Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan

Hukum Menetapkan Syarat Tertentu dalam Pernikahan

Teks Hadis

Diriwayatkan dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ

“Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (yaitu, syarat-syarat dalam pernikahan).” (HR. Bukhari no. 2721 dan Muslim no. 1418)

Kandungan Hadis

Kandungan pertama: pengertian “syarat” dalam akad

Yang dimaksud dengan “syarat” adalah kewajiban yang ditetapkan oleh salah satu pihak yang melakukan suatu akad atau perjanjian dengan pihak lain. Syarat tersebut hendaknya memiliki manfaat dan tujuan yang bisa dibenarkan. Syarat-syarat tersebut wajib untuk dipenuhi sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

المسلمون على شروطهم

“Kaum muslimin itu terikat dengan syarat-syarat mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3594, Ad-Daruquthni no. 2890. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

الأصل في العقود والشروط الجواز والصحة، ولا يحرم منها ويبطل، إلاَّ ما دلَّ الشرع على تحريمه وإبطاله، وأصول أحمد أكثرها تجري على هذا القول، ومالك قريب منه.

“Pada dasarnya, semua akad dan syarat adalah sah dan diperbolehkan, tidak dilarang atau batal, kecuali yang dilarang dan dibatalkan oleh syariat. Sebagian besar kaidah (pendapat) Imam Ahmad didasarkan pada prinsip ini, dan pendapat Imam Malik pun hampir sama.” (Al-Fataawa Al-Kubra, 4: 76)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

الضَّابِطُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ النَّصُّ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ خَالَفَ حُكْمَ اللَّهِ وَكِتَابَهُ، فَهُوَ بَاطِلٌ، مَا لَمْ يُخَالِفْهُ حُكْمُهُ فَهُوَ لَازِمٌ

“Prinsip (kaidah) syar’i yang ditunjukkan oleh nash syariat adalah bahwa setiap syarat yang bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala dan kitab-Nya, maka syarat tersebut batal. Adapun syarat yang tidak bertentangan (dengan hukum Allah) adalah wajib (ditunaikan).” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 302)

Kandungan kedua: syarat yang dianggap sah adalah yang ditetapkan sebelum akad atau pada saat akad

Para ulama fikih rahimamulllah mengatakan,

والمعتبر من الشروط ما كان في صلب العقد

“Syarat yang dianggap sah adalah yang termasuk (diucapkan atau ditetapkan) ketika akad.”

Demikian pula syarat yang ditetapkan dan disepakati sebelum akad itu dianggap sama dengan syarat yang dikemukakan pada saat akad. Hal ini disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,

إنه ظاهر المذهب، ومنصوص الإمام -رَحِمَهُ اللهُ-، وقول قدماء أصحابه ومحققي المتأخرين؛ لأن الأمر بالوفاء بالشروط والعقود والعهود يتناول ذلك تناولًا واحدًا

“Ini adalah pendapat yang jelas dalam mazhab (Hambali), dan merupakan pendapat yang dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullah, dan juga pendapat dari ulama terdahulu serta ulama kontemporer yang terkenal (dari madzhab Hambali). Sebab perintah untuk memenuhi syarat, akad, dan janji mencakup hal tersebut dengan cara yang sama.” (Majmu’ Al-Fataawa, 32: 108-166)

Dalam kitab Al-Inshaf disebutkan,

وهو الصواب الذي لا شكَّ فيه

“Ini adalah pendapat yang benar yang tidak diragukan lagi.”

Syekh Abdullah Alu Bassam hafizhahullah berkata,

وقطع به في الإقناع والمنتهى، فيكون هو المذهب

“Dan ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Iqna’ dan Al-Muntaha, maka ini adalah pendapat yang dipegang.” (Taudhiihul Ahkaam, 5: 290)

Jika syarat tersebut ditetapkan setelah akad dan akad tersebut sudah sah (terlaksana), maka menurut pendapat Imam Ahmad, syarat tersebut tidak wajib dipenuhi. Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

ويتوجه صحة الشرط فيه، بناءً على صحة الاستثناء منفصلًا بنيةٍ بعد اليمين

“Ada kemungkinan bahwa syarat tersebut sah, berdasarkan pendapat bahwa pengecualian yang terpisah dengan niat setelah sumpah adalah sah.” (Al-Inshaf, 8: 154)

Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini adalah pendapat yang lemah. Karena jika suatu akad itu sudah sempurna, maka konsekuensinya adalah halalnya kemaluan, jadilah wanita tersebut sebagai istrinya. Sehingga suami tidak lagi terikat dengan syarat apapun setelah itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257. Lihat Asy-Syuruth fin Nikaah, hal. 33 dan Asy-Syarh Al-Mumti’, 12: 163)

Kandungan ketiga: wajibnya memenuhi syarat dalam pernikahan

Hadis ini menunjukkan wajibnya memenuhi syarat-syarat dalam pernikahan seperti yang Allah Ta’ala firmankan,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Ma’idah: 1)

Jika syarat-syarat itu tidak dianggap, tentu kita tidak akan diperintahkan untuk memenuhinya.

Hadis ini merupakan bukti bahwa syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah yang dengannya seorang pria menghalalkan hubungan intim dengan seorang wanita. Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan syarat-syarat dalam pernikahan, menjaga untuk memenuhinya, dan tidak mengabaikan atau meremehkan syarat-syarat tersebut. Diketahui bahwa kaum muslimin harus mematuhi syarat-syarat dalam jual beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Namun, yang paling utama dan wajib dipenuhi adalah pernikahan, karena syarat-syarat ini berkaitan dengan halalnya hubungan suami istri.

Allah Ta’ala mengagungkan perjanjian nikah, dan Dia memerintahkan untuk menjaga ikatan pernikahan ini, karena menghalalkan kemaluan bukanlah perkara yang mudah. Allah Ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa’: 19)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan mereka (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Dan Allah Ta’ala juga menyebut akad nikah sebagai “perjanjian yang kuat”,

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bercampur satu sama lain dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat?” (QS. An-Nisa’: 21)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam khotbahnya di haji Wada’ menasihati umatnya,

اتَّقوا الله في النساء، فإنَّكم أخذتموهنَّ بأمانة الله، واستحللتم فروجهنَّ بكلمة الله، فاستوصوا فيهنَّ خيرًا

“Bertakwalah kepada Allah dalam urusan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanat Allah, dan kalian telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Maka perlakukanlah mereka dengan baik.” (HR. Abu Dawud no. 1905, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

هُوَ أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ يُوفَى بِهِ وَهُوَ مُقْتَضَى الشَّرْعِ وَالْعَقْلِ وَالْقِيَاسِ الصَّحِيحِ، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لَمْ تَرْضَ بِبَذْلِ بِضْعِهَا لِلزَّوْجِ إلَّا عَلَى هَذَا الشَّرْطِ، وَلَوْ لَمْ يَجِبْ الْوَفَاءُ بِهِ لَمْ يَكُنْ الْعَقْدُ عَنْ تَرَاضٍ

“(Memenuhi syarat-syarat nikah yang sah) adalah kewajiban yang lebih utama untuk dipenuhi, dan ini sesuai dengan tuntutan syariat, akal, dan qiyas yang sahih. Karena seorang wanita tidak akan rela memberikan dirinya kepada suaminya kecuali dengan syarat tersebut. Jika syarat itu tidak wajib dipenuhi, maka akad itu tidak akan dilakukan dengan kerelaan.” (I’laamul Muwaqi’in, 3: 266)

Baca juga: Kewajiban Mengumumkan Pernikahan

Kandungan keempat: syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan

Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Jika bertentangan, maka diharamkan dan tidak sah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ، مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Mengapa ada orang yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah? Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal, meskipun seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2168, 2729)

Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Jika seorang wanita menetapkan syarat kepada suaminya yang memiliki tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala, dan suami tersebut setuju untuk memenuhi syarat tersebut, maka ia wajib memenuhinya. Misalnya, jika ia mensyaratkan tambahan mahar, atau mensyaratkan agar tidak dibawa keluar dari rumah atau negaranya, atau agar tinggal bersama keluarganya, atau (agar tinggal) bersama anak-anaknya, atau tinggal sendiri tanpa ada madunya di rumah tersebut, dan hal-hal semacam itu.” (Minhatul ‘Allam, 7: 256)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

أكثر العلماء حملوه على شرطٍ لا ينافي مقتضى النكاح، ويكون من مقاصده، كاشتراط العشرة بالمعروف، والإنفاق عليها وكسوتها، هذا؛ ومن جانب المرأة أن لا تخرج من بيته إلاَّ بإذنه.

