Mengapa demikian? Hal ini karena Allah-lah yang mengetahui masa depan dan hal yang gaib. Allah Ta’ala berfirman,
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am: 59)
Allah yang Maha mengetahui, sedangkan kita? Bahkan apa yang akan kita alami dalam waktu dekat ini saja kita tidak mengetahuinya. Oleh karena itu, saat kita tertimpa suatu hal yang menyakitkan, maka sebetulnya, yang membuat kita stres adalah karena kita sok tahu. Allah pun telah memperingatkan hal ini dalam firman-Nya,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Jadi, ketika ada sesuatu yang kita tidak inginkan, namun terjadi pada diri kita, yakinlah bahwa itu yang terbaik untuk diri kita. Juga apabila kita memiliki ambisi tertentu dan gagal, maka yakinlah bahwa itu juga yang terbaik untuk diri kita. Apabila ambisi kita itu terwujud, justru itu adalah keburukan buat kita, namun kita tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, kita harus meyakini adanya hikmah atas semua yang kita alami. Keyakinan seperti ini adalah di antara sifat hamba Allah yang beriman sebagaimana firman-Nya,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 191)
Orang mukmin meyakini bahwa tidak mungkin Allah menciptakan atau mentakdirkan sesuatu tanpa alasan, hikmah, atau pelajaran yang bisa diambil. Orang mukmin menyadari kebodohannya, sedangkan Allah-lah yang Maha mengetahui.
Namun perlu diketahui bahwa hikmah atau pelajaran dari takdir tersebut tidak harus kita ketahui (tersingkap) pada saat kejadian. Kalau semua hikmah tersingkap pada saat musibah terjadi, maka tidak ada syariat yang memerintahkan kita untuk bersabar, kalau kita langsung mengetahui hikmahnya. Adanya nasihat dan arahan untuk bersabar saat menghadapi musibah itu menunjukkan bahwa mayoritas hikmah dari suatu musibah itu tidak kita ketahui pada saat musibah tersebut terjadi. Bisa jadi kita mengetahui hikmahnya satu bulan atau dua bulan yang akan datang, satu tahun atau lima tahun yang akan datang, dan seterusnya.
Dan setelah kita mengetahui hikmahnya, kita pun bisa berpikir dan merenung, “Ternyata begini alur kehidupan saya.” Jadi, jangan menjadi manusia “sumbu pendek”, buru-buru protes terhadap takdir Allah, padahal kehidupan ini masih mengalir dan berjalan. Namun, lihat dulu dan sabar, sambil melihat apa yang sekiranya Allah Ta’ala tetapkan untuk kita ke depan, tentunya dengan terus berusaha dengan menempuh sarana-sarana dan mencari solusi yang mubah. Sekali lagi, sabar, tenang, jangan down. Kalau orang-orang non-muslim saja bisa optimis, mengapa kita yang beriman kepada Allah tidak bisa optimis?
Belum lagi apabila kita mengingat pahala yang Allah Ta’ala sediakan untuk orang-orang yang sabar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَوَدُّ أَهْلُ العَافِيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ حِينَ يُعْطَى أَهْلُ البَلَاءِ الثَّوَابَ لَوْ أَنَّ جُلُودَهُمْ كَانَتْ قُرِضَتْ فِي الدُّنْيَا بِالمَقَارِيضِ
“Pada hari kiamat, ketika orang-orang yang diuji diberi pahala, orang-orang ahlul ‘afiyah menginginkan seandainya kulit-kulit mereka di dunia dipotong-potong dengan gunting.” (HR. Tirmidzi no. 2402, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Orang-orang ahlul ‘afiyah adalah orang yang hidupnya lancar-lancar saja, kaya, tidak pernah sakit, tidak pernah jatuh, tidak pernah bangkrut, intinya tidak pernah terkena masalah dalam hidupnya. Pada hari kiamat kelak, ketika mereka melihat pahala yang diberikan kepada orang yang hidupnya tertimpa musibah ketika di dunia dan bisa bersabar, maka ahlul ‘afiyah pun berharap kepada Allah Ta’ala agar dia dikembalikan ke dunia, lalu tubuhnya digunting-gunting sehingga cacat dan hancur. Mereka berharap tersiksa di dunia, lalu mereka bisa bersabar, sehingga mereka bisa mendapatkan pahala sebagaimana orang-orang yang mereka lihat ketika di akhirat. Oleh karena itu, jangan berburuk sangka kepada Allah, apapun musibah dan ujian yang kita alami di dunia ini.
Baca juga: Jangan Bersedih Jika Dakwah Anda Tidak Diterima
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzuk Dzikri hafizhahullah di tautan ini:
Leave a Reply