Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 2)

Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 2)

Langkah kedua: Mensyukuri hal-hal kecil

Boleh jadi, sebab lain (bukan satu-satunya) riuhnya pikiran hingga tidak tenangnya diri kita akhir-akhir ini berkaitan dengan rasa syukur yang sudah lama tak bersemi di dalam hati. Sibuk mengejar impian tinggi membuat kita luput dari menikmati, apalagi mensyukuri berbagai hal kecil yang juga layak dihargai. Banyak nikmat yang berlalu tanpa dirasa, seperti: nafas ringan, pencernaan lancar, negeri aman, dan terlalu banyak hal ‘sepele’ lainnya yang belum benar-benar kita nikmati dan syukuri selama ini. Padahal, ribuan tahun lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah bersabda mewanti-wanti, 

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ

Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak akan mensyukuri yang banyak.[1]

Syukur itu obat ketidakbahagiaan. Dengan syukur, kita bisa menghargai yang ada dan mengalihkan perhatian yang sudah begitu terkuras untuk hal-hal yang belum tentu bisa diraih. Syukur itu dapat menambah nikmat sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sungguh jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras(Q.S. Ibrahim: 7)

Ketika kita mensyukuri sebuah hal, Allah akan tambahkan nikmat pada hal tersebut maupun berbagai nikmat lainnya. Ketika mensyukuri nikmat kesehatan, boleh jadi Allah akan tambahkan nikmat kekayaan, kemudahan, hingga ketenangan. 

Bukankah ketenangan juga sebuah nikmat yang bernilai? Ketika kita mensyukuri nikmat-nikmat ‘kecil’, Allah akan berikan nikmat yang amat besar, yakni ketenangan hidup. Dan yang namanya bertambah, berarti nikmat yang telah ada akan terus terjaga. Syukur adalah cara untuk merawat yang ada, sembari menambah yang baru. Syukur adalah jalan untuk menikmati yang kecil, seraya menerima yang besar.

Mari kita simak sejenak wasiat dari seorang alim yang sangat mengetahui hal ini, yaitu Umar bin Abdil Aziz rahimahullahu. Beliau berkata,

قَيِّدُوا النِّعَمَ بِالشُّكْرِ

Ikatlah berbagai macam nikmat dengan kebersyukuran.[2]

Dengan demikian, sangatlah masuk akal jika dikatakan, “Semakin banyak angan, semakin banyak juga nikmat-nikmat ‘kecil’ yang perlu disyukuri. Semakin tinggi cita-cita yang ada, semakin tulus syukur yang mesti dimiliki. Semakin ramai harap dan cemas bergema di hati kita, makin serius pula syukur yang perlu diusahakan.”

Syukur itu lebih dari sekedar ucapan manis yang sering kita ucapkan. Syukur itu bukan rasa terima kasih biasa, perlu ada hati yang tertaut di sana, yang mengakui dan tidak meremehkan nikmat yang didapat. Syukur juga diiringi pujian kepada Allah, Sang Pemberi Karunia. Tak hanya itu, jujurnya dua hal tadi akan terbuktikan dengan yang terpenting, yaitu memanfaatkannya dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala, alih-alih bersikap tak tahu diri dengan menggunakan karunia itu untuk mendurhakai-Nya.

Tatkala membicarakan syukur dengan lisan, lagi-lagi terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengajarkan untuk mensyukuri nikmat yang ‘kecil’. Beliau tak hanya mengajarkan syukur ketika mendapat nikmat besar yang jarang diraih, namun juga menuntun kita agar tidak melupakan nikmat yang dianggap remeh karena kita temui setiap hari. Ada pilihan untuk mengucap lafaz syukur yang ringkas, yaitu “Alhamdulillah”, seperti yang sering kita ucapkan ketika mendapat berbagai nikmat lainnya. Namun, dalam dua situasi ‘sepele’ berikut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru mengajarkan lafaz syukur khusus yang lebih rinci, yaitu ketika bagun tidur dan setelah makan. Beliau ajarkan doa bangun tidur,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan kehidupan, mematikan kami, dan hanya kepada-Nyalah kami kembali.[3]

