Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa hubungan kemahraman yang terbentuk melalui ikatan persusuan. Hukum mahram ini memiliki implikasi penting dalam kehidupan seorang muslim, terutama dalam hal pernikahan dan pergaulan sehari-hari. Berikut ini artikel tentang hukum-hukum terkait dengan persusuan yang menyebabkan mahram dan hal-hal penting tentang saudara sepersusuan. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua.
Pengertian saudara sepersusuan
Secara ringkas, saudara sepersusuan adalah orang yang menyusu dari ibu yang sama. Syekh Muhammad Thanthawiy rahimahullah menyebutkan dalam kitab At-Tafsirul Wasith,
والأخت من الرضاع: هي التي التقيت أنت وهي على ثدي واحد
“Saudara perempuan sepersusuan adalah perempuan yang menyusu dari ibu yang sama denganmu.” [1]
Secara lebih rinci lagi, Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan ketika menafsirkan potongan ayat,
وَأَخَواتُكُمْ مِنَ الرَّضاعَةِ
“Dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan“; beliau mengatakan, “Mereka adalah:
(1) saudara perempuan seayah dan seibu (kandung), yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) ayahmu, baik dia disusui bersamamu, lahir sebelum, atau setelahmu;
(2) saudara perempuan seayah, namun tidak seibu, yaitu perempuan yang disusui oleh istri ayahmu (yaitu, susunya merupakan hasil jima’ dengan ayahmu); dan
(3) saudara perempuan seibu, namun tidak seayah, yaitu perempuan yang disusui oleh ibumu dengan susu dari (hasil jima’ dengan) pria lain.” [2]
Rukun dan syarat penyusuan yang mengharamkan
Persusuan yang menjadikan kemahraman memiliki tiga rukun, di mana masing-masing rukun memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Apabila ada salah satu saja dari syarat, apalagi rukun itu tidak terpenuhi, maka hukum kemahraman tidak terjadi. Rukun dan syarat tersebut adalah sebagai berikut [3]:
Pertama: Orang yang menyusui (Al-Murdhi’ah)
Syarat bagi orang yang menyusui, di mana susunya menyebabkan kemahraman, adalah sebagai berikut:
Pertama: Orang tersebut haruslah seorang perempuan, karena pengharaman tidak berlaku dengan susu seorang pria karena kelangkaannya dan ketidakcocokannya sebagai nutrisi untuk anak, serta tidak berlaku juga dengan susu hewan.
Kedua: Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan bahwa wanita tersebut harus berpotensi melahirkan, yaitu dengan mencapai usia haid, yang umumnya adalah sembilan tahun. Jadi, jika muncul susu pada perempuan yang belum mencapai sembilan tahun, maka susu tersebut tidak menyebabkan pengharaman, berbeda dengan wanita yang telah mencapai usia tersebut.
Kedua: Susu
Syarat yang berkaitan susu, adalah sebagai berikut:
Pertama: Susu tersebut harus masuk ke dalam perut anak melalui isapan dari payudara, atau melalui tenggorokan, atau dengan cara memasukkan melalui hidung, baik susu tersebut murni atau dicampur dengan cairan lain yang tidak menghilangkan karakteristik susu (yakni, jika susu masih dominan). Jika susu tersebut kalah dominan, maka ulama berbeda pendapat mengenai apakah pengharaman tetap berlaku.
Kedua: Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lima kali penyusuan atau lebih dapat menyebabkan pengharaman. Mereka berbeda pendapat tentang jumlah yang kurang dari itu.
Syafi’iyah dan Hanabilah (dalam pendapat yang sahih menurut mereka), menyatakan bahwa jumlah penyusuan kurang dari lima kali tidak mempengaruhi pengharaman. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Zubair radhiyallahu ‘anhum, serta dipegang oleh Atha’ dan Thawus rahimahumallah.
Mereka mendasarkan pendapat ini pada apa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata,
كانَ فِيما أُنْزِلَ مِنَ القُرْآنِ: عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ بخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ وَهُنَّ فِيما يُقْرَأُ مِنَ القُرْآنِ
“Di antara apa yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: sepuluh kali menyusui yang diketahui dapat mengharamkan (pernikahan), kemudian di-nasakh (dihapus) dengan lima kali menyusui yang diketahui, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan ayat-ayat tersebut masih dibaca dari Al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 1452)
Ketiga: Disyaratkan pula bahwa penyusuan tersebut harus terpisah, menurut mereka yang mensyaratkan jumlah penyusuan. Adapun standar jumlah dan pemisahan didasarkan pada kebiasaan (adat kebiasaan setempat) karena tidak ada ketentuan pasti dalam bahasa maupun syariat.
Ketiga: Anak yang Disusui (Ar-Radhi’)
Terkait dengan anak yang disusui, maka para ulama mensyaratkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama: Susu harus sampai ke lambungnya (seperti yang dijelaskan dalam syarat susu di atas).
Kedua: Bayi tidak boleh mencapai usia dua tahun.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa menyusui anak yang masih di bawah dua tahun mempengaruhi hukum pengharaman (pernikahan). Jumhur ulama berpendapat bahwasanya masa menyusui yang mempengaruhi pengharaman hanyalah yang kurang dari dua tahun, sehingga tidak mengharamkan setelah dua tahun. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan masa menyusui.”
Mereka berkata, “Allah telah menetapkan dua tahun penuh sebagai masa menyusui yang lengkap, dan tidak ada yang melebihi masa tersebut.”
Selain itu, mereka juga berdalil dengan hadis dari Ummu Salamah yang diriwayatkan secara marfu‘ (dari Rasulullah),
لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ، وَكَانَ قَبْلَ الفِطَامِ
“Tidak ada pengharaman dari menyusui kecuali apa yang mempengaruhi perut (menjadi daging), di payudara (yaitu, selama masa menyusui) dan dilakukan sebelum penyapihan.” (HR. Tirmidzi no. 1152, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah) [4]
Konsekuensi saudara persusuan
Menyusui menimbulkan beberapa hukum terkait nasab, yaitu:
Pertama: Pengharaman pernikahan
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Pengharaman karena menyusui adalah sebagaimana pengharaman karena nasab.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua: Keabsahan mahram
Keabsahan mahram, yaitu yang memungkinkan untuk: 1) melihat (aurat yang biasa terlihat oleh mahram, seperti kepala, kedua tangan, dan kedua kaki), 2) berdua-duaan (khalwah), dan 3) tidak batalnya wudu dengan bersentuhan (bagi sebagian ulama yang berpendapat batalnya wudu karena bersentuhan dengan wanita asing atau yang bukan mahram).
Sedangkan untuk hukum-hukum nasab lainnya seperti warisan, nafkah, pembebasan budak, penghapusan hukuman qisas, tidak adanya hukuman potong tangan untuk pencurian, tidak adanya penahanan untuk utang anak, dan hak penguasaan atas harta atau jiwa, tidak berlaku untuk persusuan, dan ini merupakan kesepakatan di antara para ulama. [5]
Konsekuensi persusuan terhadap penularan sifat
Sebagai penutup pembahasan terkait dengan persusuan, terdapat pekara yang hendaknya diperhatikan, yaitu bahwasanya persusuan memiliki dampak terhadap penularan sifat dari yang menyusui ke yang disusui. Menyusui dapat menularkan sifat kepada bayi. Misalnya, menyusui dari wanita yang baik bisa menularkan kebaikan tersebut kepada anak, sedangkan sebaliknya, menyusui dari wanita yang buruk bisa menularkan keburukan.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallah ‘anhuma mengatakan,
اللَّبَنُ يُشْبِهُ ، فلا تَسْقِ من يَهُودِيّةٍ ولا نَصْرانِيَّةٍ ولا زَانِيَةٍ …
‘Susu itu menyerupai (sifat), jadi jangan menyusui dari wanita Yahudi, Nasrani, atau pezina …’ ”
Hal ini karena susu dari wanita yang tidak baik bisa membuat anak mirip dengan ibu (persusuan) dalam hal keburukan, dan menjadikannya sebagai ibu yang membawa stigma dan kerugian baik secara alami maupun sosial. Menyusui dari wanita musyrik menjadikannya sebagai ibu yang memiliki status mahram, meskipun dia musyrik, dan bisa menyebabkan anak tersebut condong kepada agama ibu tersebut. Menyusui dari wanita yang bodoh juga tidak dianjurkan agar anak tidak mirip dengan ibu dalam kebodohan. Dikatakan bahwa menyusui dapat mengubah sifat-sifat. Wallahu ‘alam. [6]
Demikian, semoga selawat dan salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad, keluarga, dan pengikut beliau.
***
10 Safar 1446, Rumdin Ponpes Ibnu Abbas Assalafy Sragen
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel: Muslim.or.id
Referensi Utama:
Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah
Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, oleh Al-Qurthubi
At-Tafsir Al-Wasith, oleh Muhammad Sayyid Thanthawi
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait)
Catatan kaki:
[1] At-Tafsir Al-Wasith, 3: 104.
[2] Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 5: 112.
[3] Diringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241-247.
[4]
[5] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22: 241.
[6] Al-Mughni, 11: 346.
Leave a Reply