwasanya gadai adalah salah satu transaksi yang diperbolehkan dalam agama Islam. Tentunya, hal ini sebagai kemudahan dari Allah Ta’ala untuk kaum muslimin dalam bermuamalah dengan kaum muslimin yang lainnya.
Pada tulisan ini, akan lebih spesifik lagi membahas tentang apa saja yang boleh untuk digadaikan menurut syariat Islam, tidak hanya sebatas benda ataupun barang. Tentunya, agar transaksi gadai tidak sampai terjatuh kepada perkara syubhat ataupun perkara yang haram. Karena hal yang halal telah jelas dan yang haram pun telah jelas sifatnya. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka, barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya. Tetapi, siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman.” [1]
Kaidah yang harus diketahui
Sebelum melangkah lebih jauh, dalam hal ini terdapat kaidah yang harus dipahami. Dengan memahami kaidah ini, akan mudah untuk mengetahui apa saja barang-barang yang diperbolehkan untuk digadaikan. Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,
كُلُّ عَيْنٍ يَجُوْزُ بَيْعُهَا يَجُوْزُ رَهْنُهَا وَمَا لَا فَلَا
“Setiap jenis barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan. Sebaliknya, jenis barang yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan.”[2]
Para ulama fikih sepakat atas kaidah ini.[3] Bahwasanya boleh menggadaikan seluruh barang yang dimiliki oleh peminjam sebagai jaminan utangnya atau sebagai tebusan, yang bisa dimanfaatkan setelah barang tersebut dijual ketika peminjam tidak mampu untuk menyelesaikan utangnya.
Namun, mereka berbeda pendapat di sebagian perincian tentang masalah ini. Adapun mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat, sebagaimana disebutkan di atas. Yaitu, setiap barang yang boleh diperjualbelikan, maka boleh pula untuk digadaikan. Karena tujuan dari barang gadaian adalah dijual untuk menutupi utang ketika peminjam tidak mampu membayarnya. Jika tujuan dari gadai adalah untuk dijual, maka selanjutnya menjadi sebuah ketentuan barang gadai adalah harus berdasarkan jenis barang yang bisa dijual.
Gadai dari segi jenisnya terbagi menjadi beberapa macam
Pertama: Gadai berupa barang (rumah, perhiasan, dan lain-lain).
Kedua: Gadai berupa manfaat atau jasa.
Ketiga: Gadai berupa utang.
Keempat: Gadai berupa hewan, ladang, dan tanaman.
Masing-masing poin di atas akan diuraikan pada penjelasan di bawah ini.
Gadai berupa barang
Barang-barang yang bisa digadaikan sangatlah banyak. Namun, tentunya ada barang-barang yang boleh digadaikan, ada yang tidak boleh digadaikan. Berikut ini penjelasan terkait barang apa saja yang boleh digadaikan.
Gambaran contoh penggadaian barang
Ali membutuhkan uang sebesar Rp.100.000.000,-. Ia memiliki aset pribadi berupa kendaraan mobil. Kemudian Ali datang ke Abdullah untuk meminjam uang sebesar Rp.100.000.000,-. Bersamaan dengan itu, Ali memberikan mobilnya kepada Abdullah sebagai jaminan atas utang yang Ali dapatkan dari Abdullah.
Tentunya, hal ini diperbolehkan. Karena jenis barang gadaian yang diberikan Ali kepada Abdullah adalah jenis barang yang boleh diperjualbelikan. Begitu pun dengan jenis-jenis barang yang lain, seperti rumah, buku, perhiasan, tanah, dan lain sebagainya. Selama barang tersebut boleh diperjualbelikan, maka boleh untuk digadaikan.
Gadai berupa jasa atau manfaat[4]
Para ulama khilaf (berbeda pendapat) tentang masalah ini, apakah boleh menggadaikan jasa atau manfaat. Jumhur ulama berpendapat[5] tidak boleh menggadaikan manfaat. Karena beberapa alasan. Di antaranya:
Pertama: Karena manfaat sifatnya hanya dimiliki sementara. Tidak dapat digunakan untuk menyempurnakan utang.
Kedua: Manfaat sifatnya lambat laun akan sirna dan hilang.
Ketiga: Pendapat dari mazhab Hanafi menuturkan bahwa manfaat bukan termasuk harta yang bernilai. Sehingga tidak bisa untuk digadaikan.
Inilah ketiga alasan yang menyebabkan para ulama berpendapat tidak diperbolehkan gadai yang sifatnya jasa atau manfaat.
Pendapat yang membolehkan adalah pendapat mazhab Maliki. Pendapat ini dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah. Dengan alasan:
Pertama: Karena utang sangat memungkinkan untuk dilunaskan dengan jasa atau manfaat.
Kedua: Kaidah asal tentang muamalah. Bahwasanya asal dari muamalah adalah mubah sampai datangnya dalil yang mengharamkannya.
Sehingga sangat memungkinkan manfaat dapat digadaikan berdasarkan pendapat yang membolehkan.
Gambaran contoh penggadaian manfaat atau jasa
Ali memiliki rumah dan ingin meminjam uang kepada Abdullah sebesar Rp.100.000.000,-. Aset yang dimiliki Ali adalah rumah. Kemudian Ali menyewakan rumah tersebut kepada orang lain. Manfaat yang didapatkan dari rumah tersebut dijadikan sebagai gadai kepada Abdullah. Sehingga Abdullah menjadikan manfaat dari sewa rumah Ali sebagai gadai. Maka, hal seperti ini diperbolehkan.
Di antara bentuk contoh yang lain, yaitu adalah mukatab[6]. Mukatab adalah budak yang sedang dalam proses untuk memerdekakan dirinya sendiri. Dengan cara mencicil dirinya sendiri kepada tuannya sampai batas waktu yang ditentukan.
Bagi tuan yang memiliki budak seperti ini, dalam syariat dituntut untuk menerima permintaan budaknya. Bahkan, ia wajib menerima permintaan budaknya untuk memerdekakannya. Terlebih-lebih, jika tuannya tahu bahwa ketika budak itu merdeka terdapat kebaikan yang banyak. Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ يَبۡتَغُونَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِمَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُمۡ فَكَاتِبُوهُمۡ إِنۡ عَلِمۡتُمۡ فِيہِمۡ خَيۡرً۬ا
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nur: 33)
Lalu, bagaimana mukatab bisa digadaikan? Mukatab boleh digadaikan oleh tuannya karena mukatab di antara hal yang boleh untuk diperjualbelikan. Gambarannya sebagai berikut.
Ali memiliki mukatab, kemudian ia ingin meminjam uang kepada Abdullah dengan menggadaikan mukatab-nya kepada Abdullah. Sehingga Abdullah meminjamkan uang kepada Ali dan Ali memberikan mukatab-nya kepada Abdullah sebagai jaminan utangnya. Hal ini termasuk gadai yang berupa manfaat atau jasa. Dan ini diperbolehkan karena mukatab termasuk yang boleh untuk diperjualbelikan.
Di antara contoh yang lain adalah mudabbar adalah budak yang dijanjikan merdeka ketika tuannya wafat. Maka, selama tuannya belum wafat, ketika tuannya ingin menggadaikan mudabbar-nya, maka hal ini juga diperbolehkan. Karena budak tersebut belum merdeka dan bisa diperjualbelikan.
Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.
[Bersambung]
***
Depok, 24 Zulkaidah 1445 / 01 Juni 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Al Mukhtashar fil Mu’amalah, karya Prof. Dr. Kholid bin Ali bin Muhammad Al Musyaiqih. Cet. Maktabah Ar-Rusyd.
Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Cet. Maktabah Taufiqiyyah.
Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.
Dan kitab-kitab serta website lainnya.
Catatan kaki:
[1] Hadis sahih diriwayatkan oleh Muslim no. 2996.
[2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 122, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.
[3] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 5: 322, karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid.
[4] Pembahasan ini bisa dilihat di feqhia/9047.
[5] Pendapat terbanyak tentang hal ini adalah pendapat dari mazhab Syafi’i. Hampir mayoritas mazhab Syafi’i berpendapat tidak bolehnya menggadaikan manfaat.
[6] Sejatinya pembahasan ini sangat kecil terjadi kemungkinannya pada zaman ini. Karena perbudakan di zaman ini sudah tidak ada. Namun, sebagai tambahan faedah, kiranya perlu untuk dicantumkan pembahasan ini, terlebih hal ini sebagai penguat pendapat akan diperbolehkannya menggadaikan manfaat. Pembahasan ini bisa dilihat di Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, 9: 123.
Leave a Reply