Bismillah.
Qatadah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang diberikan harta, keelokan rupa, pakaian, atau ilmu, kemudian dia tidak tawaduk di dalamnya, maka itu akan berubah menjadi bencana baginya kelak pada hari kiamat.” (Lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 5:129.)
Ibnu Sa’ad menceritakan di dalam kitabnya Ath-Thabaqat, bahwasanya Umar bin Abdul Aziz rahimahullah apabila berkhotbah di atas mimbar, kemudian dia khawatir muncul perasaan ujub di dalam hatinya, dia pun menghentikan khotbahnya. Demikian juga, apabila dia menulis tulisan dan takut dirinya terjangkit ujub, maka dia pun menyobek-nyobeknya, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari keburukan hawa nafsuku.” (Dikutip dari Al-Fawa’id, hal. 146.)
Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub, maka dia tidak mewujudkan kandungan ayat iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat iyyaka na’budu, maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang berhasil mewujudkan maksud ayat iiyyaka nasta’in, maka dia akan terbebas dari ujub. Di dalam sebuah hadis yang terkenal disebutkan, “Ada tiga perkara yang membinasakan: sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (Lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83.)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah di dalam Ahkam Min Al-Qur’an Al-Karim menerangkan, bahwa dari ayat ‘iyyaka na’budu’ (hanya kepada-Mu kami beribadah) yang ada di dalam surah Al-Fatihah, di dalamnya terkandung nilai keikhlasan dalam beribadah kepada Allah ‘Azza Wajalla. (Lihat Ahkam, hal. 23.)
Syekh As-Sa’di rahimahullah di dalam tafsirnya menerangkan bahwa di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ terkandung pemurnian/keikhlasan dalam beragama, yaitu mengikhlaskan ibadah dan isti’anah/memohon pertolongan kepada Allah semata. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 40.)
Kalimat iyyaka na’budu bermakna ‘kami tidak menyembah kepada siapa pun, selain Engkau’ sehingga ibadah itu semuanya hanya boleh dipersembahkan kepada Allah semata. Demikian pula, isti’anah/memohon pertolongan hanya kepada Allah juga. (Lihat Hasyiyah Tsalatsah Al-Ushul, hal. 41.)
Pesan bagi penimba ilmu
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah berpesan,
”Ketahuilah, bahwasanya segala sanjungan yang diberikan kepada ilmu dan ulama ini hanya berlaku bagi orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, orang-orang yang baik dan bertakwa.
Mereka yang meniatkan dengan ilmunya untuk meraih wajah Allah yang mulia. Mereka yang bermaksud dengan ilmunya untuk mencari kedekatan diri di sisi-Nya di surga-surga yang penuh dengan kenikmatan.
Bukan orang yang mencari ilmu dengan niat buruk, atau dibarengi perilaku yang kotor. Atau mencari ilmu dalam rangka mengejar kepentingan dan ambisi-ambisi dunia. Berupa kedudukan, harta, atau berbanyak-banyakan pengikut dan santri/penimba ilmu.” (Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal. 45.)
Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatakan,
“Menimba ilmu adalah ibadah, sebagaimana dikatakan oleh Imam Az-Zuhri rahimahullah, ‘Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang serupa dengan ilmu.’ Sementara ibadah tidaklah diterima, kecuali dengan keikhlasan untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh sebab itu, wajib bagi penimba ilmu untuk selalu membersihkan niatnya di setiap waktu dengan ber-mujahadah/ menundukkan nafsunya secara terus-menerus.” (Lihat Syarah Manzhumah Al-Mimiyah, hal. 89)
Diriwayatkan dari Rabi’ bin Anas rahimahullah, beliau berkata, “Tanda agama adalah ikhlas mengabdi kepada Allah. Dan tanda keilmuan adalah rasa takut kepada Allah.” (Lihat Al-Ikhlas wa An-Niyah, Ibnu Abid Dun-ya, hal. 33.)
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa-dosa itu mengeluarkan bau busuk, niscaya tidak ada seorang pun yang sanggup untuk duduk bersamaku.” (Lihat Muhasabat An-Nafs wa Al-Izra’ ‘alaiha, hal. 82.)
Orang yang ikhlas akan merasa ringan dalam melakukan berbagai ketaatan (yang pada umumnya terasa memberatkan), karena orang yang ikhlas senantiasa menyimpan harapan pahala dari Allah. Demikian pula, ia akan merasa ringan dalam meninggalkan maksiat, karena rasa takut akan hukuman Rabbnya yang tertanam kuat di dalam hatinya. (Lihat Al-Qaul As-Sadid, hal. 17.)
Al-Mu’alla bin Ziyad berkata, “Aku mendengar Al-Hasan bersumpah di dalam masjid ini, ‘Demi Allah, yang tidak ada sesembahan (yang benar), selain Dia. Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia pasti merasa takut dari kemunafikan. Dan tidaklah berlalu dan hidup seorang munafik melainkan dia pasti merasa aman dari kemunafikan.’ Beliau (Hasan Al-Bashri) berkata, ‘Barangsiapa yang tidak khawatir dirinya tertimpa kemunafikan, maka justru dialah orang munafik.’ ” (Lihat Fath Al-Bari, 1:137.)
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amal yang sedikit tapi terus-menerus itu lebih baik daripada amal yang banyak dan terputus dikarenakan dengan terus-menerusnya amal yang sedikit itu akan lebih melanggengkan ketaatan, melestarikan zikir dan muraqabah, menjaga niat dan keikhlasan dan memelihara konsentrasi pengabdian kepada Al-Khaliq Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan alasan-alasan itulah, amal yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan pahala yang jauh lebih berlipat ganda daripada amalan yang besar tapi terputus.” (lihat Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayani Asbab Tafadhul Al-A’mal, hal. 88)
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Benar-benar ada dahulu seorang lelaki yang memilih waktu tertentu untuk menyendiri, menunaikan sholat dan menasehati keluarganya pada waktu itu, lalu dia berpesan: Jika ada orang yang mencariku, katakanlah kepadanya bahwa ‘dia sedang ada keperluan’.” (Lihat Al-Ikhlas wa An-Niyyah, hal.65.)
Jaga hati jaga waktu
Allah berfirman,
أَلَمۡ تَرَ كَیۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلࣰا كَلِمَةࣰ طَیِّبَةࣰ كَشَجَرَةࣲ طَیِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتࣱ وَفَرۡعُهَا فِی ٱلسَّمَاۤءِ
تُؤۡتِیۤ أُكُلَهَا كُلَّ حِینِۭ بِإِذۡنِ رَبِّهَاۗ وَیَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ یَتَذَكَّرُونَ
“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah memberikan suatu perumpamaan tentang suatu kalimat yang baik seperti sebuah pohon yang baik, yang pokoknya kokoh dan cabang-cabangnya menjulang di langit. Ia memberikan buah-buahnya pada setiap muslim dengan izin Rabbnya. Dan Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan bagi manusia mudah-mudahan mereka mau mengambil pelajaran.” (QS. Ibrahim : 24-25)
Rabi’ bin Anas rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘pokoknya kokoh’ yaitu keikhlasan kepada Allah semata dan beribadah kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Beliau juga menafsirkan bahwa yang dimaksud ‘cabang-cabangnya’ adalah berbagai amal kebaikan. Adapun maksud dari ‘ia memberikan buahnya pada setiap muslim’ yaitu amalan-amalannya terangkat naik ke langit pada setiap awal siang dan akhirnya. Kemudian beliau mengatakan, “Ada empat amalan yang apabila dipadukan oleh seorang hamba maka fitnah-fitnah tidak akan membahayakan dirinya, keempat hal itu adalah; keikhlasan kepada Allah semata dan beribadah kepada-Nya tanpa tercampuri syirik sedikit pun, rasa takut kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dan senantiasa mengingat/berzikir kepada-Nya.” (lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 8:512.)
Imam Tirmidzi rahimahullah (wafat 279 H) menuturkan di dalam Kitab Shifatul Qiyamah hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Tidaklah bergeser telapak kaki anak Adam pada hari kiamat dari sisi Rabbnya sampai dia ditanya tentang lima perkara : umurnya untuk apa dihabiskan, masa muda untuk apa dia gunakan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa, dan apa yang dia amalkan dengan ilmu yang sudah diketahuinya.” (HR. Tirmidzi no. 2416, disahihkan Al-Albani)
Alhamdulillah selesai disusun ulang di kampung halaman Sejati Pasar Sumberarum Moyudan Sleman. Malam 10 Muharram 1446 H.
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or id
Leave a Reply