Penutup dan Poin-Poin Penting dalam Fikih Wakaf

Penutup dan Poin-Poin Penting dalam Fikih Wakaf

Saudaraku sekalian, wakaf adalah salah satu amal ibadah harta yang paling mulia karena pahalanya akan terus mengalir kepada kita, meskipun diri kita telah meninggal dunia. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له

“Jika manusia itu mati, maka akan terputus amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631)

Saat menjelaskan hadis tersebut, para ulama menyebutkan bahwa maksud “sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir” cenderung mengarah pada masalah wakaf. Karena benda yang diwakafkan akan langgeng dan utuh dalam jangka waktu yang lama. Sehingga berpeluang besar dimanfaatkan dalam waktu yang lama.

Oleh karena itu, wahai saudaraku sekalian, setelah mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wakaf pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu, marilah bersama-sama berlomba-lomba untuk mengamalkan wakaf ini dengan apa pun yang kita mampu, baik itu dengan ikut berdonasi membebaskan lahan yang akan digunakan untuk kebutuhan masyarakat atau ikut andil dalam pembangunan sebuah pondok atau lembaga yang manfaatnya dirasakan oleh kaum muslimin ataupun bentuk-bentuk wakaf lainnya yang bisa kita amalkan.

Saat dalam kondisi susah dan sempit sekalipun, jika ada kesempatan untuk bisa melaksanakan wakaf, maka lakukanlah! Ingatlah selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Ketika hamba berada di suatu pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah pada keluarga).’ Malaikat yang lain berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).’” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010)

Harta yang kita keluarkan di jalan Allah sejatinya tidak akan berkurang.

Saudaraku sekalian, berikut ini adalah ringkasan poin-poin penting terkait fikih wakaf yang harus kita ketahui dan kita perhatikan sehingga wakaf yang kita laksanakan sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tepat sasaran, dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang.

Mencatat dan mendokumentasikan harta wakaf hukumnya wajib seperti halnya melakukan setiap akad

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Agar sebuah wakaf dinilai sah dan diterima, maka harus memenuhi rukun-rukun wakaf berikut ini:

Pertama, adanya orang yang berwakaf (Al-Waqif).

Kedua, benda milik Al-Waqif yang diwakafkan (Al-Mauquf).

Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (Al-Mauquf ‘Alaihi). Baik itu perseorangan (pribadi) atau kelompok dan lembaga berwenang tertentu.

Keempat, lafaz atau ikrar wakaf (Sighah). Akad wakaf berubah menjadi lazim dan wajib dilaksanakan setelah adanya ikrar wakaf. Baik itu dilakukan secara eksplisit maupun implisit.

Contohnya adalah seseorang yang membangun masjid, lalu mengizinkan masyarakat umum untuk melaksanakan salat di dalamnya.

Wakaf juga harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:

Pertama, wakaf berasal dari seseorang yang diperbolehkan untuk melangsungkan transaksi. Yaitu, mereka yang sudah mukallaf (berakal dan sudah dibebani kewajiban syariat) dan mereka yang rasyid (mampu bertindak secara hukum). Sehingga tidak sah wakaf anak kecil yang belum bisa mengatur keuangannya, orang yang dungu, ataupun seseorang yang kurang akalnya. Sebagaimana tidak sah juga transaksi harta lainnya yang mereka lakukan.

Kedua, wakaf harus berupa harta benda yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan oleh syariat, dapat digunakan dan dimanfaatkan sedangkan wujud asli benda tersebut tetap utuh. Seperti: bangunan, hewan, perabotan, senjata, dan yang sejenisnya.

Ketiga, wakaf dilakukan dan diperuntukkan untuk kebaikan. Seperti: (wakaf untuk) fakir miskin, masjid, atau untuk kerabat.

Keempat, penerima wakaf jelas dan sudah ditentukan. Tidak sah apabila wakaf ditujukan pada seseorang yang tidak diketahui siapanya, seperti ucapan seseorang, “Aku wakafkan hartaku untuk seorang laki-laki.”

Kelima, hendaknya ia lepaskan hartanya secara kontan dan sempurna (tanpa diikat dengan syarat tertentu). Hanya saja, apabila diikat dengan kematian waqif, maka ini termasuk wasiat yang diperbolehkan. Seperti: ucapan seseorang, “Jika aku meninggal dunia, maka seperlima hartaku menjadi wakaf di jalan Allah.” Ini termasuk syarat yang diperbolehkan di dalam masalah wakaf.

Siapakah pemilik harta wakaf setelah diwakafkan?

Mazhab Maliki berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf tetap berada pada waqif (pewakaf), hanya saja sifatnya terikat (waqif tidak memiliki hak untuk mengatur-atur harta tersebut).

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kepemilikan harta benda wakaf berpindah menjadi milik mauquf ‘alaihi (yang diberi wakaf).

Mazhab Syafi’i dan pendapat Mazhab Hanafi berpendapat bahwa harta yang diwakafkan, maka kepemilikannya telah berpindah dari milik waqif menjadi milik Allah Ta’ala.

Pendapat yang paling kuat (rajih) adalah pendapat yang menyatakan bahwa kepemilikan harta wakaf berpindah kepada Allah Ta’ala. Karena mewakafkan harta mengharuskan keluarnya harta tersebut dari kepemilikan waqif. Dan tidak mungkin memindahkannya langsung ke dalam kepemilikan yang lainnya (mauquf ‘alaihi) karena mauquf ‘alaihi hanya berhak atas hasilnya.

Seseorang yang telah mengeluarkan hartanya untuk diwakafkan, maka tujuannya adalah mengharap rida Allah Ta’ala, sehingga kepemilikan harta benda wakaf tersebut berubah menjadi milik Allah. Wallahu A’lam bisshawab

Dan belum ada ketentuan yang tegas dalam peraturan perundang-undangan negara kita yang mengatur tentang siapa pemilik harta benda wakaf, milik Allah, milik waqif, atau milik mauquf ‘alaihi. (Lihat buku “Wakaf Kontemporer” karya Dr. Fahruroji, Lc., MA.)

Para ulama berbeda pendapat perihal bolehnya wakaf sementara atau tidak

Mayoritas (jumhur) ulama fikih berpendapat bahwa wakaf harus selamanya. Imam Malik berpendapat bahwa wakaf sementara hukumnya sah, apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya.

Dan pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah hukum asal wakaf adalah abadi dan selamanya. Hanya saja, diperbolehkan untuk menjadikan wakaf sebagai wakaf sementara apabila pihak waqif menyebutkan dengan jelas batas waktunya. Wallahu A’lam bisshawab. (Lihat Fikih Muyassar, 6: 245)

Sistem Undang-Undang di negeri kita (Indonesia) mengambil pendapat bolehnya wakaf sementara, terkhusus pada objek harta benda bergerak, seperti uang. Adapun harta benda tidak bergerak, seperti tanah bersertifikat hak milik dan tanah negara yang di atasnya berdiri bangunan masjid, musala, atau makam, maka harus diwakafkan selamanya atau untuk jangka waktu tidak terbatas.

Para ulama juga berbeda pendapat terkait bolehnya wakaf dalam bentuk uang atau tidak

Mazhab Hanafi, pendapat yang masyhur dalam Mazhab Hanbali, sebagian ulama Maliki, dan pendapat yang lebih tepat dalam Mazhab Syafi’iyah mengatakan bahwa wakaf uang tidaklah sah.

Mazhab Maliki, pendapat kedua Mazhab Syafi’iyyah, dan Mazhab Hanabilah mengatakan bahwa wakaf uang hukumnya sah. Inilah yang lebih banyak dikuatkan (dirajihkan) oleh para ulama. Salah satunya oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu A’lam bisshawab.

Wakaf boleh dikhususkan dan diperuntukkan untuk keluarga sendiri

Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan khusus dari sedekah yang kita berikan untuk keluarga sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الصَّدقةُ على المسْكينِ صدقةٌ، وعلى ذي القرابةِ اثنتان: صدقةٌ وصلةٌ

“Sedekah kepada orang miskin pahalanya satu sedekah. Sedangkan sedekah kepada kerabat, pahalanya dua: pahala sedekah dan pahala menjalin hubungan kekerabatan.” (HR. Tirmidzi no. 658, An-Nasa’i no. 2582, dan Ibnu Majah no. 1844.)

Wakaf produktif sangat dianjurkan dalam Islam

Hal itu karena Islam sangat menjunjung kemaslahatan dan dengan adanya wakaf produktif, maka akan menjadikan manfaat sebuah wakaf menjadi lebih luas jangkauannya.

Wakaf produktif memiliki beberapa syarat:

Pertama, menjaga amanah dengan hati-hati dan penuh antisipasi di dalam melaksanakannya. Serta mencari dan mempersiapkan jaminan-jaminan yang diperbolehkan oleh syariat.

Kedua, memanfaatkan cara-cara terbaru dan efisien serta komponen-komponen yang mengikuti perkembangan zaman. Serta menyerahkannya kepada orang-orang yang kompeten di bidangnya agar tidak mencelakai dan membahayakan amanah ini.

Ketiga, merencanakan dengan matang dan pengawasan yang menyeluruh dalam prosesnya.

Keempat, memperhatikan fikih prioritas serta tingkatan-tingkatan konsekuensi dalam berbagai bentuk pengembangan dan pengelolaan harta wakaf yang akan dilakukan serta membatasi muamalah dan kerjasama hanya pada bank-bank syariah serta perusahaan-perusahaan terpercaya yang jauh dari praktik riba.

Itulah beberapa poin penting dalam fikih wakaf yang harus kita ketahui sebelum mengamalkan syariat wakaf ini. Semoga kita termasuk hamba Allah Ta’ala yang dimudahkan untuk melakukan kebaikan dan mendapatkan pahala serta ganti dari harta yang telah kita keluarkan. Amin, ya Rabbal ‘alamin.

[Selesai]

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Artikel: Muslim.or.id

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from Al-Qur'an Application

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading