Melanjutkan serial Fikih Transaksi Gadai, masih pada pembahasan jenis-jenis gadai yang diperbolehkan. Berikut ini yang termasuk jenis-jenis gadai yang diperbolehkan,
Gadai hewan
Di antara hal yang boleh digadaikan adalah hewan. Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya hewan digadaikan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، ولَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بنَفَقَتِهِ، إذا كانَ مَرْهُونًا، وعلى الذي يَرْكَبُ ويَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Hewan yang digadaikan boleh ditunggangi dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan sebab pemberian nafkah hewan tersebut. Dan pemberian nafkah diwajibkan bagi yang menunggangi dan meminum hewan yang digadaikan tersebut.” (HR. Bukhari no. 2512)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
– قال ابن القيم : دل هذا الحديث وقواعد الشريعة وأصولها على أن الحيوان المرهون محترم في نفسه لحق الله تعالى، وللمالك فيه حق الملك، وللمرتهن فيه حق التوثقة، فإذا كان بيده فلم يركبه ولم يحلبه ذهب نفعه باطلاً،
فكان مقتضى العدل والقياس ومصلحة الراهن والمرتهن والحيوان أن يستوفي المرتهن منفعة الركوب والحلب، ويعوّض عنهما بالنفقة، فإذا استوفى المرتهن منفت نهن وعوض عنها نفقة، كان في هذا جمعاً بين المصلحتين وبين الحقين
“Hadis ini dan kaidah-kaidah serta ushul syari’at menjelaskan bahwa hewan yang digadaikan menjadi terhormat kedudukannya karena terdapat hak Allah padanya. Bagi pemilik terdapat hak kepemilikan dan bagi murtahin (pemberi utang) terdapat hak tautsiqah (pemegang jaminan). Jika hewan yang berada di tangannya itu tidak ditunggangi dan diperah susunya, tentu akan hilang manfaatnya begitu saja.
Oleh karena itu, di antara bentuk keadilan dan kemaslahatan bagi rahin (pengutang), murtahin (pemberi utang), dan juga hewannya, hendaknya murtahin memanfaatkan penggunaan hewan tersebut dengan ditunggangi atau diperah susunya. Kemudian, diganti dengan pemberian upah kepada hewan itu. Jika hal yang demikian dilakukan, akan terkumpul antara dua kemaslahatan dan dua hak.” [1]
Syekh Abdullah Alu Bassam rahimahullah memberikan faidah tentang hadis di atas, beliau menyatakan, “Hadis di atas menunjukkan bolehnya menggadaikan hewan. Karena di antara syarat gadai adalah mengetahui jenis, sifat, dan jumlah dari yang digadaikan. Semua syarat itu terdapat pada hewan.” [2]
Dengan contoh, pembahasan ini akan menjadi jelas. Contohnya: Abdullah ingin berutang kepada Ali dengan nominal uang sebesar Rp.15.000.000,- Kemudian, Ali ingin ada yang digadaikan dari Abdullah untuknya. Kemudian Abdullah menggadaikan sapinya sebagai jaminan atas utangnya kepada Ali. Maka, hal ini diperbolehkan. Tentunya dengan rincian yang akan dijelaskan di bawah ini.
Ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan
Berikut ini ketentuan-ketentuan dalam gadai hewan [3]:
Pertama: Bolehnya menggadaikan hewan sebagaimana yang telah disebutkan di atas berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kendati terdapat beberapa ulama yang tidak setuju akan bolehnya menggadaikan hewan. Hal ini dengan alasan bahwasanya hewan termasuk benda atau komoditi yang bisa hilang atau mati. Terkait hal ini, ada beberapa jawaban atau sanggahan [2], di antaranya:
Pertama: Telah jelas sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bolehnya menggadaikan hewan.
Kedua: Hewan termasuk bagian dari harta yang jelas. Boleh untuk diperjualbelikan dan bisa menjadi pengganti dari utang tatkala pengutang tidak mampu untuk membayar.
Ketiga: Tidaklah ada sesuatu, kecuali pasti bisa hilang atau mati pada waktunya. Sehingga kurang tepat jika alasan tidak bolehnya menggadaikan hewan karena hewan cepat hilang atau yang lain sebagainya. Karena barang-barang yang lain pun sifatnya demikian.
Kedua: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa ditunggangi atau dikendarai, maka murtahin (pemberi utang) boleh menungganginya sesuai dengan upah makan dan minum yang diberikan kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan.
Hukum asal memanfaatkan barang gadaian tidak diperbolehkan. Namun, dikhususkan dengan hewan yang bisa ditunggangi dan diambil susunya. Diperbolehkan untuk diambil manfaatnya, dengan syarat diberi upah makan dan minum sesuai dengan penggunaan manfaatnya.
Ketiga: Tidak menggunakan hewan yang digadaikan dalam bentuk yang memberatkan. Seperti mengangkut barang yang melebihi kapasitas, berjalan jauh, dan lain-lain. Karena hal itu akan memudaratkan hewan tersebut dan akan menyusahkan pemiliknya tatkala hewan itu dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rahin (pengutang).
Keempat: Jika hewan yang digadaikan adalah hewan yang bisa diperah susunya, maka diperbolehkan untuk memerah susunya sebatas pemberian upah makan dan minum kepada hewan tersebut. Sebagai bentuk kehati-hatian dalam berlaku adil kepada barang yang digadaikan.
Kelima: Hukum yang telah disebutkan di atas, yakni yang berkaitan dengan bolehnya memanfaatkan tunggangan dan perahan susu dari hewan yang digadaikan. Hukum ini adalah hukum yang telah diizinkan oleh syariat. Oleh karena itu, tidak perlu lagi izin dari pemilik hewan tersebut, bahkan tidak perlu juga ada kesepakatan antara murtahin (pemberi utang) dengan rahin (pengutang) atas hal itu. [4]
Artinya, murtahin boleh memanfaatkan hewan yang digadaikan tanpa sepengetahuan dan tanpa ada kesepakatan dengan rahin. Karena hal ini telah diizinkan oleh syariat. Namun, ada baiknya jika murtahin mengabarkan akan penggunaan manfaat dari hewan tersebut kepada rahin. Jika tidak digunakan, maka termasuk mubazir atau menyia-nyiakan harta. Terlebih jika hewan yang bisa diperah susunya.
Keenam: Tatkala pemerahan susu sudah sesuai dengan pemberian upah kepada hewan yang digadaikan, kemudian susu keluar dalam kadar lebih dari upah yang diberikan, maka boleh bagi murtahin untuk menjual susu tersebut. Mengingat kedudukan murtahin sama dengan pemilik hewan itu.
Ketujuh: Jika susu yang dikeluarkan tidak sesuai atau lebih sedikit dari pada pemberian upah kepada hewan itu, maka murtahin boleh meminta kembali upah kepada rahin atas lebihnya pemberian upah. Namun, jika murtahin berniat untuk memberikannya, maka tidak masalah.
Kedelapan: Jika hewan yang digadaikan tidak bisa ditunggangi dan diperah susunya, maka boleh untuk dimanfaatkan dengan tetap diberikan upah kepadanya. [5]
Kesimpulan
Demikianlah secara singkat penjelasan tentang gadai hewan. Yang kesimpulannya adalah diperbolehkan dalam agama Islam dengan mengikuti aturan-aturan yang telah dijelaskan oleh para ulama. Yaitu, jika digunakan manfaatnya, maka harus diberikan upah sesuai manfaatnya.
Semoga bermanfaat, Wallahul Muwaffiq.
[Bersambung]
***
Depok, 09 Muharram 1446 / 15 Juli 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, karya Syekh Abdullah bin Alu Bassam rahimahullah, Cet. An-Nahdhah Al-Haditsah
Al-Muktashar fil Mu’amalat, karya Prof.Dr. Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, Cet. Maktabah Ar-Rusyd
Catatan kaki:
[1] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 78.
[2] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77.
[3] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, 4: 77.
[4] Lihat Al-Mabsuth, 21: 104.
[5] Lihat Al-Mukhtashar fil Mu’amalat, hal. 112.
Leave a Reply