Masih dalam pembahasan jenis gadai yang diperbolehkan. Secara khusus masih membahas tentang jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk menggadaikan suatu barang.
Gadai dalam bentuk barang yang sudah digadaikan
Gadai pada suatu barang bisa dalam bentuk utuh pada suatu barang, bisa juga sebagiannya. Berikut ini penjelasan tentang keadaan suatu barang yang sudah digadaikan kepada orang lain, kemudian digadaikan lagi.
Untuk keadaan seperti ini, berlaku hukum Rahnul Musya’ (menggadaikan barang yang kepemilikannya berserikat dengan orang lain) sebagaimana pembahasan yang telah berlalu. Jumhur ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah memperbolehkan jenis keadaan gadai seperti ini.
Mereka berpendapat, jika digadaikan sebagian dari suatu barang untuk berutang, maka boleh sebagian sisanya digadaikan lagi. Baik untuk jenis utang yang sama atau utang yang lain, baik untuk pemberi utang yang sama atau yang lain.
Gambaran sederhananya, Abdullah memiliki rumah yang setengahnya digadaikan kepada Ali. Kemudian Abdullah menggadaikan yang setengahnya lagi kepada Umar. Maka, hal ini diperbolehkan. Atau Abdullah menggadaikan setengah rumahnya kepada Ali, setelah satu bulan Abdullah kembali ingin berutang lagi dengan Ali. Ia gadaikanlah setengah rumahnya kepada Ali lagi. Ini pun juga diperbolehkan.
Akan tetapi, jika gadai tersebut terjadi dengan pihak yang lain (bukan pemberi utang yang pertama), maka harus ada keridaan dari pihak kedua (pemberi utang kedua) atas pembagian barang gadaian tersebut dengan pihak pertama atau bisa juga diadakan kesepakatan baru antara tiga pihak, yaitu, pengutang, pemberi utang pertama, dan pemberi utang kedua. Kesepakatan untuk meletakkan barang gadaian tersebut di tangan orang yang paling adil antara mereka (pemberi utang pertama atau kedua).
Adapun Hanafiyah yang sejak awal tidak membolehkan Rahnul Musya’. Maka, tidak tergambar oleh para ulama dari kalangan Hanafiyah jenis keadaan gadai seperti ini.
Masih dalam bentuk jenis gadai ini, namun sedikit berbeda keadaannya. Yaitu, jika ada suatu barang yang sudah digadaikan secara utuh kemudian digadaikan lagi. Bagaimana hukumnya?
Hal ini berbeda keadaannya dengan kondisi di atas. Yang di atas adalah menggadaikan setengah dari kepemilikannya kemudian setengahnya lagi digadaikan. Adapun yang ini adalah dengan menggadaikan barang yang sudah digadaikan kepada orang lain secara utuh.
Para ulama berbeda pendapat akan hal ini. Para ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah tidak memperbolehkan gadai yang seperti ini. Karena pada barang tersebut terdapat hak murtahin (pemberi utang). Maka, orang yang selainnya tidak berhak untuk mengambil hak tersebut. Akan tetapi, jika murtahin memperbolehkan barang tersebut digadaikan oleh rahin (pengutang) kepada orang yang berbeda, maka hal itu sah hukumnya. Namun, akad yang pertama terbatalkan.
Adapun pendapat dari ulama Malikiyyah diperbolehkan menggadaikan barang yang sudah digadaikan secara utuh. Dengan syarat, nilai barang yang akan digadaikan itu lebih tinggi dibandingkan nominal utang.
Maka, hal ini sama saja dengan menggadaikan barang yang baru dari barang yang sudah digadaikan secara utuh. Mengingat terdapat tambahan nominal yang lebih dari utang tersebut. Dari hal ini, jadilah utang yang kedua diambil dari lebihnya nominal barang gadaian tersebut. Jika barang itu dijual, maka hasilnya dapat melunasi utang yang pertama. Sisa hasil dari penjualan barang tersebut untuk utang yang kedua.
Gambaran sederhananya, Abdullah ingin berutang kepada Ali dengan nominal 200 juta rupiah. Kemudian Abdullah menggadaikan rumahnya yang seharga 500 juta rupiah. Terlihat pada kasus ini, terdapat nominal lebih, yaitu 300 juta rupiah. Maka, 300 juta rupiah ini ibarat nominal baru yang bisa untuk digadaikan lagi kepada orang lain. Demikianlah pendapat dari para ulama Malikiyyah.
Terdapat permasalahan, bagaimana jika murtahin ingin menggadaikan barang yang digadaikan kepadanya tanpa izin dari rahin (pengutang/pemilik barang)? Maka, hal ini tidak diperbolehkan dan tidak sah akad gadai tersebut. Jika sudah terjadi akadnya, maka akadnya batal dan dikembalikan barangnya.
Gadai dalam bentuk barang yang cepat lenyap
Menurut para ulama dari kalangan Hanabilah, boleh menggadaikan barang yang cepat lenyap, contohnya adalah buah-buahan. Baik berupa buah-buahan yang ada kemungkinan untuk bisa diselamatkan dengan dijemur, seperti anggur dan kurma; maupun buah-buahan yang tidak mungkin bisa diselamatkan seperti semangka.
Jika dalam bentuk barang yang bisa diselamatkan dengan cara dijemur, maka rahin (pengutang) harus menjemurnya. Kalau tidak bisa dijemur, maka barang tersebut dijual untuk melunasi utangnya atau bisa juga diselesaikan utangnya sebelum barang tersebut lenyap atau rusak. Kalau tidak bisa diselesaikan sebelum barang tersebut rusak, maka harga atau nominal dari barang tersebut bisa dikonversikan untuk menjadi suatu nominal yang bisa digadaikan.
Gadai dalam bentuk saripati buah-buahan
Ini pun di antara yang boleh untuk digadaikan. Karena ini termasuk komoditi atau barang yang boleh untuk diperjualbelikan. Terlepas jika nanti saripati buah ini berubah jadi khamr, maka tidak menafikan keabsahan gadainya pada awal akad. Jika saripati buah tersebut di kemudian hari menjadi khamr setelah terjadinya akad, maka wajib untuk ditumpahkan karena keadaannya yang sudah berubah dan akadnya pun terbatalkan.
Inilah di antara jenis-jenis keadaan yang diperbolehkan untuk melakukan transaksi gadai. Untuk selanjutnya, pembahasan akan berpindah kepada jenis-jenis gadai yang tidak diperbolehkan.
Semoga bermanfaat, Wallahul Muwaffiq.
[Bersambung]
***
Depok, 16 Safar 1446 / 19 Agustus 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel: Muslim.or.id
Referensi:
Diringkas dari kitab Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhailiy.
Dan referensi lainnya.
Leave a Reply