Di antara bentuk keindahan fikih muamalah harta dan kekayaan adalah fleksibilitas dan pencakupannya yang menyesuaikan zaman dan tempat. Dalam hal wakaf misalnya, awalnya hanya dilakukan berdasarkan keinginan seseorang untuk berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya. Di mana seringnya dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun, setelah masyarakat Islam merasakan betapa besarnya manfaat lembaga wakaf, timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuklah lembaga-lembaga yang mengatur wakaf, mengelola, memelihara, dan menggunakan harta wakaf, baik untuk kepentingan umum seperti masjid atau untuk individu atau keluarga.
Dalam hal pengelolaan harta wakaf, dahulu kala sangat jarang atau bahkan tidak ada inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan dan pengembangannya. Tidak jarang kita dapati seorang nazhir yang menerima dan mendapatkan amanah lahan-lahan produktif seperti tanah sawah, ladang, kolam ikan tidak memaksimalkan pengelolaannya. Akibatnya, hasil yang diperoleh tidak banyak, bahkan tidak sedikit dari lahan-lahan ini yang kemudian terlantar atau tidak menghasilkan.
Kemudian timbullah kesadaran dari nazhir bahwa tanah wakaf perlu dikelola dan dikembangkan secara produktif sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas umat dan operasionalnya, serta sebagai dana kesejahteraan ekonomi bagi para nazhir. Nazhir (pengelola wakaf) kemudian mengelola dan mengembangkan wakaf produktif, misalnya dengan mendirikan usaha-usaha atau wakaf produktif seperti toko kelontong, toko bangunan, toko buku, warung jajanan, penggilingan padi, dan sebagainya. Inilah sedikit sejarah permulaan terbentuknya istilah “Wakaf Produktif” dalam syariat kita.
Secara ringkas wakaf produktif dimaknai dengan, “Harta benda atau pokok tetap yang diwakafkan untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi dan hasilnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Seperti wakaf tanah untuk digunakan bercocok tanam, mata air untuk dijual airnya, dan lain–lain.”
Wakaf produksi juga dapat didefinisikan dengan harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan, dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dangan tujuan wakaf. (Sumber: Situs resmi Badan Wakaf Indonesia, bwi.go.id)
Di masa sekarang, wakaf tidak khusus diperuntukkan bagi orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru, dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat untuk melaksanakan dan mengamalkan ibadah harta berupa wakaf ini semua kembali pada satu tujuan yang mulia, yaitu membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Beberapa hal yang mendasari bolehnya wakaf produktif
Pertama: Syariat Islam sangat mempertimbangkan kemaslahatan.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh As-Sa’di rahimahullah di dalam kitabnya Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, di mana beliau mengatakan,
الدِّينُ مَبنِيٌّ عَلَى المَصَالِحِ * فِي جَلبِهَا والدَّرءِ لِلقَبَائِحِ
“Ajaran Islam dibangun di atas maslahat. Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudarat (bahaya).”
Saat melihat adanya kebutuhan untuk menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka para ulama melihat adanya kemaslahatan di dalamnya. Selama di dalam prosesnya tidak ada hal-hal yang menyelisihi syariat, maka hal tersebut diperbolehkan atau bahkan dianjurkan.
Kedua: Dengan menjadikan sebuah wakaf sebagai wakaf produktif, maka itu akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya dan lebih lama eksistensinya. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara. (Yaitu), sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR. Muslim no. 1631)
Wakaf produktif adalah salah satu opsi terbaik dan kesempatan yang bisa kita usahakan untuk mendapatkan pahala mengalir setelah kita meninggal dunia. Karena wakaf produktif merupakan salah satu bentuk sedekah jariyah yang kemungkinan memiliki eksistensi paling lama.
Perlu kita ketahui bersama, meskipun wakaf produktif ini diperbolehkan, namun ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga wakaf tersebut boleh dilakukan dan sesuai dengan aturan syariat kita.
Syarat-syarat wakaf produktif
Pertama: Hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat. Karena sejatinya nazhir wakaf adalah orang yang sedang diberikan amanah yang besar. Oleh karena itu, hendaknya dirinya menjalankan amanah tersebut dengan sebenar-benarnya. Tidak neko-neko dan sembarangan di dalam mengelolanya. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang yang munafik ada tiga: (1) apabila berbicara, berdusta; (2) apabila berjanji, ia mangkir; dan (3) apabila diberi amanat, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)
Kedua: Memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya. Karena ada ancaman bagi siapa saja yang asal-asalan di dalam memberikan amanat kepada seseorang yang bukan ahlinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Bukhari no. 59)
Ketiga: Perencanaan yang matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya.
Keempat: Memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan.
Serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahan-perusahaan terpercaya. Karena tidak jarang sebuah objek wakaf dikembangkan melalui kerjasama dengan lembaga keuangan dan bank-bank ribawi atau dipasrahkan kepada perusahaan-perusahaan yang kurang kredibel. Padahal, di dalam hadis yang sahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka,
فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ
“Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu, orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, ‘Apa yang sedang mereka berdua lakukan?’ Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka, kami pun berangkat.”
Dalam lanjutan hadis disebutkan,
وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا
“Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.” (HR. Bukhari no. 7047)
Jangan sampai niat baik seseorang untuk mengembangkan sebuah wakaf atau menjadikannya sebagai wakaf produksi sehingga memiliki kebermanfaatan lebih, rusak karena mengunakan bank-bank ribawi, sehingga harta wakafnya tercampur dengan riba.
Dari sini juga dapat kita ketahui bahwa seorang nazhir seharusnya memiliki bekal ilmu yang mencukupi, terutama dalam hal fikih muamalah harta dan fikih prioritas. Sehingga harta yang dikelolanya tetap bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat mengotorinya dan menodainya. Wallahu A’lam Bisshawab.
Kembali ke bagian 7: Bolehkah Wakaf untuk Keluarga Sendiri?
Lanjut ke bagian 9: [Bersambung]
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply