Pada pembahasan sebelumnya, telah kita bahas bersama mengenai hukum dan konskuensi dari akad-akad yang sah dan dibenarkan oleh syariat, baik itu berupa akad nafidz maupun akad mauquf. Pada pembahasan kali ini, insyaAllah akan kita bahas lebih lanjut mengenai hukum dan konsekuensi dari akad-akad yang tidak sah dan tidak dibenarkan oleh syariat.
Akad yang tidak sah menurut syariat adalah akad yang rukun-rukun, syarat-syarat, dan sifat-sifatnya bermasalah atau ada kecacatan di dalamnya, baik itu karena salah satu pihak dalam akad bukanlah orang yang memiliki wewenang untuk melakukan akad, atau objek akadnya tidak memiliki kapasitas untuk menerima konskuensi akad, atau karena adanya cacat pada shighah (kata-kata pengikat) akad, atau karena sebab lainnya.
Contohnya adalah akad yang terucap dari orang gila, orang yang kurang akalnya, atau dari seorang anak yang belum tamyiz (belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk). Akad mereka tidak sah karena mereka semua tidak memiliki kapasitas untuk melakukan akad. Contoh lainnya adalah menjual bangkai atau menjadikannya sebagai nilai tukar. Tentu saja ini tidaklah dibenarkan dan tidak sah, karena bangkai bukanlah objek barang sama sekali, sehingga tidak pantas untuk dijual dan tidak pantas juga dijadikan sebagai nilai tukar.
Contoh lainnya adalah seorang muslim yang menjual minuman keras atau menjual suatu fasilitas umum, seperti masjid dan jalan, maka kedua hal ini tidaklah dibenarkan.
Adapun contoh adanya cacat pada sifat dan tata cara jual belinya, maka seperti jual beli yang hanya terbatas dalam jangka waktu tertentu (setelahnya, kepemilikan barang kembali ke tangan penjual), atau seorang muslim yang menjual suatu barang dan menerima nilai jualnya dalam bentuk minuman keras, atau menjual barang yang tidak diketahui sifatnya dan deskripsinya secara pasti di mana hal ini dapat menimbulkan perselisihan di kemudian hari serta menimbulkan adanya gharar (ketidakjelasan dan kerugian) dalam jual beli tersebut.
Macam-macam akad yang tidak sah
Jumhur (mayoritas) ahli fikih selain dari mazhab Hanafi menganggap bahwa akad yang tidak sah dan tidak dibenarkan oleh syariat hanya ada satu macam saja, yaitu “Akad Batil”. Di mana pengertiannya adalah akad yang tidak memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat serta tidak nampak dampak hukum syariatnya, yaitu berpindahnya hak milik barang yang dijual kepada pembeli dan nilai barang kepada penjual, baik karena adanya cacat pada rukun, syarat, ataupun sifatnya (proses akadnya). Akad ini tidaklah sah dan tidak terlaksana, dan tidak ada perbedaan antara penyebutannya dengan “Akad Fasid (rusak)” atau “Akad Batil (tidak sah).”
Sedangkan mazhab Hanafi sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Bada’i’u As-Shana’i’ (5: 303), mereka berpendapat bahwa akad yang tidak sah terbagi menjadi dua macam, yaitu akad batil dan akad fasid. Kriteria dan ciri-ciri yang membedakan keduanya adalah bahwa akad batil tidak sah karena adanya suatu sebab pada unsur asli akadnya. Sedangkan akad fasid, maka ia menjadi tidak sah karena adanya suatu sebab dan alasan pada sifatnya (tata cara akadnya).
Macam-macam akad yang tidak sah menurut mazhab Hanafi
Berikut adalah penjelasan dan pengertian masing-masing akad yang tidak sah menurut mazhab Hanafi:
Pertama: Akad Batil
Yaitu, akad yang tidak disyariatkan baik pada unsur asli akadnya ataupun sifatnya (tata caranya). Seperti akad yang hilang beberapa rukunnya. Contohnya adalah akad yang dilakukan oleh orang gila atau anak-anak yang belum tamyiz, atau objek yang diakadkan tidak diperbolehkan dan dilarang, seperti menjual bangkai hewan, menikahi mahram, dan contoh-contoh lainnya. Akad-akad semacam ini tidak disyariatkan, bahkan Allah Ta’ala sama sekali tidak menganggapnya. Akad-akad semacam ini sama sekali tidak menimbulkan dan mendatangkan efek/konsekuensi apa pun.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Kasani rahimahullah,
البَيعُ البَاطِل كُلُّ بَيعٍ فَاتَه شَرطٌ مِن شُرُوطِ الانعقاد، ولا حُكم لهذا البيع أصلاً؛ لأن الحكم لِلمَوجُودِ، ولا وجودَ لهذا البيع إلا من حيث الصورة
“Jual beli yang batil adalah semua jenis jual beli yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya akad. Dan pada asalnya, jual beli tersebut tidak memiliki hukum sama sekali. Karena pemberian dan kepemilikan hukum hanya diperuntukkan untuk sesuatu yang ada saja, sedangkan jual beli seperti ini sejatinya tidaklah ada, melainkan hanyalah perumpamaan saja”. (Bada’i’u As-Shana’i’, 5: 303)
Kedua: Akad Fasid
Yaitu, akad yang sifat atau tata caranya tidak disyariatkan, namun akad semacam ini ada dan dapat terwujud, dikarenakan rukun-rukunnya terpenuhi dan maknanya dapat diwujudkan. Hanya saja, tata cara pelaksanaannya mengandung sesuatu yang dilarang oleh syariat, seperti: membatasi penjualan berdasarkan batas waktu tertentu atau alat tukar jualnya dengan harta/uang yang tidak sah secara syariat atau hukum, atau harga sebuah barang yang benar-benar tidak jelas nilainya, atau akad yang mengarah pada munculnya gharar.
Pada kondisi semacam ini, akad-akad tersebut sangatlah menyerupai akad yang dibenarkan jika ditinjau dari adanya rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya, namun serupa juga dengan jual beli yang batil (tidak sah) jika ditinjau dari adanya ciri-ciri yang dilarang oleh syariat padanya. Karena dua kemiripan dan keserupaan inilah, akad fasid posisinya berada di antara dua posisi tersebut.
Menurut mazhab Hanafi, akad fasid (rusak) itu sah dan dianggap, serta berbentuk, hanya saja syariat tidak menyetujuinya, bahkan membencinya serta memerintahkan untuk membatalkannya jika belum terjadi sesuatu di tempat akad yang menghalangi pembatalan. Seperti jika akad telah terjadi kemudian pembeli melakukan sesuatu pada barang yang diakadkan, baik itu dengan menjualnya kembali, mengubahnya, atau menghilangkan sesuatu darinya atau menghabiskannya. Seperti seseorang yang membeli rumah, lalu ia membongkar rumah yang dibelinya tersebut untuk kemudian dia bangun rumah lainnya di atasnya. (Tabyin Al-Haqa’iq, karya Az-Zaila’i, 3: 113)
Akad fasid (yang rusak) menurut mazhab Hanafi memiliki beberapa dampak dan akibat. Dalam jual beli “fasid” (yang rusak) misalnya, kepemilikan harta menjadi milik pembeli jika serah terima harta yang diperjualbelikan tersebut dengan seizin penjual, baik secara tersurat maupun tersirat.
Penutup
Meskipun mazhab Hanafi membedakan antara akad yang “batil” (tidak sah) dan akad yang “fasid” (rusak) dalam berbagai jenis akad serta memberikan rincian hukum berbeda pada setiap jenis akadnya, namun dalam hal akad nikah, mereka tidak membedakan antara akad yang “batil” dan akad yang “fasid”, sehingga tercapai semua pelarangan dari akad yang “batil” dan “fasid” dalam akad nikah.
Alasan lainnya karena akad pernikahan merupakan bentuk ketakwaan dan ibadah kepada Allah Ta’ala, maka tidak mungkin di dalamnya ada hukum yang fasid maupun batil, bahkan dalam perkara nikah, hukum yang fasid naik hingga derajat batil. Berdasarkan hal ini, akad nikah yang fasid (yang rusak) sama dengan yang batil (tidak sah).
Al-Kasani rahimahullah berkata,
النِّكَاحُ الفِاسِد لَيسَ بِنِكَاحٍ حَقِيقَة
“Pernikahan yang fasid (rusak) bukanlah pernikahan sungguhan.” (Bada’i’u As-Shana’i’, 5: 303)
Wallahu A’lam bis-shawab.
[Selesai]
Kembali ke bagian 19 Daftar Isi
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel: Muslim.or.id
Leave a Reply