Adapun setelah makan, beliau ajarkan doa,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلَا قُوَّةٍ

Segala puji bagi Allah Yang memberi makan ini kepadaku dan Yang memberi rezeki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.[4]

Tatkala bangun tidur, alih-alih bersyukur sejenak untuk mengawali hari dengan bahagia, kita justru memilih untuk mempertaruhkan suasana hati di awal hari dengan membuka gadget. Padahal, kita tahu betul bahwa hari itu bisa jadi akan dibuka dengan dengan amarah atau kesedihan karena kabar yang didapat dari benda tersebut.

Jangankan setelah makan, saat makan pun kita sudah sering lalai dari bersyukur. Kita sibuk mencari makanan yang lezat, namun ketika ia telah terhidang, menikmatinya dengan fokus saja tidak, apalagi mensyukurinya. Saat makan, pikiran dan hati kita ada di mana-mana, tidak sekejap pun mereka diberi waktu untuk beristirahat dari besarnya angan yang diharap cemas oleh hawa nafsu kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui kedua doa di atas mengajarkan kita untuk mensyukuri nikmat yang luar biasa berharga, yaitu nikmat melanjutkan hidup dan mempertahankannya. Selama ini, kita sering melupakan keduanya, padahal dari hidup itulah, awal mula semua angan kita. Orang mati tidak akan bisa terus bermimpi apalagi mewujudkannya. Orang hidup yang mati hatinya, ketika angannya tercapai pun tidak akan bisa berbahagia karenanya. Keduanya sama-sama menghilang dari peredaran sebelum sampai kepada tujuan akhirnya. 

Tidak berhenti di lisan saja, tulusnya syukur dibuktikan dengan tubuh yang tidak menggunakan nikmat tersebut dalam perkara yang tidak disukai oleh Allah, namun memanfaatkannya dalam perkara yang diperkenankan dan dicintai oleh-Nya. Muhammad bin Ka’ab rahimahullahu mengatakan,

الشكر: تقوى الله والعمل بطاعته

Syukur itu adalah ketakwaan kepada Allah dan beramal menaati-Nya.[5]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, 

من عرف النعمة، والمنعم, وأقر بها, و لم يجحدها, ولكن لم يخضع له، ولم يحبه،  ويرض به، وعنه: لم يشكره أيضا

Siapa saja yang menyadari nikmat dan Sang Pemberi nikmat tersebut, juga mengakui nikmat itu dan tidak mengingkarinya, namun ia tidak tunduk patuh kepada Allah, tidak pula mencintai dan rida kepada-Nya, maka ia juga tidak (dianggap) bersyukur kepada Allah.[6]

Sebagian nikmat yang kita dapatkan itu hanya kecil di mata kita. Hakikatnya, semua nikmat itu besar lagi berharga. Buktinya, untuk mensyukurinya dengan tulus perlu perjuangan seumur hidup, melawan hawa nafsu yang mengajak untuk mendurhakai Allah Sang Pemberi nikmat. Memang demikian adanya, menyederhanakan hati dengan qana’ah dan syukur itu tak selalu sederhana, melainkan perlu belajar sepanjang hayat. Karenanya, kami ucapkan selamat berjuang, semoga Allah Ta’ala berikan nikmat kemudahan dalam menerapkannya.

[Selesai]

Kembali ke bagian 1: Langkah Menyederhanakan Hati (Bag. 1)

***

Penulis: Reza Mahendra

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Albani. 

[2] Kitab Asy-Syukr li Ibni Abi Ad-Dunya, hal. 13, Maktabah Syamilah.

[3] HR. Bukhari no. 6312.

[4] HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud. Tirmidzi dan Ibnu Hajar Al-’Asqalani mengatakan derajatnya hasan, Ibnu Baz menilainya sebagai hadis jayyid.

[5] Tafsir Ath-Thabari, 10: 354.

[6] Thariqul Hijratain, 1: 168. 

 

Referensi:

A’malul Qulub lil Munajjid, hal. 289-293.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *