Kekuasaan adalah kenikmatan yang menghancurkan seseorang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan para sahabat beliau, tentang berbahayanya perkara ini, dan bahwa terlena dengan kekuasaan itu bisa menghancurkan seorang hamba. Ketika ada seorang sahabat yang minta jabatan, atau minta diberi suatu kedudukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR. Muslim no. 1825)
Cinta kepada jabatan dan kekuasaan ini akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kapankah itu? Yaitu, ketika amanah kepemimpinan itu dikhianati dan ketika hak-hak rakyat disia-siakan oleh penguasa. Pada saat itu, kekuasaan di dunia akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat.
Demikian pula, dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan kerusakan akibat kekuasaan pada agama seseorang,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kemuliaan.” (HR. Tirmidzi no. 2376; Ahmad, 25: 82; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Apabila ada serigala lapar yang dilepas menuju seekor kambing, tentu kambing tersebut akan tercabik-cabik. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam gambarkan bahwa kerusakan pada kambing itu masih jauh lebih ringan dibandingkan rusaknya agama seseorang karena ambisi kekuasaan.
Meskipun demikian, jabatan dan kepemimpinan adalah sesuatu yang menggiurkan di mata manusia, sehingga tidak sedikit yang memintanya ketika hidup di dunia. Padahal, kerusakan pada agama seseorang akibat ambisi kekuasaan itu lebih parah daripada kerusakan dua ekor serigala lapar yang dilepas ke kawanan kambing.
Ini memang suatu hal yang wajar, karena fitrah manusia memang memiliki karakter ingin dihormati, ingin dimuliakan, ingin mendapatkan fasilitas kemudahan, kemewahan, pengawalan, pelayanan, yang semua itu didapatkan ketika seseorang memiliki kekuasaan. Sehingga wajarlah jika banyak yang memperebutkannya. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَتِ الْمُرْضِعَةُ، وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan, padahal ia akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat. (Kekuasaan) adalah sebaik-baiknya ibu saat menyusu, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih.” (HR. An-Nasa’i no. 5385, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Renungkanlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat perumpamaan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu bagaikan sebaik-baik ibu ketika menyusui, namun sejahat-jahatnya ibu ketika menyapih. Seseorang ketika sedang berkuasa, seakan-akan anak bayi yang disusui oleh ibu yang paling baik ketika menyusui. Anak bayi itu tentu akan merasa senang, nikmat, kenyang, dan bisa tidur pulas. Namun, ketika kekuasaan itu berahir, kekuasaan itu bagaikan sejahat-jahat ibu ketika menyapih, sang bayi tidak siap, lalu bayi itu pun menangis, menjerit, dan tampak menderita karena tiba-tiba tidak mendapatkan ASI dari ibunya dengan cara menyapih yang paling buruk.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat orang zuhud dalam sesuatu, yang paling sedikit orang melakukan ini seperti zuhud dalam kepemimpinan.”
Benarlah kata Sufyan Ats-Tsauri, kadang kita melihat orang mudah untuk zuhud dalam masalah makanan, minuman, atau pakaian, namun untuk urusan kekuasaan, dia siap perang untuk mendapatkannya. Sampai-sampai ada kondisi yang disebut dengan post power syndrome. Yaitu seseorang yang terguncang ketika suatu saat dia harus turun dari jabatan, pekerjaan, dan kekuasaannya, melepaskan segala fasilitas kemudahan yang selama ini dia peroleh.
Pada saatnya, kekuasaan itu akan berakhir
Ketika mendapatkan kekuasaan, seseorang akan bergembira, sebagaimana dia gembira ketika mendapatkan harta, membeli rumah, mendapatkan untung dari perdagangan. Namun, jangan lupa, kekuasaan itu tidak akan selamanya, pasti suatu saat akan berakhir. Itu adalah pasti. Allah telah membuat suatu permisalan tentang nikmat dunia,
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيماً تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِراً
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45)
Permisalan kehidupan dunia itu seperti air hujan yang kita tunggu turunnya dari langit, kemudian menumbuhkan tumbuh-tumbuhan menjadi hijau, membuat hati gembira, menyenangkan pandangan kita, namun tiba-tiba dia kering lagi diterbangkan oleh angin. Lenyap seketika, kering kerontang. Itulah permisalan kenikmatan dunia, yang mencakup kekuasaan di dalamnya. Rumah yang kita miliki, tidak akan kita tinggali selamanya. Jabatan dan kekuasaan yang kita genggam, sebentar lagi kita akan lepaskan. Dan itu pasti. Inilah hakikat kehidupan dunia yang hanya bersifat sementara. Yang kemarin memiliki kekuasaan, bisa jadi hari ini dipenjara.
Lalu, kenapa kita berlomba-lomba meraih sesuatu yang dia yakin akan dia tinggalkan? Di ayat lanjutannya, Allah Ta’ala berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia … “
Ya, karena kekuasaan itu adalah bagian dari perhiasaan dunia … tampak indah di pandangan mata.
Namun ingat, kekuasaan itu juga seperti harta dan anak-anak, yang suatu saat akan kita tinggalkan, sedangkan yang kekal adalah amal saleh seseorang, inilah yang abadi sampai di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman,
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
“ … akan tetapi, amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Jangankan kekuasaan, pakaian yang kita miliki pun akan hilang, karena kita akan menghadap Allah Ta’ala dalam kondisi tidak berpakaian menunggu hisab. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi renungan untuk kita semuanya.
***
@21 Shafar 1446/ 27 Agustus 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
Disarikan dari ceramah Ustad Dr. Syafiq Riza Basalamah hafizhahullah di tautan berikut ini: dan
Leave a Reply