“Sebagian besar ulama menafsirkan hadis ini tentang syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan nikah, seperti kewajiban memperlakukan istri dengan baik, memberi nafkah, dan memberinya pakaian. Adapun dari pihak wanita, misalnya, dia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 290)

Para ahli fikih telah menyebutkan bahwa syarat-syarat yang sah dalam masalah ini terbagi menjadi dua:

Pertama: Syarat yang terkandung dalam akad dan menjadi konsekuensi akad. Syarat seperti ini tidak perlu disebutkan secara khusus dalam akad, karena menyebutkannya dalam akad tidak akan mempengaruhi keabsahannya, dan mengabaikannya tidak akan menghilangkannya. Contohnya adalah syarat penyerahan wanita kepada suaminya dan memungkinkannya untuk menikmati hubungan suami-istri, atau syarat nafkah dan tempat tinggal bagi istri yang merupakan kewajiban suami, dan hal-hal yang serupa.

Kedua: Syarat yang ditetapkan oleh salah satu pasangan kepada pasangannya, yang memberikan manfaat baginya dan tidak bertentangan dengan syariat Allah Ta’ala. Syarat seperti ini adalah syarat yang sah dan harus dipenuhi. Jika suami memenuhi syarat tersebut, maka tidak ada masalah, tetapi jika tidak, maka istri berhak untuk membatalkan pernikahan. Contoh-contohnya telah disebutkan sebelumnya.

Contoh syarat yang sah adalah jika suami menyetujui untuk memberikan mahar tertentu, atau tidak membawa istri keluar dari negerinya (kampung halamannya), atau tidak memisahkan dia dari orang tuanya atau anak-anaknya. Syarat-syarat seperti ini adalah sah dan harus dipenuhi oleh suami.

Adapun syarat yang bertentangan dengan tujuan nikah, seperti syarat untuk tidak memberi giliran kepadanya, tidak wajib dipenuhi dan dianggap batal.

Syekh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun syarat-syarat yang batil, tidak ada pengaruhnya, seperti jika disyaratkan bahwa tidak ada mahar untuknya, atau suami tidak perlu menafkahinya, atau disyaratkan tidak adanya hubungan suami-istri, atau jika istri mensyaratkan untuk diperlakukan lebih baik daripada madunya, atau jika suami mensyaratkan agar istri tidak boleh mengunjungi kedua orang tuanya atau salah satu kerabatnya, atau istri mensyaratkan agar suami menceraikan madunya.” (Minhatul ‘Allam, 7: 257)

Kandungan kelima: jika istri mensyaratkan suami untuk menceraikan istri yang lain

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, contoh syarat yang batal adalah jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain (menceraikan madunya). Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa di antara yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam larang adalah,

وَلاَ تَسْأَلُ المَرْأَةُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا

“Seorang wanita meminta suaminya menceraikan istri lain agar dia bisa mengambil apa yang ada dalam bejana itu (agar semua kebutuhannya terpenuhi, pent.).”  (HR. Bukhari no. 2140, 2723, dan Muslim no. 1413)

Syekh Muhammad bin Ibrahim Alu Syekh rahimahullah berkata, “Jika istri mensyaratkan suaminya untuk menceraikan istri yang lain, maka ini sah menurut Abu Khattab dan sebagian besar pengikutnya.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291)

Pendapat kedua mengatakan bahwa syarat semacam ini tidak sah; dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Dan ini adalah pendapat yang benar, karena tidak boleh mensyaratkan hal itu, dan jika disyaratkan, maka batal berdasarkan hadis,

كلُّ شرطٍ ليس في كتاب الله فهو باطل

“Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batal.”

Al-Khattabi rahimahullah berkata, “Syarat-syarat dalam nikah terbagi menjadi beberapa jenis:

Pertama, sebagian harus dipenuhi, yaitu yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, seperti memperlakukan istri dengan baik atau menceraikannya dengan baik.

Kedua, sebagian lagi tidak boleh dipenuhi, seperti meminta suaminya menceraikan istri lain, karena ada larangan dalam hal ini.

Ketiga, sebagian lagi diperselisihkan, seperti syarat bahwa suami tidak boleh menikah lagi, atau tidak boleh memindahkannya dari rumahnya ke rumah suaminya, dan syarat yang ditetapkan oleh salah satu pihak di luar dari mahar. Dan syarat-syarat ini serta sejenisnya dianggap sah oleh Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Dikutip dari Taudhiihul Ahkaam, 5: 291)

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

Baca juga: Hukum Pernikahan Beda Agama

***

@23 Shafar 1446/ 29 Agustus 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 256-257) dan Taudhiihul Ahkaam min Buluughil Maraam (5: 289-292).

Source link


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *