وَيُسَكَّنُ آخِرُهُ مَعَ نُوْنِ النِسْوَةِ
“Huruf terakhir fi’il mudhari’ disukun, apabila bersambung dengan nun niswah.”
Contohnya adalah:
يَتَرَبَّصْنَ
“Hendaklah mereka (perempuan) menahan diri.” (QS. Al-Baqarah: 228)
إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ
“Kecuali mereka memaafkan (membebaskan).” (QS. Al-Baqarah: 237)
وَيُفْتَحُ مَعَ نُوْنِ التَّوْكِيْدِ المُبَاشِرَةِ لَفْظًا وَتَقْدِيْرًا
“Huruf terakhir asli dari fi’il tersebut diberi harakat fathah jika bersambung dengan nun taukid yang mubasyirah lafzhan atau taqdiran.”
Contohnya adalah:
لَيُنْبَذَنَّ
“Sungguh dia akan dilemparkan…” (QS. Al-Humazah: 4)
وَيُعْرَبُ فِيْمَا عَدَا ذَالِكَ
“Apabila fi’il mudhari’nya selain yang dua hal tersebut, (yaitu tidak bersambung nun niswah dan tidak bersambung dengan nun taukid), maka fi’il mudhari’ tersebut dii’rab atau bisa berubah.”
Contohnya adalah:
يَقُوْمُ زَيْدٌ
“Zaid sedang berdiri.”
Pada kata يَقُوْمُ , diberi harakat damah pada huruf terakhirnya.
Contoh lainnya pada potongan firman Allah,
وَلَا تَتَّبِعَآنِّ
“Janganlah kalian berdua mengikuti.” (QS. Yunus: 89)
لَتُبْلَوُنَّ
“Kamu benar-benar akan diuji…” (QS. Ali-Imran: 186)
فَإِمَّا تَرَيِنَّ
“Kamu benar-benar akan melihatnya…” (QS. Maryam: 26)
وَلَا يَصُدُّنَّكَ
“Dan janganlah dia sampai menghalang-halangi kamu…” (QS. Al-Qashash: 87)
Contoh-contoh di atas adalah pembahasan kedua dari fi’il mudhari’. Yaitu, pembahasan tentang hukum keadaan huruf terakhir dari fi’il mudhari’. Fi’il mudhari’ tersebut ada dua keadaan. Yaitu mabni dan mu’rab. Fi’il mudhari’ ini berbeda dengan fi’il madhi dan amr. Karena fi’il madhi dan fi’il amr tersebut selalu mabni.
Fi’il mudhari’ mabni dengan dua keadaan:
Pertama, bersambung dengan nun niswah, maka mabni dengan tanda sukun. Contohnya adalah:
الْأُمَّهَاتُ الْعَاقَلَاتُ يُهَذِّبْنَ أَوْلَادَهُنَّ
“Ibu-ibu yang cerdas akan mengajari anak-anak mereka.”
Kata يُهَذِّبْنَ adalah fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun, yaitu tepatnya di huruf ب. Adapun nun inats tersebut adalah dhamir muttashil mabni dengan tanda fathah di tempat kedudukan rafa’ sebagai fa’il. Contohnya dalam firman Allah,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
“Para istri yang diceraikan, wajib mereka menahan diri…” (QS. Al-Baqarah: 228)
إِلَّا أَنْ يَّعْفُوْنَ
“Kecuali mereka memaafkan (membebaskan)…” (QS Al-Baqarah: 237)
Maka, kata يَّعْفُوْنَ adalah fi’il mudhari’ mabni dengan tanda sukun di tempat kedudukan manshub karena didahului huruf أَنْ, adapun nun inats tersebut adalah fa’il.
Kedua, bersambung dengan nun taukid secara mubasyirah lafzhan atau taqdiran. Mubasyirah lafzhan maksudnya adalah ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid secara jelas atau konkret. Adapun taqdiran maksudnya adalah tidak ada pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid (secara tidak jelas atau abstrak(.
Indikator fi’il mudhari’ tersebut mabni atau mu’rab adalah apabila fi’il mudhari’-nya tersebut marfu’ dengan tanda damah sebelum bersambung dengan nun taukid, nun taukid-nya tersebut dikatakan nun taukid mubasyirah. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut tergolong fi’il mudhari’ yang mabni.
Akan tetapi, apabila fi’il mudhari’ tersebut marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda, wawu jama’ah yang menunjukkan banyak, ya’ mukhathabah yang menunjukkan pelakunya 1 orang perempuan yang sedang diajak berbicara, nun taukid tersebut dikatakan nun taukid yang tidak bersambung secara langsung, maka fi’il mudhari’-nya tersebut tergolong fi’il mudhari’ yang mu’rab.
Contohnya adalah:
أَسْمَعُ
“Aku sedang mendengar.”
Fi’il mudhari’ di atas marfu’ dengan tanda damah. Contoh apabila bersambung dengan nun taukid adalah:
والله لَأَسْمَعَنَّ النَّصِيْحَةَ
“Demi Allah, aku akan mendengarkan nasihat tersebut.”
Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’ yang bersambung nun taukid mubasyirah atau tidak ada pemisah fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid baik secara lafzhan atau taqdiran. Kata tersebut mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid yang tidak ada pemisah di antara fi’il mudhari’ tersebut dengan nun taukid.
Contoh dalam firman Allah,
كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ
“Sekali-kali tidak, sungguh dia akan dilemparkan dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah: 4)
Kata كَلَّا adalah huruf yang artinya menghalangi, yang bermaksud sekali-kali tidak. Adapun huruf lam (ل) yang bersambung dengan fi’il mudhari’ di atas adalah sebagai penegas kalimat dan muncul sebagai jawab sumpah yang dihapus. Kemudian fi’il mudhari’ majhul يُنْبَذَنّ mabni dengan tanda fathah karena bersambung dengan nun taukid dan naibul fail-nya berupa dhamir mustatir هُوَ.
Contoh fi’il mudhari’ yang marfu’ dengan tanda tsubutu an-nun (tetapnya huruf nun) karena bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda adalah:
تُكْثَرَانِ
Apabila nun taukid bersambung dengan fi’il di atas, contohnya adalah:
لَا تُكْثِرَانِّ مِنَ الضَحِكِ
“Janganlah kalian berdua banyak tertawa.”
Maka, fi’il mudhari’ di atas tidak bersambung secara langsung dengan nun taukid karena di antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut terdapat pemisah, yaitu alif yang menunjukkan ganda. Pemisah tersebut disebut pemisah yang mubasyirah lafzhan (jelas atau konkrit).
Contoh dari firman Allah adalah:
وَلَا تَتَّبِعَآنِّ سَبِيْلَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
“Janganlah kalian berdua mengikuti jalan-jalan orang yang tidak berilmu.” (QS. Yunus: 89)
Kata yang bergaris bawah tersebut adalah fi’il mudhari’. Pada asalnya fi’il tersebut marfu’ dengan tanda nun muqaddarah (abstrak) karena adanya 3 huruf nun yang berturut-turut dan bersambung dengan alif yang menunjukkan ganda. Nun taukid di sana termasuk nun taukid ghair mubasyirah (yang tidak bersambung secara langsung dengan huruf asli fi’il mudhari’). Pemisah antara fi’il mudhari’ dengan nun taukid tersebut adalah alif yang menunjukkan ganda. Oleh karena itu, fi’il mudhari’ tersebut termasuk fi’il mudhari’ yang mu’rab. Adapun huruf لاَ di sana adalah huruf nahiyah (menunjukkan melarang). Fi’il mudhari’ تَتَّبِعَآنِّ tersebut majzum karena didahului huruf laa (لا) , majzum dengan tanda hazf nun (menghapus huruf nun) dikarenakan termasuk fi’il amstilatul khamsah (fi’il yang 5). Adapun huruf alif (ا) yang terletak setelah huruf ‘ain (ع) pada fi’il tersebut adalah fa’il. Nun taukid tersebut mabni dengan tanda kasrah dan tidak mempunyai kedudukan di dalam kalimat.
Kembali ke bagian 8: Fi’il Mudhari (1)
Lanjut ke bagian 10: Bersambung
***
Penulis: Rafi Nugraha
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply