Menyandarkan diri kepada salaf saleh atau manhaj salaf
Syekh Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah At-Tamimi hafizhahullah (beliau adalah guru besar akidah di Universitas Islam Madinah) menerangkan di dalam kitabnya, ‘Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Tauhid Asma’ wa Shifat’ (hal. 53-54), bahwa para ulama memiliki pandangan yang beragam tentang makna istilah salaf saleh. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan salaf saleh adalah para sahabat radhiyallahu anhum saja. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud salaf saleh adalah sahabat dan tabi’in. Dan ada pula yang mengatakan bahwa salaf saleh meliputi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Beliau juga menyatakan (hal. 54) bahwa pendapat yang benar lagi populer ialah pendapat jumhur ulama ahli sunah waljamaah, yaitu yang menyatakan bahwa salaf saleh itu mencakup tiga generasi yang diutamakan dan telah dipersaksikan kebaikannya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian sesudah mereka, kemudian sesudahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga istilah salaf saleh itu mencakup sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Syekh At-Tamimi mengatakan, “Dan setiap orang yang meniti jalan mereka dan berjalan di atas metode/manhaj mereka, maka dia disebut salafi, sebagai penisbatan kepada mereka.” (Mu’taqad, hal. 54)
Beliau juga memaparkan (hal. 54) bahwa salafiyah adalah manhaj yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta generasi yang diutamakan sesudah beliau. Nabi telah memberitakan bahwa manhaj salaf ini akan tetap ada hingga datangnya hari kiamat. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لا تزال طائفة من أمتي قائمة بأمر الله لا يضرهم من خذلهم أو خالفهم حتى يأتي أمر الله وهم ظاهرون على الناس
“Akan senantiasa ada segolongan manusia di antara umatku yang selalu menang di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sampai datang ketetapan Allah sementara mereka tetap dalam keadaan menang.” (HR. Muslim)
Kemudian, Syekh At-Tamimi juga menegaskan (hal. 55) bahwa perkara yang dibenarkan apabila seorang menyandarkan diri kepada manhaj salaf ini selama dia konsisten menetapi syarat-syarat dan kaidah-kaidahnya. Maka, siapa pun yang menjaga keselamatan akidah dan amalnya sehingga sesuai dengan pemahaman tiga generasi yang utama tersebut, maka dia adalah orang yang bermanhaj salaf.
Di tempat yang lain (hal. 63), beliau mengatakan, “Terkadang para ulama menggunakan istilah ahli sunah waljamaah sebagai pengganti istilah salaf.”
Dari pemaparan ringkas di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa istilah salaf atau salafi sebenarnya adalah istilah yang sudah sangat terkenal dalam pembicaraan para ulama. Mereka itu tidak lain adalah para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Maka, sungguh sebuah penipuan yang amat jelas apabila ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafi adalah istilah yang diada-adakan, tidak ada sumbernya dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, apalagi sampai mengatakan bahwa istilah itu tidak perlu dihiraukan.
Dengarkanlah ucapan seorang tokoh pergerakan yang patut untuk kita cermati, “Salafiyah bukanlah istilah teknik untuk suatu jemaah, melainkan bentuk pemahaman terhadap Islam dalam menghadapi berbagai faham lain dari berbagai kelompok yang menyimpang. Pemahaman ini ada sejak awal sejarah Islam. Pada dasarnya, seluruh du’at harus menjalani manhaj salaf ridhwanullahi ‘alaihim, bergerak dengannya baik secara pemahaman, amalan, maupun akidah. Salafiyah bukan sebuah jemaah dari jemaah-jemaah, dan bukan merupakan satu hizb dari berbagai hizb yang ada.” (Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan, penerjemah Hawari Aulia, di bawah judul ‘Tuduhan dan Jawabannya’).
Alangkah benar apa yang diucapkannya, maka marilah kita ikuti para ulama salaf, tidak hanya dalam hal akidah, namun juga dalam hal dakwah dan siyasah.
Termasuk kekeliruan pula apabila ada orang yang mengatakan bahwa salaf sekarang sudah tidak ada karena mereka sudah meninggal dengan maksud menjauhkan umat dari manhaj salaf. Memang, salaf saleh (dalam artian tiga generasi terbaik) sudah berlalu, namun sebagaimana sudah dijelaskan di muka oleh Syekh At-Tamimi bahwa manhaj mereka masih tetap hidup.
Syekh Prof. Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6)
Allah Ta’ala berfirman mengisyaratkan kelurusan manhaj salaf yang mulia ini dengan firman-Nya,
وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Dan orang-orang yang lebih dahulu (masuk Islam) dan pertama-tama (berjasa dalam dakwah), yaitu kaum Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah meridai mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Allah mempersiapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. At-Taubah: 100)
Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridaan Allah kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘Azza Wajalla telah rida kepada para sahabat dan mereka pun rida kepada Allah ‘Azza Wajalla. Dan Allah ‘Azza Wajalla juga meridai orang-orang yang mengikuti perjalanan para sahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para sahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” (Al-Masa’il, jilid 3, hal. 74)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa hakikat dakwah salafiyah tidak lain ialah mengajak umat untuk senantiasa mengikuti cara beragama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dengan baik.
Sehingga, dakwah salafiyah bukanlah dakwah hizbiyah yang menyeru kepada kelompok tertentu dan tokoh-tokoh tertentu selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum ajma’in. Salafiyah adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para sahabat dan para pengikut setia mereka, tidak lebih dari itu.
Mengapa harus salafiyah?
Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah pernah ditanya, “Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai, kelompok, atau mazhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Sesungguhnya kata salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syariat. Dalam hal ini, terdapat sebuah hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, ‘Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.’ Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka mengatakan, ‘Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… Dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).’ …”
Kemudian Syekh melanjutkan penjelasannya,
“Akan tetapi, ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu. Ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, ‘Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.’ Seolah-olah dia ini mengatakan, ‘Seorang muslim tidak boleh mengatakan, ‘Saya adalah pengikut salaf saleh dalam hal akidah, ibadah, dan perilaku.’ ‘ Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini (meskipun dia tidak bermaksud demikian) memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang sahih yang diamalkan oleh para salaf saleh yang mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana disinggung di dalam hadis mutawatir di dalam Shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
‘Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.‘
Oleh sebab itu, maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbatan diri kepada salaf saleh. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang lainnya, niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al-Manhaj As-Salafi ‘inda Syaikh Al-Albani, hal. 13-19. Lihat Silsilah Abhats Manhajiyah As-Salafiyah 5, hal. 65-66, karya Doktor Muhammad Musa Nashr rahimahullah)
Syekh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaili hafizahullah mengatakan, “Bukan termasuk perbuatan bid’ah barang sedikit pun apabila ahli sunah menamai dirinya salafi. Sebab, pada hakikatnya istilah salaf sama persis artinya dengan isitlah ahli sunah waljamaah…” (Mauqif Ahlis Sunnah, 1: 63. Dinukil melalui Tabshir Al-Khalaf bi Syar’iyatil Intisab ila As-Salaf)
Maka, seorang salafi adalah setiap orang yang mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman salaf saleh, serta menjauhi pemikiran yang menyimpang dan bid’ah-bid’ah dan tetap bersatu dengan jemaah kaum muslimin bersama pemimpin mereka. Itulah hakikat salafi, meskipun orangnya tidak menamakan dirinya dengan istilah ini. (Lihat kalimat penutup risalah Tabshir Al-Khalaf bi Syar’iyatil Intisab ila As-Salaf, karya Dr. Milfi Ash-Sha’idi)
Pedoman ahli sunah
Di dalam kitab akidahnya, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah mengatakan,
“Dan kami -ahli sunah- mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah. Kami menjauhi perkara-perkara yang syadz/nyleneh, khilaf/perselisihan, dan furqah/perpecahan.”
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengatakan,
“Yang dimaksud As-Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan yang dimaksud Al-Jama’ah adalah jemaah kaum muslimin, yaitu para sahabat, dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Oleh sebab itu, mengikuti mereka (salaf saleh) adalah petunjuk dan menyelisihi mereka adalah kesesatan.” (Lihat Ar-Riyadh An-Nadiyyah, hal. 136)
Syekh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
“Adapun apabila mereka -ahli sunah- berselisih/berbeda pendapat, maka pendapat salah satu di antara mereka bukanlah menjadi hujah/argumen yang dengan sendirinya bisa mengalahkan pendapat pihak lain (sesama ahli sunah). Akan tetapi, yang wajib adalah mengembalikan permasalahan yang dipersengketakan itu kepada Allah dan Rasul.
Hal itu sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala,
فَإِن تَنَـٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍۢ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
‘Kemudian apabila kalian bersengketa/berselisih mengenai suatu perkara apa pun, hendaklah kalian kembalikan hal itu kepada Allah dan Rasul. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Itulah yang terbaik dan paling bagus hasilnya.’ (QS. An-Nisa’: 59)” (Lihat Al-Manhaj As-Salafi oleh Dr. Mafrah bin Sulaiman Al-Qusi, hal. 360)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok As-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meneladani mereka, dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kami meninggalkan perdebatan. Kami meninggalkan duduk-duduk (belajar) bersama pengekor hawa nafsu. Kami meninggalkan perbantahan, perdebatan, dan pertengkaran dalam urusan agama.” (Lihat ‘Aqa’id A’immah As-Salaf, hal. 19)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Beliau radhiyallahu ’anhu juga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama kami tetap berpegang teguh dengan asar.” (Lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply