Gadai berupa utang[1]
Maksudnya, menjadikan utang sebagai sesuatu yang digadaikan atas utang lainnya. Terkait hal ini pun dijelaskan oleh para ulama. Tentunya hal seperti ini butuh perincian yang lebih mendalam, agar permasalahan seperti ini tergambarkan dengan jelas dan dapat diketahui bagaimana para ulama dalam menentukan pendapat mereka. Terkait boleh atau tidaknya menggadaikan utang, secara umum setidaknya ada dua pendapat.
Pendapat pertama: Tidak membolehkan secara mutlak. Pendapat ini adalah pendapat jumhur dari para ulama. Baik dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Alasannya, karena Allah mensifati gadai dengan “barang tanggungan yang dijadikan jaminan”, sedangkan utang tidak bersifat demikian.
Pendapat kedua: Boleh secara mutlak. Ini pendapat dari mazhab Maliki, sebagian mazhab Syafi’i dan Hanbali. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah[2]. Alasannya, karena kedudukan utang bisa menduduki kedudukan suatu barang. Maka, jual beli utang diperbolehkan sebagaimana jual beli barang. Kembali ke kaidah yang sudah disebutkan, setiap yang boleh diperjualbelikan, maka boleh digadaikan.
Berkaitan tentang kedua pendapat ini, akan dirincikan pada kedua contoh di bawah ini.
Gambaran contoh penggadaian utang[3]
Penggadaian utang ada beberapa macam. Di antaranya:
Gadai utang langsung tanpa perantara
Maksud dalam hal ini adalah menjadikan utang sebagai pengganti dari barang jaminan. Sehingga utang sebagai jaminan untuk melunasi utang. Dalam poin ini, utang dimiliki oleh murtahin atau si penggadai.
Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah, kemudian Ali membeli suatu barang dari Abdullah dalam bentuk utang. Ali lalu menggadaikan barang tersebut (yang bersifat utang) kepada Abdullah sebagai jaminan atas utangnya. Maka, hal seperti ini disebut dengan gadai utang yang langsung dari pengutang tanpa perantara.
Rinciannya tentang contoh ini, terdapat dua pendapat dari kalangan ulama.
Pendapat pertama: Pendapat dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Yaitu, tidak membolehkan menggadaikan utang dengan utang. Dalam hal ini terdapat beberapa alasan:
Pertama: Jaminan dari gadai diharuskan berbentuk barang. Karena tujuan dari gadai adalah memberikan jaminan. Dan utang tidak bisa dijadikan jaminan untuk utang. Demikian yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Juwainy.
Kedua: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad.
Pendapat kedua: Pendapat dari mazhab Maliki sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Qasim dan sebagian dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali. Terkait dengan pendapat ini terdapat beberapa alasan:
Pertama: Utang dapat dijadikan sebagai jaminan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman mengenai ayat tentang gadai,
فَرِهَـٰنٌ۬ مَّقۡبُوضَةٌ۬ۖ
“Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah: 283)
Dan utang yang dimiliki oleh si penggadai sejatinya dapat dijadikan barang jaminan atau tanggungan. Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan,
لِأَنَّ الدَّيْنَ مَالٌ تَقَعُ الوَثِيْقَةُ بِهِ، فَجَازَ أَنْ يَكُوْنَ رَهْناً، قِيَاسًا عَلَى سِلْعَةٍ مَوْجُوْدَةٍ
“Karena utang itu sendiri adalah harta yang dapat dijadikan sebagai jaminan, maka diperbolehkan menjadikan utang sebagai jaminan untuk digadaikan. Sebagai bentuk qiyas terhadap benda-benda yang ada.”[4]
Kedua: Di antara alasan yang membolehkan untuk menggadaikan utang yaitu kembali kepada kaidah fikih,
تُنَزَّلُ الدُّيُوْنُ فِي الذِّمَمِ مَنْزِلَةَ الأَعْيَانِ
“Utang dalam suatu tanggungan dapat disamakan kedudukannya seperti barang.”[5]
Dan juga kaidah yang telah disebutkan di awal pembahasan, “Segala yang boleh diperjualbelikan, boleh untuk digadaikan.” Dan jumhur ulama berpendapat akan bolehnya menjual utang. Hal ini karena utang boleh diperjualbelikan, maka boleh juga untuk digadaikan.
