Fikih Badal Haji (Bag. 1)

Fikih Badal Haji (Bag. 1)

Segala puji bagi Allah, selawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau seluruhnya.

Berikut ini pembahasan-pembahasan ringan, namun mencakup semua pembahasan-pembahasan paling penting, insyaAllah, terkait dengan badal haji.

Artikel ini terdiri dari 3 kelompok pembahasan, yaitu:

Pertama: Fikih dasar haji

Kedua: Fikih khusus badal haji

Ketiga: Fatwa-fatwa terkait badal haji

Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua. Amin.

Fikih Dasar Haji

Untuk mendapatkan gambaran yang benar tentang badal haji, terlebih dahulu kita perlu mengetahui fikih dasar terkait dengan haji.

Haji dan Kedudukannya

Haji secara bahasa berarti ( القصد ) ‘menuju’.

Secara syariat, haji adalah,

التعبد لله بأداء المناسك في مكان مخصوص في وقت مخصوص، على ما جاء في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Ibadah kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan manasik di tempat dan waktu tertentu, sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Haji merupakan salah satu rukun Islam dan kewajiban yang agung, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Dan bagi Allah, kewajiban manusia adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” [1]

Serta hadis, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, yang marfu‘,

بني الإسلام على خمس … منها الحج

“Islam dibangun di atas lima…, (dan salah satunya adalah haji).”

Umat Islam telah sepakat mengenai kewajiban haji bagi yang mampu, satu kali seumur hidup. [2]

Haji Wajib Hanya Sekali, Selebihnya adalah Haji Sunah

Haji hanya wajib satu kali seumur hidup. Ini biasa disebut haji wajib, atau haji Islam. Jika lebih dari itu, maka hukumnya sunah. Yang kedua ini kadang disebut haji sunah atau haji tathawwu’.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أيها الناس! قد فرض الله عليكم الحج فحجوا

“Wahai manusia! Allah Ta’ala telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah!

Lalu, seorang bertanya, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,

لو قلت: نعم لوجبت، ولما استطعتم

“Jika aku katakan ‘ya’, niscaya akan menjadi wajib, dan kalian tidak akan mampu.” [3]

Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri hanya berhaji satu kali setelah hijrah ke Madinah. Para ulama sepakat bahwa haji hanya wajib satu kali bagi yang mampu. [4]

Kewajiban Menyegerakan Pelaksanaan Haji Jika Syarat-Syaratnya Terpenuhi

Seorang muslim hendaknya menyegerakan pelaksanaan haji jika syarat-syaratnya telah terpenuhi. Menunda haji tanpa alasan yang dibenarkan adalah dosa, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

تعجلوا إلى الحج؛ فإن أحدكم لا يدري ما يَعْرِضُ له

“Segerakanlah pergi haji, karena salah seorang di antara kalian tidak tahu apa yang akan menimpanya.” [5]

Lima Syarat Wajib Haji

Permasalahan yang masih perlu untuk diketahui tentang haji adalah syarat wajibnya. Jika ada salah satu syarat tersebut yang tidak terpenuhi pada seseorang, maka haji tidak wajib atasnya. Terdapat lima syarat wajib haji, yaitu:

Pertama: Islam

Haji tidak wajib bagi orang kafir dan tidak sah jika dilakukan oleh mereka, karena Islam adalah syarat sah ibadah.

Kedua: Berakal

Haji tidak wajib bagi orang gila dan tidak sah jika dilakukan dalam keadaan gila, karena akal adalah syarat untuk memikul beban syariat, dan orang gila tidak termasuk dalam kategori tersebut. Beban syariat diangkat darinya sampai ia sadar. Sebagaimana dalam hadis Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

رُفع القلم عن ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يفيق

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sadar.” [6]

Ketiga: Balig

Haji tidak wajib bagi anak kecil, karena ia belum termasuk dalam kategori yang memikul beban syariat dan beban syariat diangkat darinya sampai ia balig berdasarkan hadis sebelumnya.

Keempat: Merdeka

Haji tidak wajib bagi budak, karena ia adalah milik orang lain dan tidak memiliki apa-apa.

Kelima: Mampu (Istitha’ah)

Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Dan bagi Allah, kewajiban manusia adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” [7]

Orang yang tidak mampu secara finansial, misalnya tidak memiliki bekal yang cukup untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, atau tidak memiliki kendaraan untuk pergi ke Makkah dan kembali, atau secara fisik, misalnya sudah tua renta, sakit dan tidak mampu naik kendaraan serta menanggung kesulitan perjalanan, atau jika jalan menuju haji tidak aman, seperti adanya perampok, wabah penyakit, atau hal lain yang membuat khawatir akan keselamatan diri dan harta, maka ia tidak wajib berhaji sampai ia mampu. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [8]

Kemampuan (istitha’ah) termasuk dalam kategori kelapangan yang disebutkan oleh Allah. [9]

Fikih Khusus Badal Haji

Setelah kita memahami dengan benar pembahasan-pembahasan di atas, berikut ini pembahasan khusus tentang badal haji.

Maksud Badal Haji dan Keadaan-Keadaannya

Dalam kitab-kitab fikih, badal haji ( بدل الحج ) biasa juga diistilahkan dengan niyabah dalam haji ( النيابة في الحج ), yaitu,

القيام مقام الغير في أداء الحج

“melaksanakan haji atas nama orang lain.”

Terdapat 5 keadaan badal haji [10], dengan rincian ringkas sebagai berikut:

Pertama: Seseorang yang wajib berhaji, namun tidak mampu melakukannya sendiri.

Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa seseorang boleh mewakilkan orang lain untuk melaksanakan haji wajib dengan syarat-syarat tertentu. Kondisi inilah yang akan kita bahas di sini.

Kedua: Seseorang yang wajib berhaji dan mampu melaksanakannya sendiri.

Dalam kondisi ini, ia tidak boleh mewakilkan orang lain untuk berhaji atas namanya, berdasarkan kesepakatan para ulama fikih.

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,

أجمع أهل العلم على أن من عليه حجة الإِسلام وهو قادر على أن يحج لا يجزئ عنه أن يحج عنه غيره

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang wajib berhaji dan mampu melakukannya sendiri tidak boleh mewakilkan orang lain untuk berhaji atas namanya.” [11]

Ketiga: Haji yang dilakukan adalah haji sunah, sedangkan haji wajibnya belum dilaksanakan.

Dalam kondisi ini, ia tidak boleh mewakilkan orang lain untuk melaksanakan haji sunah, karena tidak sah melaksanakan ibadah sunah sebelum ibadah wajib dilaksanakan sendiri. Maka, tidak sahnya ibadah sunah dari orang yang mewakilkannya lebih utama.

Keempat: Seseorang telah melaksanakan haji wajib, namun tidak mampu berhaji lagi sendiri.

Kelima: Seseorang telah melaksanakan haji wajib dan mampu berhaji lagi sendiri.

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai dua kondisi terakhir ini. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah memilih pendapat bahwa niyabah hanya diperbolehkan dalam haji wajib. [12]

Dalil-Dalil Kebolehan Badal Haji

Kebolehan seseorang mewakilkan orang lain dalam melaksanakan haji wajib, didasarkan pada banyak dalil [13]. Di antaranya:

Pertama: Hadis dari Abu Razin radhiyallahu ‘anhu.

Dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,

يا رسول الله إن أبي شيخ لا يستطيع الحج ولا العمرة ولا الظعن

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua dan tidak mampu melaksanakan haji, umrah, maupun bepergian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

حج عن أبيك واعتمر

Lakukanlah haji dan umrah untuk ayahmu.” [14]

Kedua: Hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Seorang wanita dari suku Khath’am berkata,

يا رسول الله، إن فريضة الله على عباده في الحج أدركت أبي شيخًا كبيرًا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة. أفأحج عنه؟

Wahai Rasulullah, kewajiban Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam hal haji telah menimpa ayahku yang sudah tua dan tidak mampu duduk tegak di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya?

Beliau menjawab, ( نعم ) “Ya,” dan itu terjadi pada Haji Wada’. [15]

Ketiga: Hadis dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu.

Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,

يا رسولَ اللهِ إنَّ أمِّي ماتت ولم تحُجَّ أفأحُجُّ عنها ؟

Wahai Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan belum berhaji. Bolehkah aku berhaji untuknya?” Beliau menjawab,

نعم حُجِّي عنها

Ya, berhajilah untuknya.” [16]

Keempat: Selain itu, karena haji adalah ibadah yang jika ditinggalkan wajib membayar dam (denda), maka boleh bagi orang lain untuk menggantikannya, seperti puasa yang jika tidak mampu dapat diganti dengan fidyah.

Syarat-Syarat Bolehnya Badal Haji

Para ulama yang membolehkan badal haji atau niyabah (mewakilkan) dalam haji wajib, mensyaratkan beberapa hal, yaitu:

Pertama: Orang yang wajib berhaji tidak mampu melakukannya sendiri, baik karena sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh, atau halangan lain yang tidak bisa diharapkan hilang, atau meninggal dunia. Adapun jika sakit atau halangan tersebut bisa diharapkan sembuh atau hilang, maka tidak boleh mewakilkan orang lain menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, namun diperbolehkan menurut Hanafiyah. Jika ia sembuh, maka wajib baginya berhaji sendiri dan dianggap sah menurut mereka.

Kedua: Orang yang tidak mampu melaksanakan haji wajib memiliki harta yang cukup untuk membiayai orang lain yang mewakilkannya, baik semasa hidupnya atau dari harta yang ditinggalkannya setelah meninggal. [17]

Syarat-Syarat untuk Orang yang Mewakilkan dalam Haji

Orang yang mewakilkan dalam haji, harus terpenuhi padanya beberapa syarat, yaitu:

Syarat pertama: Orang yang mewakilkan harus sudah melaksanakan haji wajib untuk dirinya sendiri terlebih dahulu. Jika belum, maka haji tersebut dianggap untuk dirinya sendiri dan tidak sah untuk orang yang diwakilkan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Al-Auza’i, dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki mengucapkan talbiyah untuk Syubrumah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,

من شبرمة؟

“Siapa Syubrumah?”

Ia menjawab, “Kerabatku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi,

هل حججت قط؟

“Apakah engkau sudah pernah berhaji?”

Ia menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فاجعل هذه عن نفسك ثم احجج عن شبرمة

“Jadikanlah haji ini untuk dirimu sendiri, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” [18]

Selain itu, karena ia berhaji untuk orang lain sebelum berhaji untuk dirinya sendiri, maka haji tersebut tidak sah untuk orang yang diwakilkan, seperti halnya jika ia masih anak-anak.

Syarat kedua: Orang yang mewakilkan haruslah seorang muslim yang berakal sehat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih. [19]

Menyewa Orang Lain untuk Badal Haji

Misalnya, seseorang menyewa orang lain untuk berhaji untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain (dengan ketentuan-ketentuan di atas).

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Imam Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa boleh menyewa orang lain untuk berhaji karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أحق ما أخذتم عليه أجرًا كتاب الله

Hal yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.” [20]

Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengambil upah untuk meruqyah dengan Kitabullah dan memberitahukan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau membenarkan mereka. [21]

Dan karena boleh mengambil nafkah untuk itu, maka boleh menyewa orang lain untuk melakukannya, seperti membangun masjid dan jembatan.

Komisi Fatwa Tetap di Arab Saudi juga telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan menyewa orang lain untuk berhaji, sebagaimana tercantum dalam fatwa nomor (5228). [22]

[Bersambung]

***

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] QS. Ali Imran: 97.

[2] Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 171.

[3] HR. Muslim no. 1337.

[4] Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 172.

[5] HR. Ahmad, 1: 314; dan dihasankan oleh Al-Albani (Al-Irwa’, no. 990). Lihat Nailul Authar, 4: 337.

[6] HR. Abu Dawud no. 4401 dan disahihkan oleh Al-Albani.

[7] QS. Ali Imran: 97.

[8] QS. Al-Baqarah: 286.

[9] Al-Fiqh Al-Muyassar, hal. 172.

[10] Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 4: 32.

[11] Al-Ijma’ oleh Ibnu Mundzir, hal. 77.

[12] Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibni ‘Utsaimin, 21: 137.

[13] Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 4: 33.

[14] HR. Abu Dawud, 1: 420; At-Tirmidzi, 4: 160; dan beliau berkata, “Hadis hasan sahih.”

[15] HR. Bukhari, 2: 163; Muslim, 2: 973.

[16] Lihat HR. Muslim no. 1149.

[17] Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 4: 33-34.

[18] HR. Abu Dawud, 1: 420; Ibnu Majah, 1: 969. Lihat Shahih Ibnu Majah no. 2364 karya Al-Albani rahimahullah

[19] Lihat Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 4: 35-36.

[20] HR. Bukhari, 3: 121.

[21] HR. Bukhari, 3: 122; Muslim, 4: 1727.

[22] Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassar, 4: 37.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *