Pada situasi masyarakat yang kurang mengenal ilmu agama, standar yang digunakan untuk menentukan baik buruknya sesuatu tidak begitu pasti dan masih samar. Sebagian masyarakat menggunakan prinsip moral relativism, yaitu apa yang dikatakan kebanyakan orang, maka itulah yang benar. Sebagian lainnya, seperti masyakarat sekuler-liberal, berpandangan bahwa kebaikan dan keburukan ditentukan berasaskan harm principle, yaitu anggapan bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh besarnya gangguan atau kerugian yang disebabkan keburukan tersebut. Semakin rugi seseorang akibat suatu tindakan, semakin buruk perbuatan tersebut dipandang. Sebagai contoh, perbuatan mencuri adalah perbuatan yang dipandang tidak bermoral karena mencuri menyebabkan kerugian pada orang lain. Contoh lainnya adalah perbuatan zina adalah perbuatan yang sangat buruk dan tabu, karena merusak kehormatan dan nama baik keluarga.
Lantas, bagaimana jika ternyata ada suatu perbuatan yang di sisi Allah Ta‘āla perbuatan tersebut adalah perbuatan paling tidak bermoral, paling merugikan, paling buruk dampaknya, dan paling merusak kehormatan dan nama baik pelakunya di hadapan Allah. Perbuatan tersebut adalah perbuatan menyekutukan Allah atau syirik. Dalilnya adalah hadis berikut.
Dari Abdullāh bin Mas‘ūd radhiyallāhu ‘anhu ia berkata,
سَأَلْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أيُّ الذَّنْبِ أعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ؟ قالَ: أنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وهو خَلَقَكَ…
Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, “Dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dia yang telah menciptakanmu…” (HR. Al-Bukhāri no.4477)
Alhamdulillah, berkat taufik dari Allah, kemudian berkat kegigihan para ustaz dalam mendakwahkan tauhid dan sunah, pengetahuan bahwa syirik merupakan dosa terbesar pun semakin tersebar dan diketahui masyarakat luas. Status syirik sebagai dosa terbesar dikarenakan beberapa alasan berikut.
Syirik adalah bentuk pengkhianatan hamba kepada Allah
Akar muara dari perbuatan syirik adalah khianat. Khianat terhadap tujuan terbesar manusia hidup di dunia. Khianat terhadap nikmat yang telah Allah berikan dengan menolak untuk menyatakan rasa syukur dan perendahan diri kepada Sang Pencipta subḥānahu wata‘ālā.
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP)[1], berkhianat terhadap negara dalam bentuk makar pembunuhan presiden atau mengadakan tindak separatisme adalah salah satu tindakan kriminal paling besar yang terancam hukuman mati. Alasannya adalah negara telah memberikan pelayanan kepada warga negara dalam bentuk perlindungan dan berbagai fasilitas dengan imbalan loyalitas dari penduduknya. Mengadakan makar atau memberontak kepada negara berarti seseorang telah mengkhianati negara tersebut.
Demikian pula perbuatan syirik. Memberikan penyembahan, penghinaan diri, doa, dan bentuk ibadah lainnya kepada sesuatu selain Allah adalah bentuk pengkhianatan dan kriminalitas terbesar yang dapat dilakukan seorang hamba. Bagaimana tidak, Allah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan, kemudian memberikannya nikmat kehidupan, lantas manusia malah menyembah kepada selain Allah yang tidak bisa menghidupkan maupun mematikan, maka ini adalah perbuatan khianat yang luar biasa.
Jika label tindak kejahatan luar biasa dan pemberian hukuman mati saja dianggap pantas bagi orang yang membelot dan berkhianat kepada negara, maka orang yang berkhianat kepada Allah dalam bentuk berbuat syirik juga pantas dianggap sebagai dosa terbesar dan dihukum dengan hukuman terberat, yaitu kekal di neraka. Sebab, Allah bukan hanya telah memberikannya perlindungan dan fasilitas, bahkan Allah telah memberikannya kehidupan. Dialah yang telah memberikannya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan akal untuk berpikir agar digunakan untuk mencari kebenaran dan memberikan penyembahan kepada yang berhak disembah, Allah ‘azza wa jalla. Allah Ta‘ālā berfirman,
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلْإِنسَـٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلْكَرِيمِ ٱلَّذِى خَلَقَكَ فَسَوَّىٰكَ فَعَدَلَكَ فِىٓ أَىِّ صُورَةٍۢ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَ
“Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS. An-Nāzi‘āt: 6-8)
Syirik menegasikan tujuan hidup manusia
Manusia diciptakan Allah dengan satu tujuan universal, yaitu agar mengesakan Allah dalam peribadahan atau disebut juga dengan tauhid. Oleh karena tauhid merupakan tujuan terbesar diciptakannya manusia, maka syirik otomatis menjadi penegasi terbesar tujuan hidup manusia.
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menerangkan ketika menjawab mengapa syirik merupakan dosa terbesar yang paling dibenci Allah? Salah satu jawabannya adalah ketika seseorang melakukan kesyirikan, maka dia
خرج عما خلق له وصار إلى ضد ما هيئ لها
“telah keluar dari tujuan ia diciptakan dan melakukan sesuatu yang berkebalikan dengan fitrahnya.”[2]
Syirik adalah sikap narsistik dan penyembahan diri sendiri
Orang yang enggan menyembah Allah atau menyembah Allah bersama dengan tuhan-tuhan kecil lainnya, hakikatnya ia adalah orang yang egois, narsis, dan penyembah hawa nafsunya sendiri. Sebab, tuhan-tuhan yang disembah selain Allah sebenarnya hanyalah hasil ciptaan manusia itu sendiri. Artinya, manusialah yang menciptakan tuhan-tuhan mereka sendiri lalu ia sembah. Tidak ada sikap yang lebih egois dan sombong dibandingkan berani menciptakan bentuk peribadatan sendiri yang berasal dari hasil karangan imajinasinya sendiri lantas kemudian ia sembah. Allah Ta‘āla berfirman,
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْثَـٰنًۭا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan.” (QS. Al-‘Ankabūt: 17)
Pada ayat di atas, Allah menyifati orang yang berbuat syirik sebagai pembohong. Artinya, mereka pun mengetahui bahwa tuhan-tuhan selain Allah yang mereka sembah hanyalah karangan mereka sendiri. Meski begitu, karena egoisme dan rasa sombong, mereka tetap menyembahnya sehingga hakikatnya mereka menyembah diri mereka sendiri. Allah Ta‘ālā berfirman,
أَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَـٰهَهُۥ هَوَىٰهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
“Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (QS. Al-Furqān: 43)
Dampak yang sangat merugikan di akhirat
Apabila kita ingin menggunakan prinsip harm principle atau lā ḍarara wa lā ḍirār, yaitu perbuatan yang dianggap buruk adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi seseorang, maka tidak ada perbuatan yang lebih merugikan seseorang dibandingkan perbuatan syirik. Perlu dipahami, bahwasanya orang yang berbuat syirik mungkin tidak merasakan dampak buruknya di dunia ini sebagaimana maksiat lainnya seperti mencuri dan berzina yang tampak jelas kerugiannya. Akan tetapi, di akhirat nanti, orang berbuat syirik akan merasakan efek dari perbuatan syiriknya, yaitu seluruh amalnya hangus dan kekal di neraka. Allah berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَـٰسِرِينَ
Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, “Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.” (Az-Zumar: 65)
Kejahatan syirik memang tidak menyakiti atau merugikan orang lain, tetapi sangat merugikan pelakunya sehingga perbuatan ini hakikatnya adalah bentuk menyakiti dan menzalimi diri sendiri.
Kesimpulan
Dengan keempat alasan tersebut, yaitu syirik adalah pengkhianatan, penegasi tujuan hidup, sikap egois, dan berdampak buruk di akhirat, menjadikan perbuatan syirik adalah dosa terbesar di sisi Allah subḥānahu wa ta‘āla. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari berbuat syirik kepada-Nya. Āmīn
***
Penulis: Faadhil Fikrian Nugroho
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Disarikan dari dengan beberapa tambahan dan pengurangan.
Catatan kaki:
[1]
[2] Ṭarīq As-Sa‘ādatain, hlm. 524. Dār ‘ālam Al-Fawā’id
Leave a Reply