Ketiga: Alasan berikutnya, karena tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Masyhur kaidah fikih yang menjelaskan akan hukum asal muamalah adalah mubah, sampai datang dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak terdapat dalil yang melarang akan tidak bolehnya menggadaikan utang. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa menggadaikan utang adalah hal yang diperbolehkan.
Dari kedua pendapat di atas, kiranya pendapat kedua adalah pendapat yang kuat. Dari segi dalil dan hujah, disertai dengan alasan dan argumentasi yang jelas dari para ulama. Wallahu ’alam.
Gadai utang dengan adanya perantara
Maksudnya adalah menggadaikan utang yang ada pada tanggungan orang lain, yang utang tersebut merupakan hak Murtahin. Kemudian Murtahin menggadaikan utang tersebut kepada Rahin sebagai jaminan atas utangnya Murtahin kepada Rahin. Lebih jelasnya, dapat dilihat dari contoh berikut,
Contohnya: Ali memiliki utang kepada Abdullah dan Abdullah memiliki utang kepada Umar. Kemudian, Abdullah menjadikan utangnya Ali kepadanya sebagai gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar. Sehingga Abdullah mengatakan kepada Umar, “Saya jadikan utang Ali kepada saya sebagai gadai atas utang saya kepada Anda.” Maka, pada kasus ini Abdullah menjadikan utangnya Ali kepada Abdullah sebagai jaminan atau gadai atas utangnya Abdullah kepada Umar.
Terkait dengan contoh pada poin ini, sama halnya dengan contoh pada poin di atas. Terdapat dua pendapat para ulama mengenai hal ini. Ada yang tidak membolehkan dan ada yang membolehkan.
Di antara yang tidak membolehkan untuk menggadaikan utang dengan adanya perantara adalah Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Dengan beberapa alasan:
Pertama: Karena utang termasuk barang/hal yang tidak bisa diterima dalam sebuah akad.
Kedua: Terdapat kemungkinan tidak dapat melunasi atau kesulitan dalam melunasi utang.
Ketiga: Terdapat kemungkinan adanya penipuan, ketika perantara tidak membayarkan utang orang yang menggadaikan utangnya tersebut.
Para ulama yang membolehkan adalah ulama dari kalangan mazhab Maliki, dan sebagian dari mazhab Syafi’i. Karena beberapa alasan:
Pertama: Terdapat kaidah fikih, “Setiap yang mungkin untuk dilunasi sebuah utang dengan hal itu, baik dari segi setaranya nilai maupun manfaat yang dapat menggantikannya, maka hal tersebut boleh untuk digadaikan. Jika tidak, maka tidak boleh untuk digadaikan.”
Kedua: Dari kaidah di atas dapat difahami bahwa menggadaikan utang yang berada pada tanggungan orang lain diperbolehkan jika utang yang ingin digadaikan tersebut sesuai dengan nominal dan nilai yang dapat menjadi jaminan utang.
Ketiga: Hal ini diperbolehkan jika Murtahin dapat memastikan terlunaskannya utang tersebut. Dan juga dapat memastikan jika utangnya tidak lunas, maka utang yang dapat dijadikan jaminan dapat ditarik oleh Murtahin. Sebagai bentuk qiyas terhadap jaminan yang berupa barang. Sehingga ini sesuai dengan kaidah yang telah disebutkan pada contoh di atas. Yaitu, utang dapat disamakan kedudukannya sebagaimana barang.
Kesimpulan
Menggadaikan utang terbagi menjadi dua. Pertama, gadai utang tanpa perantara. Artinya utang yang langsung dimiliki oleh penggadai dan yang kedua, yaitu gadai utang dengan adanya perantara. Artinya, utang yang ada pada orang lain yang dimiliki oleh penggadai. Keduanya diperbolehkan ketika memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
[Bersambung]
***
Depok, 24 Zulhijah 1445 / 30 Juni 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: Muslim.or.id
Referensi :
Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad
Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
Dan kitab-kitab serta website lainnya.
Catatan kaki:
[1] Pembahasan ini bisa dilihat di feqhia/9045.
[2] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, 9: 119.
[3] Pembahasan ini bisa dilihat di kitab Rahnu Ad-Duyun, karya Prof. Dr. Nazih Kamal Hammad.
[4] Lihat Ahkaamul Qur’an, 3: 411 karya Ibnul ‘Araby dan Rahnu Ad-Duyun, hal. 20.
[5] Lihat I’laamul Muwaqqi’in, 4: 3.
Leave a Reply