وَأَمَّا الْحَرْفُ فَيُعْرَفُ بِأَنْ لَا يَقْبَلَ شَيْئًا مِنْ عَلَامَاتِ الإسْمِ وَالفِعْلِ نَحْوُ : هَلْ وَبَلْ
“Huruf ma’ani bisa diketahui dengan tidak menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contoh dari huruf adalah adalah: هَلْ dan بَل”.
Setelah Ibnu Hisyam menjelaskan pembahasan tentang isim dan fi’il, beliau memulai membahas tentang huruf ma’ani. Ibnu Hisyam menyebutkan bahwasanya huruf ma’ani sama sekali tidak bisa menerima tanda-tanda isim dan tanda-tanda fi’il. Contohnya adalah:
هَلْ dan بَلْ
Dari kedua contoh di atas, terlihat huruf tidak memiliki tanda, baik itu tanda-tanda dari isim, maupun tanda-tanda fi’il.
وَلَيْسَ مِنْهُ (مَهْمَا) وَ (إِذْمَا) وَ بَلْ (مَا) المَصْدَرِيَةُ وَ (لَمَّا) الرَّابِطَةُ فِي الْأَصَحِّ
“Menurut pendapat yang kuat, maka kata-kata berikut tidak termasuk pembahasan huruf, yaitu: مَهْمَا (apa pun), إِذْمَا (ketika), مَا المَصْدَرِيَةُ(kata sambung memiliki arti ‘yang’), لَمّا (belum/ketika).”
Empat contoh kata di atas adalah penjelasan kata-kata yang diperselisihkan status kata tersebut sebagai isim ataukah huruf. Penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, مَهْمَا (apa pun). Pendapat yang kuat menyebutkan kata tersebut adalah isim syarat yang mempunyai amalan men-jazm-kan fi’il mudhari’. Dalil yang menunjukkan kata tersebut berstatus sebagai isim terdapat pada firman Allah,
وَقَالُوْا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهٖ مِنْ اٰيَةٍ
“Mereka (kaum Fir’aun) berkata kepada Musa, ‘Bukti apa pun yang engkau bawa kepada kami.’ ” (QS. Al-A’raf:132)
Maka, huruf هـ yang terdapat pada به yang bergaris bawah di atas menunjukkan tempat kembalinya pada kata مَهْمَا. Alasannya adalah هـ tersebut merupakan dhamir. Adapun dhamir tempat kembalinya pastilah kepada isim juga. Oleh karena itu, مَهْمَا pasti berstatus sebagai isim.
Kedua, إِذْمَا (ketika). Pendapat yang kuat mengatakan bahwasanya kata tersebut berstatus sebagai isim syarat yang beramal men-jazm-kan fi’il mudhari’. Kata tersebut menunjukkan keterangan waktu. Kata إِذْمَا bersinonim dengan kata مَتَى (kapan pun). Kata إِذْ jika terletak sebelum kata مَا, maka kata إِذْ tersebut masuk kategori isim. Hukum asalnya adalah mempertahankan status sesuatu sesuai dengan asalnya. Contohnya adalah:
إِذْمَا تَقُمْ أَقُمْ
“Kapan pun kamu berdiri, maka aku akan berdiri.”
Ada pendapat lain yang mengatakan bahwasanya إِذْمَا statusnya adalah huruf, sebagaimana status إِنْ الشَرْطِيَةِ. Pendapat ini juga kuat sebagaimana yang tertuang di kitab Audhahul Masalik. Pembahasanya akan dijelaskan pada bab pen-jazm fi’il mudhari’.
Ketiga, مَا المَصْدَرِيَة. Huruf tersebut adalah huruf yang membentuk mashdar mu’awwal ketika huruf tersebut bergandengan dengan fi’il yang terletak setelah huruf tersebut. Contohnya di dalam kalimat adalah:
سَرَّنِيْ مَا فَعَلْتَ
“Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.”
Kata yang bergaris bawah tersebut adalah ma masdhariyah dan fi’il mudhari’ yang menjadi susunan kata. Di dalam kaidah Bahasa Arab, susunan ma mashdariyah dan fi’il mudhari’ bisa diganti ke bentuk mashdar sharih. Sehingga contoh di atas maksudnya adalah:
سَرَّنِيْ فِعْلُكَ
“Apa yang kamu lakukan, membuat aku senang.”
Menurut pendapat yang kuat, huruf ma masdhariyah tersebut berstatus huruf, sebagaimana huruf أَنْ مَصْدَرِيَةِ.
Keempat, لَمّا (belum/kecuali). Ketika kata tersebut dimaksudkan kata nafiyah, maka kata tersebut berstatus sebagai huruf pen-jazm sebagaimana kata لَمْ. Apabila kata tersebut dimaksudkan kata إِيْجَابِيَّةُ (kecuali), maka kata tersebut semakna dengan kata إلَّا (kecuali). Apabila kata لَمّا tersebut bermakna dua kata yang telah disebutkan di atas, maka ulama nahwu sepakat berpendapat bahwasanya itu adalah huruf. Contoh penggunaan kata لَمّا di dalam kalimat yaitu:
Pertama, contoh kata لَمّا yang bermakna nafiyah (belum) adalah:
لَمَّا تُشْرِقِ الشَّمْسُ
“Matahari belum terbit.”
Kedua, contoh kata لَمّا yang bermakna ijabiyyah (kecuali) adalah:
إِن كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ
“Setiap jiwa, kecuali ada penjaga atasnya.” (QS. At-Thariq: 4)
Kata إِنْ pada potongan ayat Al-Qur’an di atas adalah nafiyah (tidak), kata كُلُّ berkedudukan sebagai mubtada’, kata لَمّا adalah huruf mabni dengan tanda sukun, kata عَلَيْهَا adalah khabar muqaddam, حَافِظٌ adalah mubtada muakkhar. Adapun gabungan dari kata لَمّا عَلَيْهَا حَافِظٌ berkedudukan sebagai khabar kata كُلُّ.
Ketiga, contoh kata لَمّا yang bermakna ar-rabithah (ketika) dan ulama nahwu juga berselisih pendapat apakah kata لَمَّا ar-rabithah (ketika) tersebut berkedudukan sebagai huruf ataukah isim.
Pertama, kata لَمَّا ar-rabithah (ketika) yang berstatus sebagai huruf adalah:
لَمَّا جَاءَنِيْ أَكْرَمْتُهُ
“Ketika dia datang kepadaku, aku muliakan dia.”
Dalil yang menunjukkan kata لَمَّا tersebut bisa dikatakan sebagai huruf adalah kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai berikut:
لَمَّا أَكْرَمْتَنِيْ أَمْسَ أَكْرَمْتُكَ اَلْيَوْمَ
“Ketika kemarin kamu muliakan aku, maka di hari ini aku muliakan kamu.”
Sebagian Ulama Nahwu berpendapat bahwasanya kata لَمَّا tersebut berstatus isim berkedudukan zharaf. Jika begitu, maka seharusnya ada ‘amil untuk kata لَمَّا tersebut yang menyebabkan kata لَمَّا tersebut menjadi nashab. Jika yang dimaksudkan ‘amil kata لَمَّا tersebut adalah أَكْرَمْتَنِي, maka tidak bisa. Ulama Nahwu mengatakan bahwasanya jika ada ‘amil kata لَمَّا harusnya ada mudhaf yang terletak sebelum kata لَمَّا tersebut. Adapun mudhaf ‘ilaih tidak bisa menjadi ‘amil untuk mudhaf. Oleh karena itu, kata أَكْرَمْتَنِي tidak bisa dikatakan menjadi ‘amil untuk kata لَمَّا. Oleh karena itu, kata لَمَّا tersebut bermakna ‘ketika’ yang menunjukkan terjadinya sesuatu, karena adanya perbuatan lain. Kesimpulannya adalah kata لَمَّا tersebut berstatus huruf menurut pendapat yang kuat.
Kedua, kata لَمَّا ar-rabithah (ketika) berstatus sebagai zharaf , yaitu zharaf zaman. Faktor yang menyebabkan kata tersebut nashab adalah jawab syarat.
Ibnu Hisyam mengatakan,
وَجَمِيْعُ اَلْحُرُوْفِ مَبْنِيَةٌ
“Semua huruf adalah mabni.”
Ini adalah pembahasan hukum huruf. Bahwasanya semua huruf tidak butuh i’rab (berubah). Karena huruf tidak butuh i’rab (perubahan) untuk mengetahui makna masing-masing dari huruf. Adapun untuk mengetahui makna huruf cukup melihat konteks kalimat. Adapun isim, untuk menentukan maknanya apa di dalam kalimat, maka sangat dibutuhkan i’rab (perubahan). Contoh penggunaan huruf di dalam kalimat sebagai berikut:
أَخَذْتُ مِنَ الدَّرَاهِمِ
“Aku mengambil sebagian dirham.”
***
Penulis: Rafi Nugraha
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply