Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa?

Mengapa Ada Waktu Mustajab Doa, Padahal Allah Maha Mengabulkan Doa?

Doa merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan bagi umat Islam. Imam Dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitabnya “Ushul Tsalatsah wa Adillatuha” menyebutkan doa ketika merinci contoh-contoh ibadah yang wajib dipersembahkan oleh seorang hamba pada Tuhannya.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدعاء مخ العبادة

Doa adalah inti dari ibadah.” (HR. Tirmidzi no. 3371 dan At-Thabrani no. 3196)

Selain itu, Allah juga berfirman perihal syariat doa bagi umatnya,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk ke dalam neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.’” (QS. Ghafir: 60) [1]

Dalam ayat tersebut, secara eksplisit Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dan Dia pasti akan mengabulkan doanya. Kemudian kalimat selanjutnya yang menggunakan frasa “ibadah” jelas merepresentasikan bahwa doa adalah ibadah itu sendiri, dan ibadah tidak terlepas dari doa.

Bukan hanya dalam ayat di atas, pada firman-Nya yang lain, Allah juga berfirman bahwa selama seorang hamba berdoa kepada-Nya, maka Dia (Allah) pasti akan mengabulkannya, di mana pada ayat ini Allah mengaitkan dengan kata “jika” pada konteks ijabah/pengabulan doa, Allah Ta’ala berfirman,

أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

Di samping semua itu, ternyata Allah telah menetapkan waktu-waktu mustajab di mana doa pada waktu-waktu tersebut pasti akan dikabulkan. Dengan adanya kepastian dikabulkannya sebuah doa secara umum sebagaimana disebutkan pada dua ayat di atas, juga yang mana doa itu sendiri adalah representasi dan inti dari ibadah yang dilakukan seorang hamba, lantas mengapa ada waktu-waktu khusus lagi yang membuat doa dikabulkan?

Tidakkah cukup bahwa Allah Maha Mengabulkan Doa untuk terkabulnya doa seorang hamba yang berdoa? Apakah doa nyatanya tidak selalu dikabulkan, terlebih dengan munculnya waktu-waktu khusus terkabulnya doa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang harus kita pahami terlebih dahulu, yaitu:

Bentuk ijabah doa

Perlu diketahui adalah benar adanya bahwa tidak ada doa yang tidak Allah ijabah. Adapun bentuk ijabah doa yang Allah berikan tidak lain dan tidak bukan antara 3 bentuk berikut:

Pertama: Allah kabulkan segera sebagaimana yang kita inginkan; atau

Kedua: Allah tidak kabulkan dengan segera sebagaimana yang kita inginkan dan minta, akan tetapi Allah jadikan itu sebagai tabungan amal kebaikan kita di akhirat kelak; atau

Ketiga: Allah ganti dengan perlindungan dan penjagaan untuk kita dari keburukan.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya yang diriwayatkan dari Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

ما من مسلمٍ يَدْعُو بدعوةٍ – ليس فيها إثمٌ ولا قطيعةُ رَحِمٍ –؛ إلا أعطاه اللهُ بها إحدى ثلاثٍ: إما أن يُعَجِّلَ له دعوتَه، وإما أن يَدَّخِرَها له في الآخرةِ، وإما أن يَصْرِفَ عنه من السُّوءِ مِثْلَها، قالوا: إذَنْ نُكَثِّرُ؟! قال: اللهُ أكثرُ

Tidaklah seorang muslim berdoa dengan sebuah doa yang tidak terkandung di dalamnya dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali Allah akan memberikannya salah satu dari ketiga hal berikut: (1) Allah akan mengabulkannya dengan segera; ataupun (2) mengakhirkan untuknya di akhirat; atau pula (3) memalingkannya dari keburukan yang semisalnya. Para sahabat berkata, ‘Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa kami.’ Beliau bersabda, ‘Allah (pemberiannya) lebih banyak lagi.’ ” (Sahih, HR. Ahmad no. 11133 dan lafaz ini miliknya, Abu Ya’la no. 1019, dan Abd bin Hamid no. 935 dalam “Musnad”-nya)

Adab-adab dan sebab-sebab terkabulnya doa

Dalam berdoa, terdapat adab-adab yang dapat menjadi sebab di-ijabah-nya doa seorang hamba, secara singkat di  antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: Mengikhlaskan doa sebagaimana ikhlas adalah syarat diterimanya ibadah,

Kedua: Memulai dengan memuji Allah dan selawat kepada Rasul, juga berdoa menggunakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang mulia,

Ketiga: Menghadirkan hati,

Keempat: Yakin akan ijabah doa dari Allah,

Kelima: Berdoa dengan suara yang lirih,

Keenam: Berdoa dengan pengakuan dan permohonan pengampunan dosa dan/rasa syukur terhadap nikmat yang telah diberikan,

Ketujuh: Merendahkan diri di hadapan Allah dan khusyuk dalam berdoa,

Kedelapan: Disunahkan menghadap kiblat, mengangkat tangan, dan dalam keadaan suci. [2]

Doa-doa yang tidak di-ijabah

Adanya adab-adab dalam berdoa yang menjadi sebab terkabulnya doa memunculkan pula kemungkinan doa yang tidak ter-ijabah atau tidak terkabulkan. Doa yang tidak terkabulkan bukan serta-merta karena Allah yang menafikan sifat dan janji terkabulnya doa, melainkan karena kelakuan hamba itu sendiri yang membuat dirinya tidak layak untuk mendapat ijabah doa. Ada beberapa keadaan doa seorang hamba berkemungkinan besar tidak dikabulkan oleh Allah,

Pertama: Terburu-buru dan merasa tidak sabar dengan ijabah doa dari Allah,

Kedua: Tidak sepenuh hati, malas, dan lalai,

Ketiga: Berdoa kepada selain Allah,

Keempat: Mendoakan saudara seiman dengan keburukan

Kelima: Berdoa dengan keadaan pakaian yang dipakai serta makanan dan minuman yang dikonsumsi berstatus haram.[3]

Waktu-waktu mustajab doa

Sebagai sebuah bonus, Allah memberikan bagi hamba-Nya waktu-waktu, tempat, dan situasi yang “mustajab”, di mana doa pada saat itu pasti akan dikabulkan oleh Allah. Di antara waktu-waktu, tempat, dan situasi mustajab adalah:

Pertama: Pada lailatulqadar. Tentu saja ini tidak mengherankan, lailatulqadar itu sendiri adalah malam paling mulia yang amalan pada malam itu setara dengan seribu bulan dan para malaikat turun di malam itu sampai terbit fajar;

Kedua: Sepertiga malam terakhir. Ketika sepertiga malam terakhir, Allah Ta’ala akan turun ke langit dunia dan Dia akan mengabulkan setiap permohonan dan permintaan yang naik, juga mengampuni siapa pun yang meminta ampunan saat itu. Diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالى كُلَّ لَيْلَةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا، حِينَ يَبْقى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فيَقولُ: مَن يَدْعُونِي فأسْتَجِيبَ له، مَن يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَن يَسْتَغْفِرُنِي فأغْفِرَ له.

Tuhan kita Yang Mahatinggi pada setiap malamnya turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, seraya menyeru, ‘Siapa yang berdoa pada-Ku, akan kukabulkan. Siapa yang meminta pada-Ku, akan kuberi. Dan siapa yang memohon ampunan pada-Ku, akan Kuampuni.’” (Sahih, HR. Bukhari no. 7494 dan Muslim no. 758)

Ketiga: Akhir setiap salat fardu,

Keempat: Waktu antara azan dan ikamah,

Kelima: Di salah satu waktu di setiap malam, juga salah satu waktu di hari Jumat, terkhusus waktu setelah Asarnya,

Keenam: Ketika hujan,

Ketujuh: Doa di majelis zikir,

Kedelapan: Doa seorang muslim untuk saudara muslim lainnya tanpa sepengetahuannya,

Kesembilan: Doa di padang Arafah ketika hari Arafah,

Kesepuluh: Doa orang yang terzalimi,

Kesebelas: Ketika safar.[4]

Setelah mengetahui hal-hal di atas, perihal berbagai bentuk ijabah doa yang bukan hanya tentang apa yang kita minta dan inginkan saja, juga adab-adab dalam berdoa di mana dengan melakukan adab-adab tersebut dapat menjadi sebab terkabulnya doa, juga ternyata ada hal-hal yang menyebabkan doa bisa tidak terkabulkan. Dan yang pasti waktu-waktu mustajab doa yang kita pertanyakan esensi keberadaannya, dapat kita simpulkan bahwa terkabulnya doa adalah suatu kepastian selama terpenuhinya syarat dan terbebas dari penghalang.

Adapun hikmah dan sebab ditetapkannya waktu-waktu, tempat, dan situasi tertentu yang mustajab, padahal Allah adalah Yang Maha Mengabulkan Permintaan adalah sebagai berikut,

Pertama: Bentuk kemuliaan dan kebaikan dari Allah semata-mata bukan untuk pembatasan, tetapi justru sebagai bonus.

Pada dasarnya, setiap doa adalah terkabulkan, kecuali kita sebagai manusia yang membuat kita tidak layak mendapat ijabah doa dari Allah. Di mana kita ketahui bahwa doa mungkin saja dapat tertolak dan tidak dikabulkan, akan tetapi dengan adanya waktu, tempat, dan keadaan mustajab, maka doa tersebut bisa saja dikabulkan.

Kedua: Memperbesar peluang diterimanya.

Dengan adanya waktu, tempat, dan keadaan yang mustajab, jelas peluang dikabulkannya doa menjadi lebih besar. Bayangkan, kita berdoa dengan adab yang baik, dalam keadaan suci, menghadap kiblat, menghadirkan hati yang khusyuk, dengan penuh keyakinan, dan dengan kerendahan diri di hadapan Tuhannya memohon, berdoa, pada waktu yang mustajab, di tempat yang diberkahi, dalam kondisi yang mustajab pula, bagaimana doa tidak dikabulkan kalau begitu?

Ketiga: Menjadi sebab dikabulkannya doa.

Waktu mustajab dapat menjadi sebab dikabulkannya doa, tentu saja setelah kehendak Allah. Adalah sebuah keberuntungan bagi kita waktu mustajab menjadi sebab dikabulkannya doa, bukan syarat dikabulkannya doa. Artinya, doa kita pasti akan dikabulkan ketika kita berdoa pada waktu mustajab (atau setidaknya persentase peluang dikabulkannya tinggi) dan kita tidak harus berdoa pada waktu mustajab agar doa kita dikabulkan. Beruntung sekali, bukan?

Keempat: Mempermudah kita dalam berdoa dan sebagai motivasi.

Mengapa? Karena meski telah ditetapkan waktu, tempat, dan kondisi mustajab, tetapi hal tersebut bukanlah pembatasan, bahkan kita bisa memborong semua dalam sekali berdoa, juga bisa terjadi berkali-kali dalam sehari.

Sebagai contoh, di antara waktu mustajab adalah antara azan dan ikamah, sepanjang hari Jumat, ketika khatib naik mimbar, juga saat hujan, pun ketika selesai berwudu. Kemudian di antara tempat yang mustajab adalah masjid dibanding tempat-tempat lainnya.[5] Lalu, kondisi mustajab di antaranya adalah selama berpuasa sampai berbuka, doa orang yang banyak berzikir, doa pemimpin yang adil, doa anak yang berbakti pada orang tuanya. Semua itu bisa terkumpul jadi satu dan apakah kita lihat pembatasan? Tidak, justru lebih seperti bonus yang diberikan secara cuma-cuma. [6]

Hal ini jelas dapat menjadi motivasi bagi kita agar lebih banyak, lebih sering, dan lebih giat dalam berdoa yang mana doa itu sendiri adalah inti dari ibadah, selain berdoa itu sendiri sudah mudah, ternyata untuk mendapat ijabah-nya pun sudah diberi banyak kemudahan. Kurang apa lagi?

Adanya syariat ibadah yang dinamakan doa ini adalah suatu nikmat tiada tara yang harus kita syukuri tanpa habisnya. Allah itu sangatlah berbeda dari hamba-Nya. Dia sangat senang ketika hamba-Nya berdoa dan meminta padanya, buktinya saja bahwa Dia yang Maha Mengabulkan Permintaan memberi berbagai waktu, tempat, dan kondisi dengan tingkat ijabah doa yang tinggi dan ternyata waktu, tempat, dan kondisi tersebut sangatlah banyak dan kita seringkali bertepatan dengan saat-saat mustajab tersebut.

Cobalah bertanya-tanya tentang apa yang Allah berikan, maka kamu akan semakin bersyukur. Jangan pernah tinggalkan doa, jangan pernah lewatkan kesempatan mustajab yang telah Allah bonuskan untuk kita, dan yakinlah akan ijabah-Nya yang pasti,

ادعوا اللَّهَ وأنتُم موقِنونَ بالإجابَةِ

Berdoalah dengan keyakinan, doa kalian akan di-ijabah.” (HR. Tirmidzi no. 3479)

Seorang penyair pernah menyampaikan

لا تسألن بني آدم حاجة # وسل الذي أبوابه لا تحجب #

الله يغضب إن تركت سؤاله # وبني آدم حين يسأل يغضب #

Janganlah kamu meminta kepada anak Adam suatu kebutuhan, dan mintalah pada yang pintu-Nya tidak pernah tertutup. Allah marah ketika kamu tidak meminta pada-Nya, dan anak Adam justru marah ketika kamu meminta padanya.

***

Penulis: Abdurrahman Waridi Sarpad

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Ushul Tsalatsah wa  Adillatuha, karya Muhammad bin Abdul Wahhab.

[2] Syarhu Ad-Du’a min Al-Kitab wa As-Sunnah, karya Mahir bin Abdul Hamid bin Miqdam, hal 27-68.

[3] Ibid.

[4] Ibid., hal. 69-100.

[5] Majmu’ Fatawa, 27:130.

[6] Loc.cit.

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *